Juniartha Semara Putra
GAGAL GINJAL KRONIK
(CRONIC RENAL FAILURE)
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A.
Pengertian gagal ginjal kronik
·
Gagal ginjal kronik merupakan gagal ginjal yang progresif
dan lambat biasanya berlangsung beberapa tahun ( Lorrainem M. Wilson dan
Price,Silvia Anderson, hal 912 ).
·
Gagal ginjal kronik adalah penurunan
semua fungsi yang bertahap diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Mary E. Doengoes, 2000.hal 626 ).
·
Gagal ginjal kronik adalah suatu proses
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya pada suatu derajat
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis dan transplantasi
ginjal (Aru A. Sudoyo, 2006).
·
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang
progresif dan reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia
(Suzanne C.Smeltzer, 2001 dan Brunner and Suddarth, hal 1448).
·
Gagal Ginjal
Kronik (GGK) adalah kemunduran fungsi ginjal yang menyebabkan ketidakmampuan
mempertahankan substansi tubuh dibawah kondisi normal (Betz Sowden, 2002
)
·
Gagal Ginjal
Kronik adalah kerusakan yang progresif pada nefron yang mengarah pada timbulnya
uremia yang secara perlahan-lahan meningkat ( Rosa M. Sacharin, 1996).
·
Gagal ginjal kronik
adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang
bersifat menahun, berlangsung progresif, dan cukup lanjut. Hal ini terjadi
apabila laju filtrasi glumerolus (LFG) kurang dari 50 mL/menit. Gagal ginjal
kronik sesuai dengan tahapannya, dapat ringan, sedang atau berat ( Suhardjono,
Aida Lydia.hal 427 )
·
Gagal ginjal kronik
adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif atau irreversible dimana tubuh
tidak dapat mempertahankan metabolik keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga terjadi uremia, serta terjadi penurunan GFR (Glomerulo Filtrasi Rate ) yang merupakan
sumber dari terganggunya fungsi ginjal ( Carpenito, 1999 )
·
Gagal ginjal kronik
adalah keadaan irreversible, ditandai fungsi nefron yang berkurang. Kerusakan
ginjal berlangsung progresif. ( tambayong, hal 121 )
·
Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak
mampu mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan
pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke
status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa
tahun. (Barbara C Long, 1996; 368)
·
Gagal ginjal kronik
adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan irreversible
(Mansjoer, 2001).
·
Gagal ginjal kronik
adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan oleh penurunan fungsi ginjal yang
bersifat menahun, berlangsung progresif, hal ini terjadi bila laju filtrasi
glomerular kurang dari 50 ml/menit (Suyono et
al, 2001).
B.
Etiologi gagal ginjal kronik
Menurut Smeltzer, Suzanne, 2002 hal
1448, penyebab dari gagal ginjal kronik adalah:
1.
Diabetus mellitus
2.
Glumerulonefritis
kronis
3.
Pielonefritis
4.
Hipertensi tak
terkontrol
5.
Obstruksi saluran kemih
6.
Penyakit ginjal
polikistik
7.
Gangguan vaskuler
8.
Lesi herediter
9. Agen
toksik (timah, kadmium, dan merkuri)
Penyebab
gagal ginjal kronik menurut ( Sylvia, A Prie.hal 918 ) adalah
1.
Infeksi :
Pielonefritis kronik
2.
Penyakit peradangan : Glomerulonefritis
3.
Penyakit vaskuler
hipertensif : Nefrosklerosis benigna
: Nefrosklerosis
maligna
: Stenosis
arteria renalis
4.
Gangguan jaringan ikat :
Lupus entematonus sistemik
poliarteritis nodosa, skeloris sistemik progresif.
5.
Gangguan congenital dan :
penyakit ginjal polikistik
Hereditary :
asidosis tubulus ginjal
6.
Penyakit metabolic :
diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme,
: amiloidosis
7.
Nefropati toksik :
penyalah gunaan analgesik , nefropati timah
8.
Nefropati obstruktif :
traktus urinarius bagian atas: batu,
neoplasma,
fibrosis,
retroperitoneal.
:
traktus urinarius bagian bawah: hipertrofi
prostat,
striktur uretra, anomaly congenital leher
vesika
urinaria dan uretra.
Sedangkan
penyebab dari gagal ginjal kronik menurut Lorrainem M. Wilson terbagi menjadi
delapan kelas yaitu:
1. Infeksi Traktus Urinarius,
Pielonefritis, Dan Nefropati Refluks
Infeksi traktur urinarius, sring
terjadi menyerang manusia tanpa memandang usia terutama perempuan. Infeksi
traktus urinarius bertanggung jawab atas sekitar 7 juta kunjungan pasien kepada
dokter setiap tahunnya di Amerika Serikat ( Stam, 1998). Secara mikrobiologi
infeksi traktus urinarius dinyatakan ada jika terdapat bakteriuria yang
ditemukan mikroorganisme pathogen 105/mL pada urine pancaran tengah
yang dikumpulkan dengan cara yang benar abnormalnya dapat hanya berupa
kolonisasi bakteri dari urine atau bakteriuria dapat disertai infeksi
simtomatik dari struktur-struktur traktur urinarius. Infeksi traktur urinarius
umumnya terbagi dalam subkategori besar: infeksi traktur urinarius bagian atas
atau Pielonefritis Akut dan infeksi
traktur urinarius bawah atau Sistitis
akut.
Sistitis akut (infeksi vesika
urinaria) dan pielonefritis akut (infeksi pelvis dan interstisium ginjal)
adalah infeksi yang paling berperan dalam menimbulkan morbiditas, tetapi jarang
berakhir sebagai gagal ginjal kronik. Pielonefritis krinik adalah cedera ginjal
kronik yang menunjukkan pembentukan jaringan parut parenkimal pada pemeriksaan
IVP, disebabkan oleh infeksi berulang atau infeksi menetap pada ginjal.
2. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis merupakan penyakit
peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dalam glomerulus dan
bermanifestasi sebagai proteinuria dan pada hematuria. Meskipun lesi terutama
ditemukan pada glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami
kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal kronik. Penyakit ini mula-mula
digambarkan oleh Richard Bright tahun
1827 sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak penyakit dengan berbagai
etiologi, meskipun respons imun menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.
Pada beberapa tahun terakhir,
penyakit tentang perubahan patologik penyakit ginjal kronik berkembang pesat
melalui pemeriksaan biopsi dengan mikroskop cahaya, maka timbul
kategori-kategori karena bertambahnya kemampuan untuk mendefinisikan sifat
alamiah lesi ginjal. Berbagai usaha yang dilakukan untuk memisahkan dan memilah berbagai jenis
glomerulonefrritis dengan menghubungkan gambaran histologist dan klinisnya.
Saying berbagai kategori tersebut
tidak eksklusif dan dan dimengerti mengapa cirri-ciri tersebut tumpang tindih
karena ginjal hanya mempunyai respons fungsional dan morfologik yang terbatas.
Kebingungan semakin bertambah karena berbagai gangguan sitemik matabolik yang
menyerang ginjal dan menimbulkan perubahan-perubahan pada glomerulus yang tidak
dapat dibedakan dengan glomerulonefritis primer.
3. Nefrosklerosis Hipertensif
Hipertensi merupakan peningkatan
tekanan darah yang menetap di atas normal yang disepakati, yaitu diastolic 90
mmHg atau sistolik 140 mmHg. Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan
yang erat. Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan
kerusakan pada ginjal. Sebaliknya, penyakit gagal ginjal kronik yang berat
dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan dalam hipertensi melalui
mekanisme retensi natrium dan air, pengaruh vasopresor dari sistem renin-angitensin,
dan mungkin pula melalui difisiensi prostaglandin. Kadang kadang sulit bagi
seorang ahli nefrologi untuk menentukan mana yang primer.
Nefrosklerosis atau pengerasan
ginjal menunjukkan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal akibat
hipertensi. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal
kronik, terutama pada populasi bukan orang kulit putih.
4. Gangguan Jaringan Ikat
Gangguan jaringan ikat atau penyakit
kolagen merupakan penyakit sistemik yang manifestasinya terutama jaringan lunak
tubuh. Kasus ini sangat menarik dalam nefrologi karena ginjal sering terserang.
Sekitar dua pertiga pasien Lupus Eritematosus Sitemik ( penyakit multisistem
yang tidak diketahui asalnya dan ditandai dengan autoantibodi dalam sirkulasi
terhadap DNA) dan Sklerosis Sistemik Progresif ( penyakit sistemik yang jarang
dijumpai dan ditandai dengan sklerosis dari kulit dan organ-organ lain).
5. Gangguan Kongenital Heriditer
Asidosis tubulus ginjal dan penyakit
polikistik ginjal merupakan gangguan heriditer yang terutama mengenai tubulus
ginjal dan dapat berakhir pada gagal ginjal, walaupun gagal ginjal lebih sering
dijumpai pada penyakit polikistik. Kedua penyakit ini mempunyai bentuk
infantile dan bentuk dewasa yang manifestasinya sangat berbeda.
6. Gangguan Metabolik
Gangguan metabolik yang dapat
menyebabkan gagal ginjal kronik antara lain diabetes mellitus,
hiperparatiroidisme, dan amiloidosis.
v Diabetes Melitus
Nefropati diabetika atau penyakit
ginjal pada pasien diabetes merupakan salah satu penyebab kematian terpenting
pada diabetes melitus yang lama. Lebih dari sepertiga dari semua pasien baru
yang masuk dalam program ESRD menderita gagal ginjal. Telah diperkirakan bahwa
sekitar 35% hingga 40% pasien diabetes tipe 1 berkembang menjadi gagal ginjal kronik
dalam wantu 15 hingga 25 tahun setelah awitan diabetes. Individu dengan
diabetes tipe 2 lebih sedikit yang berkembang menjadi gagal ginjal kronik
dengan pengecualian pada orang Indian Pima dengan insidensi mendekati 50%.
Diabetes melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk.
Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terdapat di
ginjal pada diabetes melitus. Glomerulosklerosis diabetik dapat merupakan lesi
yang paling sering terjadi, trediri dari penebalan difus matriks mesangeal
dengan eosinofilik disertai penebalan membran kapiler.
v Hiperparatiroidisme Primer
Hiperparatiroidisme primer yang
menyebabkan hiperskresi hormone paratiroid, merupakan penyakit yang relatif
langka yang dapat mengakibatkan sefrokalsinosis dan selanjutnya dapat
menyebabkan gagal ginjal. Hiperparatiroidisme sekunder merupakan komplikasi
yang sering dijumpai pada gagal ginjal kronik. Manifestasi penyakit ini sama
walaupun bersifat primer maupun sekunder.
v Amiloidosis
Amiloidosis merupakan suatu penyakit
metabolik dengan penimbunan amiloid atau suatu protein ektraseluler yang
abnormal pada berbagai jaringan. Timbunan amiloid ini dapat merusak ginjal,
hepar, limpa, jantung, lidah, dan sistem saraf. Amiloid terdeteksi secara
histologist sebagai bahan hialin berwarna merah muda terang, amiloid juga
menangkap beberapa pewarna khusus seperti merah Congo. Amiloid dapat
diklasifikasikan berdasarkan sifat protein precursor dan berdasarkan apakah
penimbunan amiloid terjadi secara sistemik (melibatkan banyak organ) atau hanya
terbatas pada satu organ atau jaringan.
7. Nefropati Toksik
Ginjal khususnya rentan terhadap
efek toksik, obat-obatan, dan bahan-bahan kimia karena beberapa alasan, antara
lain:
Ø Ginjal menerima 25% dari curah
jantung sehingga sring dan mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah besar.
Ø Interstisium yang hiperosmotik
memungkinkan zat kimia dikonsentrasikan pada daerah yang relative hipovaskuler.
Ø Ginjal merupakan jalur ekskresi
obligatorik untuk sebagian besar obat, sehingga insufisiensi ginjal
mengakibatkan konsentrasi dalam cairan tubulus.
Nefrotoksin yang
paling sering dijumpai menyebabkan timbulnya gagal ginjal akut. Gagal ginjal
kronik dapat terjadi akibat penyalahgunaan analgetik dan panjanan timbal.
a. Penyalahgunaan Analgetik
Secara umum bahwa penyalahgunaan
analgetik dalam waktu lama dapat menyebabkan cedera ginjal. Gagal ginjal akibat
kelebihan pemakaian analgetik merupakan permasalahan yang cukup sering dijumpai
dan barangkali merupakan bentuk penyakit ginjal yang paling mudah dicegah.
Insidennya bervariasi, bergantung pada perbedaan daerah tempat penyalahgunaan
ini terjadi. Secara keseluruhan nefropati analgetik berjumlah sebanyak 9%, 3%,
dan kurang dari 1% dapat pasien menjalani dialisis di Australiadan Amerika
Serikat secara berurutan ( USDR, 1995).
b. Panjanan Timbal
Pengaruh terhadap timbale terjadi
pada beberapa jenis pekerjaan, dan timbale dapat pula tertelan oleh peminum
Wisky yang terdestilasi secara tidak semestinya. Timbale yang masuk ke dalam
tubuh akan bergabung dengan tulang dan secara perlahan-lahan akan dilepaskan
kembali setelah selang waktu bertahun-tahun. Timbal juga akan terikat pada
tubulus ginjal. Pasien dengan nefropati timbale secara khas menderita
hiperurisemia. Artritis gout akut terjadi pada kira-kira setengah dari pasien
nefropati timbale, sebaliknya, gout jarang terjadi pada bentuk gagal ginjal
yang lain. Hepertensi sering terjadi. Lesi ginjal dasar adalah nefritis
interstisial, dan dapat menyebabkan gagal ginjal yang berjalan progresif
lambat.
C.
Patofisiologi gagal ginjal kronik
Terdapat
dua pendekatan teoretis yang umumnya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi
pada gagal ginjal kronik. Sudut pandang tradisional mengatakan bahwa semua unit
nefron telah terserang penyakit namun dalam stdium yang berbeda-beda, dan
bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat
saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya, lesi organikpada
medulla akan merusak susunan asotomik pada lengkung Henle dan Vasa rekta, pompa
klorida pada pars asendens lengkung Henle dan aliran balik penukar. Pendekatan
kedua dikerjakan dengan nama hipotesis bricker atau hipotesis nefron yang utuh,
yang berpendapat bahwa bila nefron serang penyakit, maka seluruh unitnya akan
hancur namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan
terjadi bila jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan
dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis nefron ynag utuh
sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit gagal
ginjal kronik, yaitu kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan
elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun.
Untuk
peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal kronik dapat diuraikan dari segi
hipotesis nefron yang utuh. Meskipun penyakit gagal ginjal kronik terus
berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk
mempertahankan homeostatis tidaklah berubah, kendati jumlah nefron yang
bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif.
Dua
adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respons terhadap ancaman
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami
hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal.
terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi
tubulus dalam setiap nefron meskipun GFr untuk seluruh massa nefron yang
terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal.
Mekanisme
adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron
hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban untuk terlarut bagi setiap nefron
demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus atau kesimbangan
antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak akan
lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proses
konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada
makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah
GFR ( yang berarti makin sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan
kecepatan ekskresi per nefron.
Hilangnya
kemampuan memekatkan atau mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine
tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm ( yaitu sama dengan konsentrasi plasma)
dan merupakan penyebab gejala poliuria dan rekturia. Sebagai contoh, seseorang
dengan makanan normal mengekskresi zat terlarut sekitar 600 mOsm per hari. Kalau
orang tersebut tidak dapat lagi memekatkan urinenya dari osmolalitas plasma
normal sebesar 285 mOsm, maka tanpa memandang banyaknya asupan air akan
terdapat kehilangan obligatorik 2 liter air untuk ekskresi zat terlarut 600
mOsm (285 mOsm/liter). Sebagai respons terhadap beban zat terlarut yang sama
dan keadaan kekurangan cairan, orang normal dapat memekatkan urine sampai 4
kali lipat konsentrsi plasma dan dengan demikian hanya akan mengekskresi
sedikit urine yang pekat. Bila GFR terus turun sampai akhirnya mencapai nol,
maka semakin perlu mengatur asupan cairan dan zat terlarut secara tepat untuk
mampu mengkomodasikan penurunan fleksibilitas fungsi ginjal.
Hipotesis
nefron yang utuh ini didukung beberapa pengamatan eksperimental. Bricker dan
Fine (1969) memperlihatkan bahwa pasien pielonitritis dan anjing- anjing yang
ginjalnya rusak pada percobaan, nefron yang masih bertahan akan mengalami
hipertrofi dan menjadi lebih aktif dari keadaan normal. Juga diketahui bahwa
bila satu ginjal seorang yang normal dibuang, maka ginjal yang tersisa akan mengalami
hipertrofi dan fungsi ginjal ini mendekati kemampuan yang sebelumnya dimiliki
oleh kedua ginjal itu secara bersama-sama.
Juga
terbukti bahwa ginjal normal dengan beban zat terlarut meningkat akan bertindak
sama seperti ginjal yang mengalami gagal ginjal kronik. Hal ini mendukung
hipotesis nefron yang utuh. Data eksperimental memperlihatkan bahwa dengan
meningkatnya jumlah beban zat terlarut secara progresif, maka kemampuan
pemekatan urine dalam keadaan kekurangan air atau kemampuan pengenceran urine
dalam keadaan asupan air yang banyak akan menghilang secara progresif. Kedua
kurva mendekati berat jenis 1,010 sampai urine menjadi isoosmotik dengan plasma
pada 285 mosm sehingga terjadi berat jenis yang tetap.
Keadaan
percobaan tersebut diatas ditimbulkan pada seorang normal dengan memberikan
manitol (suatu diuretic osmotik). Dalam keadaan ini setiap nefron yang normal
mengalami diuresis osmotik disertai kehilangan air obligatorik. Ginjal
kehilangan fleksibilitas untuk memekatkan maupun mengencerkan urine dari
osmolalitas plasma sebesar 285 mOsm.
Tercatat
beberapa kali bahwa gagal ginjal kronik sering bersifat progresif, bahkan bial
faktor pencetus cedera disingkirkan. Sebagai conto, pada anak-anak dengan
pielonefritis kronik yang disebabkan oleh refluks vesikouretral dan infeksi
traktus urinarius yang berulang akan timbul jaringan parut pielonefritis yang
menyerang tubulus dan interstisium, namun, bila refluks tersebut dikoreksi
secara bedah dan infeksi ginjal dihentikan dengan antibiotik, gagal ginjal kronik
tetap akan berlanjut. Observasi ini telah memulai upaya penelitian utama
baru-baru ini untuk mempelajari alasan perkembangan penyakit ginjal dan cara
untuk menghentikan atau memperlambat perkembangan tersebut.
Penjelasan
terbaru yang paling popular untuk gagal ginjal kronik tampa penyakit primer
yang aktif adalah Hipotesis hiperfiltrasi.
Menurut hiperfiltrasi tersebut, nefron yang utuh pada akhirnya akan cedera
karena kenaikan aliran plasma dan GFr serta kenaikan tekanan hidrostatik
intrakapiler glomerulus (misalnya, tekanan kapiler glomerulus). Walaupun
kenaikan SNGFR dapat menyesuaikan diri dengan lari jangka pendek, namun tidak
dapat menyesuaikan dengan lari jangka panjang.
Sebagian
besar bukti teori hiperfiltrasi untuk cedera sekunder berasal dari model sisa
ginjal pada tikus. Jika satu ginjal pada tikus diangkat dan dua pertiga dari
ginjal yang lain rusak, terlihat bahwa binatang tersebut akan mengalami gagal
ginjal stadium akhir dalam waktu 6 bulan, walaupun tidak ada penyakit ginjal
primer. Tikus itu mengalami proteinuria, dan biopsi ginjal pada sisa glomerulus
memperlihatkan glomerulosklerosis yang menyerupai lesi pada banyak penyakit
ginjal primer. Satu penjelasan untuk lesi ginjal dan gagal ginjal kronik
berdasarkan pada perubahan fungsi dari struktur yang timbul ketika jumlah
nefron yang utuh menurun pada binatang percobaan.
Penyesuaian
fungsi terhadap penurunan massa nefron menyebabkan hipertensi sistemik dan
peningkatan SNGFR pada sisa nefron yang utuh. Peningkatan SNGFR sebagian besar
dicapai melalui dilatasi ateriol aferen. Pada saat yang bersamaan, arteriol
eferen berkontraksi karena pelepasan angiotensin II local. Sebagai akibatnya,
aliran plasma ginjal meningkat, karena sebagian besar tekanan sistemik
dipindahkan ke glomerulus.
Kompensasi
fungsional ini berkaitan dengan perubahan structural yang bermakna. Volume
rumbai glomerulus meningkat tanpa diiringi peningkatan jumlah sel epitel
visera, dan mengakibatkan penurunan densitas dalam rumbai glomerulus yang
membesar. Diyakini bahwa kombinasi hipertensi glomerulus dan hipertrofi
merupakan perubahan yang signifikan yang menyebabkan cedera sekunder dari
rumbai glomerulus dan merusak nefron dengan progresif. Penurunan densitas
epiter visera menyebabkan penyatuan pedikulus dan hilangnya selektif terukur
sehingga akan meningkatkan protein yang hilang dalam urine. Peningkatan
permeabilitas dan hipertensi intraglomerulus juga membantu akumulasi dari
protein besar (misalnya, immunoglobulin M (IgM) dalam subendotelial.
Subendotelial ini menumpuk bersama prolefirasi matriks mesangial yang pada
akhirnya menyebabkan penyempitan lumen kapiler akibat tertekan. Cedera sekunder
lainya adalah pembentukan mikroaneurisma akibat disfungsi sel endotel. Akibat
keseluruhan adalah kolapsnya kapiler glomerulus dan glomerulosklerosis, yang
ditunjukkan dengan protenuria dan gagal ginjal kronik. Selain itu, rangkaian
ini menyebabkan timbale balik positif dari lengkung henle dengan percepatan
proses yang destruktif, sehingga semakin sedikit sisa nefron yang utuh.
Perubahan struktur dan fungsional akan menyebabkan cedera sekunder pada
glomerulus. ( Sylvia Aprice, hal 914 )
D.
WOC
E.
Manifestasi klinis GGK
a. Kardiovaskuler : hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung,
pericarditis, pitting edema, edema periorbital, pembesaran vena jugularis,
friction rub perikardial.
b. Integumen : pucat, mudah lecet, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh,
rambut tipis dan kasar, leukonikia, warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering
bersisik.
c. Pulmoner : heperventilasi, asidosis, edema paru, efusi pleura, krekels,
napas dangkal, kussmaul, sputum kental dan liat.
d. Gastrointestinal : anorexia, nausea, gastritis, konstipasi/diare,
vomitus, perdarahan saluran GI.
e. Neurologi : kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, perubahan perilaku.
f. Muskuloskeletal : kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur
tulang, foot drop, hiperparatiroidisme, defisiensi vit. D, gout.
g. Reproduktif : amenore, atropi testis, penurunan libido, impotensi,
infertilitas, nokturia, poliuri, oliguri, haus, proteinuria,
(Brunner & Suddarth, 2001. Hal 1450 )
F. KLASIFIKASI
Gagal
ginjal kronik dapat dibagi menjadi 4 stadium yang didasarkan pada tingkat GFR
yang tersisa :
1.
Penurunan
cadangan ginjal
Terjadi
apabila GFR turun 50% dari normal, tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic.
Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak dan penurunan
kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan
CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi.
2.
Insufisiensi
ginjal
Terjadi bila GFR menurun menjadi 20-35% dari normal.
Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulasi sisa metabolik dalam
darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan
respon terhadap diuretic menyebabkan oliguri, oedema. Derajat insuffisiensi
dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR sehingga perlu
pengobatan medis.
3. Gagal
ginjal
Terjadi bila GFR kurang dari 20% normal
4. Penyakit
gagal ginjal stadium akhir
Bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya
sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan
parut dan atrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolik dalam jumlah banyak seperti
ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal (Smeltzer
& Bare, 2002)
G.
Komplikasi
Komplikasi potensial yang mungkin
timbul akibat gagal ginjal kronis (Smeltzer & Bare, 2001. Hal 1449 ) antara lain :
a. Hiperkalemia akibat penurunan
ekskresi, sidosis metabolic, katabolisme, dan masukan diet berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan
tanponade jantungakibat retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak
adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan
natrium serta malfungsi system renin-angistensis-aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan
eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan
gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan kehilangan darah selama
hemodialisis.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi
metastatic akibat retensi prostat, kadar kalium serum yang rendah, metabolism
vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.
H.
Pemeriksaan penunjang/diagnostic
Pemeriksaan penunjang mencakup (Mary E.
Doengoes, 2000.hal
628 )
:
1. Pemeriksaan laboratorium :
a. Urine :
·
Volume : biasanya kurang dari 400ml/24 jam (oligouria) atau
urin tak ada (anuria)
·
Warna : secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh
pus, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat dan urat. Sedimen kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.
·
Berat : kurang dari
1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat).
·
Osmolalitas : kurang
dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, dan rasio urine/serum sering
1:1
·
Klirens kreatinin : mungkin agak menurun
·
Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena tidak mampu
mereabsorpsi natrium.
·
Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
b. Darah :
·
BUN/Kreatinin:
Meningkat, biasanya meningkat dalam
proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
·
Hitung
darah lengkap: Ht: Menurun pada adanya
anemia. Hb: biasanya kurang dari 7-8 mg/dL.
·
SDM:
Waktu hidup menurun pada defisiensi
eritropoetin seperti pada azotemia.
·
GDA:
pH: Penurunan asidosis metabolik (kurang
dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresi
hidrogen dan ammonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun.
PCO2 menurun.
·
Natrium
serum: Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan
natrium” atau normal (menunjukkan status dilusi hipernatremia).
·
Kalium:
Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan selular
(asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir,
perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar.
·
Magnesium/fosfat:
Meningkat.
·
Kalsium:
Menurun
·
Protein
(khusus albumin): kadar serum menurun
dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urin, perpindahan cairan,
penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
·
Osmolalitas
serum: Lebih besar dari 285 mOsm/kg; sering
sama dengan urine.
c. Pemeriksaan Radiologi
·
KUB
foto: Menunjukkan ukuran
ginjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstuksi (batu).
·
Pielogram
retrograde: Menunjukkan abnormalitas pelvis
ginjal dan ureter.
·
Arteriogram
ginjal: Mengkaji sirkulasi ginjal dan
mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
·
Sistouretrogram
ginjal: Menunjukkan ukuran kantok kemih,
refluks ke dalam ureter, retensi.
·
Ultrasono
ginjal: Menentukan ukuran ginjal dan adanya
massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
·
Biopsi
ginjal: Mungkin dilakukan secara endoskopik unutk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologi.
·
Endoskopi
ginjal, nefroskopi: Dilakukan untuk
menentukan pelvis ginjal; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif.
·
EKG:
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
·
Foto
kaki, tengkorak, kolumna spinal, dan tangan:
Dapat menunjukkan demineralisasi, kalsifikasi.
I.
Terapi/tindakan penanganan
Penatalaksanaan GGK mencakup
tindakan konservatif dan tindakan dialysis serta transplantasi ginjal (Suzanne
C.Smeltzer, 2001.
1449).
1. Intervensi diet meliputi pengaturan
cermat masukan protein, masukan cairan untuk mengganti cairan yang hilang
(biasanya cairan yang diperbolehkan antara 500 - 600 ml per 24 jam), masukan
natrium untuk mengganti natrium yang hilang dan pembatasan kalium. Pada saat
yang sama masukan kalori adekuat dan suplemen vitamin dianjurkan.
2. Hiperfosfatemia dan hipokalemia
ditangani dengan natrium karbonat dosis tinggi untuk mengganti antasida yang
mengandung aluminium karena dapat menyebabkan toksisitas.
3. Hipertensi ditangani dengan medikasi
anti hipertensi. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner ditangani dengan
pembatasan cairan, diet rendah natrium, diuretic, agen inotropik seperti
digitalis atau dobutamine dan dialysis.
4. Hiperkalemia ditangani dengan dialysis
dan diet rendah kalium.
5. Abnormalitas neurologi dapat terjadi
dan memerlukan observasi dini terhadap tanda-tanda seperti kedutan, sakit
kepala, delirium, atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari cedera dengan
menempatkan pembatas tempat tidur.
6. Anemia ditangani dengan pemberian
epogen (eritropoetin manusia rekombinan).
7. Pasien dengan GGK kronis yang
meningkat dirujuk ke pusat dialysis dan transplantasi.
II.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
Data pasien yang harus dikaji
mencakup :
1. Identitas
Pasien
Merupakan
biodata klien yang
meliputi : nama,
umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa / ras,
pendidikan, bahasa yang
dipakai, pekerjaan, penghasilan
dan alamat.
2. Riwayat
penyakit terdahulu
Kemungkinan yang muncul pada riwayat kesehatan terdahulu
pada pasien dengan gagal ginjal kronis antara lain Glomerulonefritis,
Pielonefritis, Nefrosklerosis, Sindroma Nefrotik, Tumor Ginjal dll.
3. Riwayat
penyakit sekarang
Keluhan utama
Kaji keluhan
yang biasa muncul
pada pasien dengan gagal ginjal
kronis.
4. Riwayat
penyakit keluarga
Kaji apakah di keluarga pasien ada yang pernah mengalami
gagal ginjal kronis atau kelainan ginjal lainnya.
5.
Data bio-psiko
a. Aktifitas & istirahat ;
Gejala : Kelemahan,malaise, gangguan tidur
(insomnia,gelisah,atau somnolen).
Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang
gerak.
b. Sirkulasi :
Gejala : Riwayat hipertensi lama/baru, palpitasi, nyeri dada
(angina)
Tanda : Hipertensi (nadi kuat,edema jaringan umum dan
pitting pada kaki,telapak tamgam), disritmia jantung. Friction rub pericardial,
kulit pucat, kecenderungan pedarahan.
c. Integritas ego :
Gejala : Faktor stress, perasaan tak berdaya, tidak ada
harapan.
Tanda : Menolak, ansietas,takut,marah,mudah
terangsang,perubahan kepribadian.
d. Eliminasi :
Gejala : Produksi urine menurun (oligouri,anuria),abdomen
kembung,diare atau konstipasi.
Tanda : Warna urine kuning pekat,merah,coklat.
e. Makanan /Cairan :
Gejala : Peningkatan BB secara cepat akibat edema. Penurunan
BB akibat malnutrisi.
Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa tak sedap di
mulut (napas bau ammonia)
Tanda : Distensi abdomen/ascites, pembesaran hati (tahap
akhir), Edema, ulserasi/perdarahan gusi atau lidah,
f. Neuro sensori :
Gejala : Nyeri kepala, kram otot/kejang, kesemutan
ekstremitas bawah.
Tanda : Penurunan tingkat kesadaran/konsentrasi, rambut
tipis, kuku rapuh dan tipis.
g. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki.
Tanda : Perilaku hati – hati (distraksi), gelisah.
h. Pernapasan.
Gejala : Napas pendek ; dispnea nocturnal paroksismal, batuk
dengan atau tanpa sputum.
Tanda : Takipnea,dispnea,pernapasan Kussmaul, batuk
produktif.
i.
Keamanan.
Gejala : Berulangnya infeksi.
Tanda : Fraktur tulang, kalsifikasi metastasik,keterbatasan
gerak sendi.
j.
Seksualitas.
Gejala : Penurunan libido, amenore, infertilitas.
k. Interaksi social.
Gejala : Kesulitan menjalankan fungsi peran dalam keluarga.
l.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat DM keluarga ( risiko tinggi untuk gagal
ginjal), penyakit polikistik, nefritis herediter, kalkulus urinaria,
malignansi.
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
(Suzanne C.Smeltzer, 2001. Hal 1451).
1. Kelebihan volume cairan b.d.
penurunan haluaran urine, masukan cairan berlebih, dan retensi cairan dan
natrium.
2. Perubahan nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh b.d. anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan
membrane mukosa mulut.
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi
dan penanganan b.d. kurang informasi.
4. Intoleran aktifitas b.d. keletihan,
anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialysis.
5. Gangguan harga diri b.d.
ketergantungan, perubahan peran, perubahan citra tubuh dan fungsi seksual.
6. Perubahan kenyamanan b.d. rasa gatal
yang parah (pruritus).
7. Risiko cidera b.d penurunan
konsentrasi dan kesadaran.
8. PK : Hiperkalemia
9. PK : Perikarditis, Efusi Perikardial
dan tamponade jantung.
10. PK : Hipertensi
11. PK : Anemia
12. PK : Penyakit tulang dan kalsifikasi
metastasik.
C.
INTERVENSI
(Suzanne C.Smeltzer, 2001. Hal 1451).
Dengan
munculnya beberapa diagnosa keperawatan dan masalah kolaboratif seperti di
atas, maka muncul rencana tindakan pada diagnosa dan masalah kolaboratif yang
paling sering terjadi pada pasien GGK. Rencana Tindakan Keperawata pada pasien
GGK beserta rasional tindakan.
1. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urine, masukan
cairan berlebih, dan retensi cairan dan natrium.
Tujuan : mempertahankan berat tubuh ideal
Tindakan
|
Rasional
|
a. Kaji status cairan ( timbang BB
tiap hari,catat intake output, vena turgor kulit dan adanya edema, distensi
leher, tekanan darah, denyut dan irama nadi)
b. Batasi masukan cairan
c. Identifikasi sumber potensial
cairan
-
Medikasi dan cairan yg digunakan
-
Makanan
d. Jelaskan pd pasien & keluarga
rasional pembatasan cairan
e. Beritahu pasien dalam
menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan cairan
f. Tingkatkan dan dorong hygiene oral
dengan sering.
|
a. Pengkajian adalah dasar dan data
dasar berkelanjutan untuk memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi.
b. Pembatasan cairan akan menentukan
berat tubuh ideal, haluaran urine, dan respon terhadap terapi
c. Sumber kelebihan cairan yg tdk
diketahui dapat diidentifikasi
d. Pemahaman dapat meningkatkan
kerjasama pasien & keluarga dlm pembatasan cairan.
e. Kenyamanan pasien meningkatkan
kepatuhan terhadap pembatasan cairan.
f. Higiene oral mengurangi kepekaan
terhadap membran mukosa mulut.
|
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa mulut.
Tujuan : mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
Tindakan
|
Rasional
|
a. Kaji status nutrisi (perubahan BB,
pengukuran antropometrik, nilai elektrolit serum, BUN, Kreatinin, protein,
transperin dan kadar besi.)
b. Kaji pola diet nutrisi pasien
(riwayat diet, makanan kesukaan,hitung kalori)
c. Kaji factor yang berperan dalam
merubah masukan nutrisi (anoreksia,mual,muntah, diet yg tdk menyenangkan,
depresi, kurang memahami pembatasan diet, stomatitis)
d. Menyediakan makanan kesukaan
pasien dalam batas-batas diet.
e. Tingkatkan masukan protein yang
mengandung nilai biologis tinggi spt telur, produk susu,daging
f. Anjurkan camilan tinggi kalori
rendah protein rendah natrium diantara waktu makan.
g. Ubah jadwal madikasi sehingga
medikasi tidak segera diberikan sebelum makan
h. Jelaskan rasional pembatasan diet
dan hubungannya dgn penyakit ginjal dan peningkatan urea & kreatinin.
i.
Ciptakan lingkungan yang menyenangkan waktu makan
j.
Kaji bukti masukan protein tdk adekuat (terjadi edema,
penyembuhan lambat, penurunan kadar albumin serum)
|
a. Menyediakan data dasr untuk
memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi.
b. Pola diet dahulu dan sekarang
dapat dipertimbangkan dalam menyusun menu.
c. Menyediakan informasi mengenai
factor lain yang dapat diubah atau dihilangkan untuk meningkatkan masukan
diet.
d. Mendorong peningkatan nmasukan
diet.
e. Protein lengkap dipakai untuk
mencapai keseimbangan nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
penyembuhan.
f. Mengurangi makanan dan protein
yang dibatasi & menyediakan kalori untuk energy
g. Ingesti medikasi sebelum makan
menyebabkan anoreksia & rasa kenyang.
h. Meningkatkan pemahaman pasien
tentang hubungan diet, urea & kreatinin dgn pembatasan diet.
i.
Faktor yang tidak menyenangkan waktu makan berperan dalam
menimbulkan anoreksia dihilangkan.
j.
Masukan protein yg tdk adekuat menyebabkan penurunan
albumin & protein lain, edeme & perlambatan penyembuhan.
|
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan penanganan b.d.
kurang informasi.
Tujuan : meningkatkan pengetahuan mengenai kondisi dan penanganan
yang bersangkutan
Tindakan
|
Rasional
|
a. Kaji pemahaman ttg penyebab,
konsekuensi dan penanganan GGK
b. Jelaskan fungsi ginjal dan
penyakit gagal ginjal sesuai pemahaman pasien
c.
Bantu pasien mengidentifikasi cara cara memahami perubahab
akibat GGK
|
a. Merupakan instruksi dasar untuk
penjelasan dan penyuluhan lebih lanjut.
b. Pasien dapat belajar tentang penyakitnya
setelah pasien merasa siap.
c.
Pasien dpt melihat bahwa kehidupan tdk harus berubah
akibat penyakit.
|
4. Intoleransi aktifitas b.d. keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialysis.
Tujuan : berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi
Tindakan
|
Rasional
|
a. Kaji faktor yang menimbulkan
keletihan.
b. Tingkatkan kemandirian dalam
perawatan diri, bantu jika keletihan terjadi.
c. Anjurkan aktifitas alternative
sambil istirahat.
|
a. Menyediakan informasi indikasi tk
keletihan
b. Meningkatkan aktifitas
ringan/sedang, dan memperbaiki harga diri.
c. Mendorong aktifitas dalam batas
toleransi dan istirahat yang adekuat.
|
5. Gangguan harga diri b.d. ketergantungan, perubahan peran,
perubahan citra tubuh dan fungsi seksual.
Tujuan : memperbaiki konsep diri
Tindakan
|
Rasional
|
a. Kaji respon pasien dan keluarga
tentang penyakit dan penangannya.
b. Kaji pola koping pasien dan
keluarga.
c. Ciptakan diskusi terbuka tentang
perubahan dalam hidup pasien akibat penyakit
d. Gali alternative ekspresi seksual
selain hubungan seksual
e.
Diskusikan peran member & menerima cinta kehangatan
dan kemesraan
|
a. Menyediakan data ttg masalah
pasien & klg dlm menghadapi perubahan.
b. Pola koping yg efektif di masa
lalu dapat menjadi destrksif saat ini.
c. Pasien dapat mengidentifikasi
masalah & langkah yg diperlukan.
d. Bentuk alternative ekspresi
seksual dapat diterima.
e.
Seksualitas memiliki arti berbeda bagi tiap individu
sesuai tk maturitasnya.
|
6. PK : Hiperkalemia
Tujuan : pasien menunjukkan tidak adanya komplikasi
Tindakan
|
Rasional
|
a. Pantau kadar kalsium serum dan
beritahu dokter bila kadarnya melebihi 5,5 mEq/dl.
b.
Kaji adanya kelemahan otot,diare,perubahan EKG(gelombang T
memuncak dan QRS melebar)
|
a. Hiperkalemia menyebabkan kerusakan
& potensial perubahan dlm tubuh serta dpt mengancam jiwa.
b.
Tanda & gejala kardiovaskuler merupakan karakteristik
hiperkalemia
|
7. PK : Perikarditis, Efusi Perikardial dan tamponade jantung.
Tujuan : pasien menunjukkan tidak adanya komplikasi
Tindakan
|
Rasional
|
a. Kaji tentang demam,nyeri dada
& friction rub pericardial (tanda-tanda perikarditis), beritahu dokter
jika ada.
b. Jika mengalami perikarditis,kaji
factor berikut @ 4 jam:
-
Denyut paradoksikal >10 mm Hg
-
Hipotensi berat.
-
Lemah/hilangnya denyut periper.
-
Perub tingkat kesadaran.
-
Penonjolan vena leher.
c. Persiapkan pasien untuk USG
jantung utk mendukung adanya efusi & tamponade.
d. Jika terjadi tamponade siapkan
pasien utk perikardiosentesis darurat.
|
a. Sekitar 30-50% GGK mengalami
perikarditis akibat uremia.
b. Efusi pericardial umumnya akibat perikarditis
yg fatal.Tanda efusi mencakup denyut paradoksikal (tek darah selama inspirasi
turun >10 mm Hg) dan tanda syok akibat kompresi jantung oleh efusi yg
luas.Tamponade jantung terjadi ketika pasien secara hemodinamik sangat
terganggu.
c. USG jantung berguna utk
menggambarkan efusi pericardial & tamponade jantung.
d. Tamponade jantung merupakan
kondisi mengancam jiwa disertai laju mortalitas yg tinggi. Aspirasi segera
cairan perkardial sangat penting.
|
8. PK : Hipertensi
Tujuan : pasien menunjukkan tidak adanya komplikasi
Tindakan
|
Rasional
|
a. Pantau & catat tekanan darah
sesuai indikasi.
b. Berikan medikasi antihipertensif
sesuai instruksi.
c. Dorong kepatuhan terhadap
pembatasan diet dan cairan.
d.
Ajarkan pasien melaporkan tanda kelebihan cairan, sakit
kepala,edema atau kejang.
|
a. Pengukuran tekanan darah
menyediakan data obyektif utk pemantauan. Peningkatan tekanan darah adalah
indikasi ketidakpatuhan.
b. Medikasi antihipertensi berperan
penting dlm penanganan hipertensi akibat GGK.
c. Kepatuhan pembatasan diet cairan
& dialysis mencegah kelebihan cairan dan penumpukan natrium.
d.
Merupakan indikasi pengendalian hipertensi yg tdk adekuat
dan perlunya utk mengubah terapi
|
9. PK : Anemia
Tujuan : pasien menunjukkan tidak adanya komplikasi
Tindakan
|
Rasional
|
a. Pantau eritrosit & hematokrit
sesuai indikasi.
b. Berikan medikasi sesuai resep
mencakup suplemen besi & asam folat, epogen & multivit.
c. Hindari pengambilan specimen darah
yang tidak perlu.
d. Instruksikan cara mencegah
perdarahan : menghindari olah raga berat, & anjurkan penggunaan sikat
gigi yg lembut.
e.
Beri terapi komponen darah sesuai indikasi
|
a. Untuk mengetahui tk keparahan
anemia.
b. Eritrosit membutuhkan besi,asam
folat & vitamin utk produksinya, epogen merangsang sumsum tulang
memproduksi eritrosit.
c. Anemia dicetuskan oleh pengambilan
specime
d. Perdarahan di setiap tempat di
tubuh memperburuk anemia.
e.
Terapi komponen darah mungkin diperlukan jika pasien
simptomatik.
|
10. PK : Penyakit tulang dan kalsifikasi metastasik.
Tujuan : pasien menunjukkan tidak adanya komplikasi
Tindakan
|
Rasional
|
a. Berikan medikasi berikut sesuai
resep : pengikat fosfat,suplemen kalsium,suplemen vit D.
b. Pantau sesuai indikasi : kadar
kalsium,fosfor,aluminium, lapor dokter bila temuan abnormal.
c.
Bantu pasien dalam program latihan.
|
a. GGK menyebabkan perubahan
fisiologis yang mempengaruhi metab.kalsium,fosfat,vit D.
b. Hiperfosfatemia, hipokalsemia dan
akumulasi aluminium berlebih umumnya terjadi pd GGK.
c.
Demineralisasi tulang meningkat akibat imobilitas.
|
D.
IMPLEMENTASI
Disesuaikan dengan rencana
intervensi keperawatan yang telah disusun.
E.
EVALUASI
Evaluasi
dilakukan dalam bentuk evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi
dilakukan sesuai dengan kriteria hasil yang telah disusun
Evaluasi keperawatan terhadap masing
– masing diagnosa keperawatan dan masalah –masalah kolaboratif mencakup :
1. Kelebihan volume cairan, tujuan :
mempertahankan berat badan ideal tanpa kelebihan cairan.
2. Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan, tujuan : mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.
3. Kurang pengetahuan, tujuan :
meningkatkan pengetahuan tentang kondisi dan penanganan yang bersangkutan.
4. Intoleransi aktifitas, tujuan :
berpartisipasi dalam aktifitas yang dapat ditoleransi.
5. Gangguan harga diri, tujuan :
memperbaiki konsep diri.
6. Terhadap masalah – masalah
kolaboratif, tujuan : pasien menunjukkan tidak terjadi komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Aru W. Sudoyo,
dkk.2010.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II, Edisi V. Jakarta : InternaPublishingh
Brunner & Suddarth, (1996), Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Carpenito,
Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges
E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Ganong, W. F. 1998. Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 17. Jakarta: EGC
Ganong, W. F. 1998. Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 17. Jakarta: EGC
Guyton,
A. C. 1995. Buku ajar: Fisiologi
kedokteran. Edisi 7. Jakarta: EGC
Guyton,
A. C. & Hall, J. E. 1997. Buku ajar:
Fisiologi kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC
Long,
B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan)
Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius
Price,
Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC
Smeltzer,
Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono,
Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.:
Balai Penerbit FKUI
No comments:
Post a Comment