Juniartha Semara Putra
'' GUILLAIN BARRE’ SYNDROME ( GBS )
"
Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis
yang ditunjukkan oleh awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf
perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput
myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya tidak diketahui, tetapi
respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti
berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada
virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare’ tyerjadi dengan
frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang
agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa
berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai
penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris
biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A.
Pengertian
·
Sindrom Guillain-Barre merupakan sindrom klinik yang
menyebabkan tidak diketahui yang menyangkut saraf perifer dan cranial. (
Brunnert and suddarth, hal 2248 ).
·
Sindrom Guillain-Barre adalah suatu demielinasi
polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu polyneuritis
idiopatik, paralisis asenden landry, dan polineuropati inflamasi akut. ( Sylvia
A. Price, hal 1151 ).
·
Bare’ Syndrom adalah Gangguan
degeneratif terkomplikasi yang sifatnya dapat akut atau kronis. Etiologi
belum jelas, meskipun gangguan ini mempunyai kaitan dengan mekanisme autoimun
sel dan humoral beberapa hari sampai 3 minggu setelah infeksi saluaran
pernapasan atas ringan. (Lynda Juall C: 298)
·
Guillain Bare’ Syndrom adalah ganguan
kelemahan neuro-muskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat
mengarah pada kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis sementara. (
Doenges:359)
·
GBS merupakan suatu syndrome klinis yang ditandai
adanya paralisis flasidyang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimmune dimana targetnya adalahsaraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (
Bosch, 1998) Guillain Bare’
·
Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom
klinis yang ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf
perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput
myelin dari saraf perifer dan kranial yang Etiologinya tidak diketahui. (
Hudak & Gallo: 287)
B.
Epidemiologi
1. Sindrom ini
menyerang semua kelompok umur , ras, dan kedua jenis kelamin; telah terjadi
pada semua negara; dan dianggap sindrom-bukan musiman. Statistik menujukkan
bahwa 5% pasien akan meninggal karena komplikasi pernapasan-kardiovaskuler.,
20% akan menderita parastesia distal takdapat pulih ( anastesia tangan dan kaki
) dan 75% akan membaik tanpa defisit residual.
GBS tersebar diseluruh dunia
terutama di Negara – Negara berkembang dan merupakan penyebab tersering dari
paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada dewasa muda dan bisa meningkat
pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering dijumpai pada laki – laki daripada
perempuan. Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 sampai 1,9/100.000 penduduk
per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas
atas. Selain yang disebutkan diatas penyakit ini dapat pula timbul oleh karena
infeksi cytomegalovirus, epster-barr virus, enterovirus, mycoplasmadan dapat
pula oleh post imunisasi
2. Penyakit ini
terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan
frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi
peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa
penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun,
sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober
yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi
sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000
orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan
penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak
insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3
bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan
ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam,
5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum
banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di
Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan
jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan
penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
C.
Etiologi
Secara pasti
penyebab GBS tidak diketahui, namun diduga berkaitan dengan :
1. Infeksi : misal radang tenggorokan
atau radang lainnya.
2. Infeksi virus :measles, Mumps,
Rubela, Influenza A, Influenza B,
3. Varicella zoster, Infections mono
nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)
4. Vaksin : rabies, swine flu
5. Infeksi yang lain : Mycoplasma
pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter jejun
6. Keganasan : Hodgkin’sdisease,
carcinoma,lymphoma
Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus
dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebi9h
berat. Hal ini dikarenakan strujtur biokimia dinding bakteri ini
mempunyaipersamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga
antibodyyang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin.
7.
Penyakit akut, trauma, pembedahan dan
imunisasi 1-4 minggu sebelum tanda dan gejala GBS (15% dari kasus)
8.
Di dahului Infeksi saluran pernapasan
akut, penyakit gastrointestinal (50% dari kasus)
9.
Reaksi immunologi
Dalam sistem
kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran
makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam
cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan
peredaran.
Sebelum respon
imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada
limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)
antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses
antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian
antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu
limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan
substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E
selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial
akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit
T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat
merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
10.
Kehamilan atau dalam masa nifas
11.
Dahulu diduga penyakit ini disebabkan
oleh virus tetapi tidak ditemui pada pemeriksaan patologis. Teori sekarang ini mengatakan
bahwa SGB disebabkan oleh kelainan immunobiologik.
Mekanisme
bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunlogi
D.
WOC

![]() |
|||
![]() |
![]() |
E.
Patofisiologi
Tidak ada
yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah
orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun
menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan
organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung
myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat
sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,
namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel
sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme
tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan
makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan
limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin
dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson
adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh
suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik
yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat
insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan
meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang
ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot
dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin
tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya,
yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang
rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini,
sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin
lambat.
Pada GBS,
terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya
antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus.
Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada
saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil
myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu
bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal
melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.10 Untungnya,
fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal,
serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh
saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis,
merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis
dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan
medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung
fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik,
dan otonom (involunter).
Pada GBS,
terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada
saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat
progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati
perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang
terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur ,
transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga
timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan
prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson
merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung
myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila
akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih
lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol
oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan
memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu
yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe
campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf.
Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun,
saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi
menjadi 3 fase:
1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu,
sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’.
Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik;
derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada
penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama
dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi
menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh
fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase
ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan
khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat
saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang
begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan;
beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di faseplateau selama
beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang
ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun
berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase
ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan
penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati
nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga
bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali
dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi
waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
F.
Manifestasi klinis
Gejala-gejala neurologik diawali dengan parestesia ( kesemutan dan kebas)
dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang
tubuh, dan otot wajah ( Brunnert and suddarth, hal 2248 ).
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan
otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita
kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara
asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga
bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan
dan saraf kranialis.
Kelumpuhan
otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya
derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal,
tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian
proksimal (2,4).
2. Gangguan
sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada
bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral
. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi
seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih
sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering
ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering
dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi
tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara
kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia
bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan
menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4. Gangguan fungsi
otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25
% penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang
sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi
yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis.
Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini
jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5. Kegagalan
pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan
komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik.
Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan
otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema,
penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar
protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales
sehingga absorbsi cairan otak berkurang
G. Klasifikasi
Beberapa varian
dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor
axonal neuropathy
4. Acute motor
sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s
syndrome
6. Acute
pandysautonomia
H.
Komplikasi
Kemungkinan
komplikasi yang muncul pada pasien dengan guillan barre syndrom, yaitu:
1.
Kegagalan jantung
2.
Kegagalan pernapasan
3.
Infeksi dan sepsis
4.
Trombosis vena
5.
Emboli paru
6.
Syndrome of Inappropriate Secretion of
Antidiuretik Hormon (SIADH).
7.
Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic
8.
Tetraparese oleh karena penyebab lain
9.
Hipokalemia
10. Miastenia Gravis
11. Adhoc commite of GBS
12. Tick Paralysis
13. Kelumpuhan otot pernafasan
14. Dekubitus
I.
Pemeriksaan Diagnostik
1.
Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam
cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam
cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein
dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun
demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein
dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia
pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
2.
Pemeriksaan elektromyography (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :
a. Kecepatan hantaran saraf motorik dan
sensorik melambat
b. Distal motor retensi memanjang
c. Kecepatan hantaran gelombang-f
melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
d. Di samping itu untuk mendukung
diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis
penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan
penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna.
3. Test Fungsi
Paru
Menurunnya
kapasitas vital, perubahan nilai AGD (penurunan PaO2, meningkatnya
PaCO2 atau peningkatan pH).
4. Pemeriksaan
Neurologis :
·
kelumpuhan tipe flacid terutama otot
proksimal
·
simetris
·
gejala motorik lebih nyata daripada
sensorik
5. Pada Lumbal
Pungsi :
Didapatkan kenaikan protein tanpa
diikuti kenaikan sel (dissosiasi sitoalbumin)
pada minggu II
6. Pemeriksaan
EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi) :
penurunan kecepatan hantar saraf
/lambatnya laju konduksi saraf
7. Darah Lengkap
Terlihat adanya leukositosis pada fase
awal.
8. Foto ronsen
Dapat memperlihatkan berkembangnya
tanda-tanda dari gangguan pernapasan , seperti atelektasis,
pneumonia.
9. Pemeriksaan
fungsi paru
Dapat menunjukkan adanya penurunan
kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi
J.
Terapi/tindakan penanganan
Tujuan utama
dalam merawat pasien dengn GBS adalah untuk memberikan pemeliharaan fungsi
system tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa,
mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis
untuk pasien dan keluarga.
1. Dukungan
Pernapasan
Jika vaskulatur pernapasan terkena,
maka mngkin di butuhkan ventilasi mekanik. Mungkin Perlu dilakukan trakeostomi
jika pasien tidak dapat di sapih dari ventilator dalam beberapa minngu. Gagal
pernapasan harus di antisipasi sampai kemajuan gangguan merata, karena tidak
jelas sejauh apa paralisis akan terjadi.
2. Dukungan
Kardiovaskuler
Jika sistem saraf otonom yang terkena,
maka akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah ( hipotensi dan
hipertensi ) serta frekwensi jantung akan terjadi dan pasien harus dipantau
dengan ketat. Identifikasi adanya disritmia dan diobati dengan cepat. Gangguan
saraf otonom dapat dipicu oleh valsava manuver, batuk, sucsioning, dan
perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan secara
hati-hati.
3. Plasmaferesis
Plasmaferesis dapat digunakan baik untuk SGB maupun
miastenia gravis untuk menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma.
Plasma pasien dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan
abnormal dibersihkan atau plasma diganti dengan yang normal atau dengan
pengganti koloidal. Banyak pusat pelayanan kesehatan mulai melakukan
penggantian plasma ini jika didapati keadaan pasien memburuk dan akan
kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah dalam 2 minggu ( Brunnert and
suddarth, hal 2248 ).
4. Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian
pad pasien dengan SGB. Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan
pulihnya kekuatan otot. Unit stimulasi listrik transkutan dapat berguna pada
beberapa orang. Setelah itu nyeri merupakan hiperestetik. Beberapa obat dapat
memberikan penyembuhan sementara. Nyeri biasanya memburuk antara pukul 10 malam
dan 4 pagi, mencegah tidur, dan narkotik dapat saja digunakan secara bebas pada
malam hari jika pasien tidak mengkompensasi secara marginal karena narkotik
dapat meningkatkan gagal pernafasan. Dalam kasus ini, pasien biasanya
diintubasi dan kemudian diberikan narkotik.
5. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak
mampu untuk makan per oral, dapat dipasang selang peroral. Selang makan,
bagaimana pun, dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, jadi dibutuhkan
pemantauan dengan cermat oleh dokter dan perawat.
6. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien
dengan gangguan ini,terutama karena nyeri tampak meningkat pada malam hari.
Tindakan yang memberikan kenyamanan, analgesic dan kontrol lingkungan yang
cermat (mis, mematikan lampu, memberikan suasana ruangan yang tenang) dapat
membantu untuk meningkatkan tidur dan istirahat. Juga harus selalu diingat
bahwa pasien yang mengalami paralise dan mungkin pada ventilasi mekanik dapat
sangat ketakutan sendiri pada malam hari, karena ketakutan tidak mampu mendapat
bantuan jika ia mendapat masalah. Harus disediakan cara atau lampu pemanggil
sehingga pasien mengetahui bahwa ia dapat meminta bantuan. Membuat jadwal rutin
pemeriksaan pasien juga dapat membantu mengatasi ketakutan.
7. Dukungan emosional
Ketakutan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat
terlihat pada pasien dan keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan.
Penjelasan yang teratur tentang intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna.
Pasien harus diperbolehkan untuk membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang
perjalanan pemulihan. Kadang pasien seperti sangat sulit untuk
dirawat karena mereka membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka dapat
menggunakan bel pemanggil secara berlebihan jika merasa tidak aman. Perawat
harus mempertimbangkan untuk membiarkan keluarga menghabiskan sebagian waktu
lebih banyak bersama pasien. Dengan menyediakan perawat primer dapat memberikan
pasien dan keluarga rasa aman, mengetahui bahwa ada seseorang yang dapat
menjadi sumber informasi dengan konsisten. Pertemuan tim dengan pasien dan
keluarga harus dilakukan secara.
II.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
Pengakajian adalah pemikiran
dasar dari proses keperawatan yang bertujuan utnuk mengumpulkan data atau
informasi tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenai masalah-masalah,
kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan
lingkungan (Nasrul Effendi, 1995).
1.
Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan,
tanggal MRS, diagnosa medis dan nomor register.
2.
Keluhan Utama
Kelumpuhan progresif lebih dari satu tungkai dengan gejala dan
tanda kelemahan motorik yang relatif simetris disertai dengan gejala dan tanda
sensorik ringan yang didahului infeksi beberapa hari sebelumnya.
3.
Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan lalu
b. Masalah-masalah yang pernah
dialami oleh klien sebelum mrs, penyakit-penyakit yang sebelumnya perna
diderita klien sehingga klien dapat mrs.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang dirasakan klien,
hal yang dilakukan untuk mengurangi keluhan. Daerah atau ekstremitas yang
terserang baik atas atau bawah sehingga klien pergi kerumah sakit serta hal
atau tindakan yang dilakukan saat klien dirumah sakit.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Meliputi penyakit-penyakit yang
pernah diderita oleh keluarga baik penyakit yang sama dengan klien, penyakit
keturunan seperti diabetes meletus, hipertensi maupun penyakit menular
seperti hepatitis, tb paru.
4.
Riwayat psikososial dan spiritual.
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : adanya kelemahan dan paralisis
secara simetris yang biasanya dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan
selanjutnya berkembang dengan cepat kearah atas.hilangnya kontrol motorik halus
tangan
Tanda : klemahan otot, paralisis flaksid ( simetris)
Cara berjalan tidak mantap
b. Sirkulasi
Tanda : perubhan tekanan
drah ( hipertensi/hipotensi )
Disritmia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan, diaforesis
c. Integritas/ego
Gejala : perasaan cemas dan
terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi.
Tanda : tampak takut dan
binggung
d. Eliminasi
Gejala : adanya perubahan
pola eliminasi
Tanda : kelemahan otot-otot
abomen.
Hilangnya sensasi anal ( anus ) atau
berkemih dan refleks sfingter.
e. Makanan dan
cairan
Gejala : kesulitan dalam
mengunyah dan menelan
Tanda : gangguan pada
refleks menelan
f. Neurosensori
Gejala : kebas kesemutan yang dimulai
dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya terus naik
Perubhan rasa terhadap posisi tubuh,
vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
Perubahan ketajaman penglihatan.
Tanda : hilangnya/
menurunnya refleks tenon dalam.
Hilangnya tonus otot, adanya masalah
keseimbangan.
Adanya kelemahan pada otot-otot wajah,
terjadi ptosis kelopak mata-
( keterlibatan saraf kranial)
Kehilangan kemampuan untuk berbicara
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri tekan pada
otot; seperti terbakar , sakit, nyeri ( terutama pada bahu, pelvis, pinggang ,
punggung dan bokong ) hipersensitif terhadap sentuhan.
h. Pernapasan
Gejala : kesulitan dalam
bernapas, napas pendek.
Tanda : pernapasan perut,
mengunakan otot bantu napas, apnea penurunan/ hilangnya bunyi napas.
Menurunnya kapasitas vital paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks menelan/batuk
i.
Keamanan
Gejala : infeksi virus
nonspesifik ( seperti; infeksi saluran pernapasan atas) kira-kira 2 minggu
sebelum munculnya tanda seangan.
Adanya riwayat terkena herper zoster,
sitomegalovirus.
Tanda : suhu tubuh
berfluktuasi ( sangat tergantung pada suhu lingkungan).
Penurunan kekuatan/tonus otot,
paralisis atau parastesia.
j.
Interaksi sosial
Tanda : kehilangan
kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.
5.
Pemeriksaan Fisik
B1
B2
B3
B4
B5
B6
|
frekuensi pernafasan 20 x /
menit.
Irama nafas teratur
Pergerakan dada simetris
Otot bantu pernafasn cuping
hidung
Kulit normal
Suara nafas normal
Perfusi normal hangat
Nadi normal
Frekuensi normal
Irama normal
GCS : 4-5-6
Pupil akan bereaksi cepat
terhadap cahaya terang
Ukuran kanan-kiri sama
Bentuk normal simetris
Kemampuan bicara respon /
lancar
Retensi / inkontinensia uri
Reflek batuk tidak ada
Tidak ada gangguan proses
eliminasi alvi
Reflek tonus otot lemah
|
6.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Neurologik
Kelumpuhan tipe flaksial
terutama otot proksimal dan semetris dengan gejala sensorik.
b. Fungsi atau lumbal
Didapat adanya dissosiasi sifat
albumin (kenaikan kadar protein tanpa diikuti kenaikan sel) pada minggu kedua.
c. EMNG
Menunjukkan penurunan kecepatan
hantar saraf dikerjakan bila gejala klinis meragukan.
d. Darah lengkap
Terlihat adanya leukositisis
pada fase awal.
e. Foto ronsen
Dapat memperlihatkan
perkembangan tanda-tanda dari gangguan pernafasan seperti atelekfasis
pneumonia.
f. Pemeriksaan fungsi paru
Dapat menunjukkan adanya
penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
( Brunnert and suddarth, hal 2248 ).
1. Tidak
efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis, berkurangnya
refleks batuk, immobilisasi.
2. Gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia.
3. Ganguan rasa
nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia,
disestisia )
4. Resiko gangguan integritas
kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan
sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia.
5. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah,
menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
6.
Ansietas berhubungan dengan krisis, perubahan status kesehatan
7. Gangguan
eliminasi: konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
makanan, immobilisasi.
8. Gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII, trakeostomi.
9. Tidak
efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
10. Kurangnya
pengetahuan pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis
dan perawatannya.
C.
INTERVENSI
1.
Tidak
efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis, berkurangnya
refleks batuk, immobilisasi.
Kriteria Hasil:
·
Pernapasan optimal.
·
Bunyi napas normal.
·
Jalan napas paten.
·
Nilai AGD dalam batas normal.
Intervensi:
a. Monitor jumlah
pernapasan, irama dan kedalamannya setiap 1-4 jam.
R/: Paralisis pernapasan dapat terjadi
48 jam.
b. Auskultasi
bunyi napas setiap setiap 4 jam.
R/: bunyi napas indkasi adekuatnya
ventilasi.
c. Pertahankan
kepatenan jalan napas, suction dan bersihkan mulut.
R/: Jalan napas paten.
d. Bantu pasien
untuk batuk efektif.
R/: Meningkatkan kepatenan jalan napas.
e. Lakukkan
fisioterapi dada.
R/: Mencegah pneumonia dan atelaktasis.
f. Kolaborasi
dalam pemberian O2.
R/: Pemenuhan kebutuhan oksigen.
g. Monitor AGD.
R/: Mengetahui perubahan oksigen dalam
darah.
h. Kaji tingkat
kesdaran dan warna kulit.
R/: Perubahan AGD akan mempengaruhi
tungkat kesadaran dan warna kulit.
2.
Gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia.
Kriteria Hasil:
·
Pasien partisipasi dalam perawatan.
·
Mobilisasi aktif atau pasif.
·
Tidak terdapat komplikasi berhubungan
dengan immobilitas.
Intervensi:
a. Kaji fungsi
motorik dan sensorik setiap 4 jam.
R/: Paralisi otot dapat terjadi dengan
cepat dengan pola yang makin naik.
b. Kaji derajat
ketergantungan pasien.
R/: Mengidentifikasi kemampuan pasien
dalam kebutuhan ADL.
c. Kaji saraf kranial
setiap 4 jam.
R/: Saraf yang mungkin tenganggu adalah
Nervus Cranial Vii, IX, X, XI, XII.
d. Bantu ambulasi
pasien.
R/: Menghindari cedera dan rasa aman.
e. Kaji
kemungkinan komplikasi, misalnya: tromboli paru atau radang paru.
R/: Mencegah komplikasi immobilisasi
pemenuhan kebutuhan oksigen.
f. Lakukan alih
posisi setiap 2 jam.
R/: Menghindari dekubitus.
g. Lakukan ROM.
R/: Mencegah atropi dan kontraktur.
h. Pertahankan
sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai.
R/: Bagian yang tertekan memerlukan
perhatian khusus karena beresiko terjadi dekubitus.
i.
Gunakan footboard untuk mengganjal
tumit.
R/: Mencegah Foot droop dan kerusakan
kulit.
j.
Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat: kortikosteroid, heparin, antibiotik, immunosupresi.
R/: Menghilangkan gejala CBS
3.
Ganguan rasa
nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia,
disestesia )
Kriteria Hasil :
·
Melaporkan nyeri berkurang /terkontrol
·
Mengungkapkan metode untuk meredakan
nyeri.
·
Mendemostrasikan pengguanaan ketrampilan
relaksasi sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi:
a.
Ukur derajat nyeri/ rasa tidak nyaman
dengan mengunakan skala nyeri 0-10
R/: menganjurkan pasien untuk
mengetahui kuantitas nyeri yang menunjukkan adanyan perubahan, adanya perbaikan.
b.
Observasi tanda-tanda nonverbal dari
nyeri mis ( wajah tampak menahan skit, menarik diri/menangis.
R/: menganjurkan pasien untuk
mengetahui kuantitas nyeri yang menunjukkan adanyan perubahan, adanya
perbaikan.
c.
Anjurkan kilen untuk mengungkapkan perasaan
mengenai nyeri yang dirasakan.
R/: menurunkan perasaan terisolasi,
marah dan cemas yang dapat meningkatkan nyeri tersebut.
d.
Berikan kompres hangat atau dingin,
mandi dengan air hangat, berikan masase atau sentuhn sesuai toleransi pasien.
R/: membantu pasien mendapatkan kontrol
perasaan tidak nyaman secara konstan yan disebabkan oleh parestesia dan
menurunkan kekakuan/nyeri pada otot.
e.
Lakukan perubahan posisi secara
teratur, berikan sokongan dengan bantal, busa atrau selimut.
R/: membantu menghilangkan kelelahan
dan ketegangan otot.
f.
Berikan latihan rentang gerak pasif
R/: menurunkan kekakuan pada sendi
g.
Instruksikan/anjurkan untuk mengunakan
teknik relaksasi, imajinasi terbimbing.
h.
Kolaborasi obat analgesik sesuai
kebutuhan.
R/: menurunkan rasa nyeri
4.
Resiko ganggua
integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis,
gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia.
Kriteria Hasil:
·
Pasien mempertahankan kulit tetap
kering dan utuh.
·
Mempertahankan daerah yang tertekan
tetap kering dan utuh, bebas dari dekubitus.
Intervensi:
a. Kaji fungsi
motorik dan sensorik setiap 4 jam.
R/: Paralisis otot dapat terjadi dengan
cepat dengan pola yang makin naik.
b. Kaji derajat
ketergantungan pasien.
R/: Mengidentifikasi kemampuan pasien
dalam kebutuhan ADL.
c. Monitor daerah
yang tertekan.
R/: Mengidentifikasi tanda-tanda awal
dekubitus.
d. Jaga kebersihan
tempat tidur, lake tetap bersih, kencang dan kering.
R/: Laken yang basah, kotor, kusut
memudahkan terjadinya dekubitus.
e. Monitor intake
dan output nutrisi.
R/: Nutrisi yang adekuat mengurangi
resiko dekubitus.
f. Lakukan alih
posisi setiap 2 jam.
R/: Melancarkan aliran darah bagian
yang tertekan.
g. Lakukan ROM.
R/: Mencegah atropi.
h. Pertahankan
sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai.
R/: Bagian yang tertekan memerlukan
perhatian khusus karena berisiko terjadi dekubitus.
i.
Lakukan massage pada daerah yang
tertekan.
R/: Memperlancar aliran darah.
j.
Gunakan alat bantu untuk mencegaha
penekanan.
R/: Mengurangi resiko dekubitus.
5.
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah,
menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
Kriteria Hasil:
·
Intake makanan sesuai kebutuhan.
·
Tidak tejadi aspirasi saat makan.
·
Tidak terjadi tanda-tanda kurang
nutrisi.
·
Pasien toleran terhadap makanan
parenteral/personde, dengan residu minimal.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan
menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ekstremitas.
R/: Identifiksi kemampuan makan pasien.
b. Monitor intake
dan output nutrisi.
R/: Menentukan adekuatnya kebutuhan
nutrisi pasien.
c. Kaji
tanda-tanda kurang gizi: anemis, nilai albumin, Hb.
R/: Mengetahui status nutrisi pasien.
d. Berikan makanan
sesuai diet tinggi kalori dan tinggi protein.
R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
e. Berikan makanan
personde dengan posisi setengah duduk atau semi fowler.
R/: Menghindari terjadinya aspirasi.
f. Berikan posisi
duduk setelah makan.
R/: Menghindari refluks makanan.
g. Lakukan
perawatan mulut sesudah dan sebelum makan.
R/: Meningkatnya rasa nyaman dan
meningkatnya nafsu makan.
h. Lakukan
perawatan infus untuk nutrisi parenteral setiap hari.
R/: Mencegah terjadinya plebitis,
kepatenan infus.
i.
Timbang berat badan 3 hari sekali jika
memungkinkan.
R/: Mengetahui status nutrisi.
6.
Ansietas berhubungan dengan
krisis, perubahan status kesehatan
Kriteria hasil
·
Tidak ada perasaan taku,klien dapat mengungkapkan masalah yang
dihadapi
Intervensi
a.
Kaji tingkat rasa normal atau takut klien
R / untuk mengetahui tingkat
kecemasan hingga memudahkan tindakan selanjutnya.
b.
Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan pada klien.
R / dengan penjelasan tentang
prosedur yang ada, klien dapat mengerti sehingga dapat menurangi cemas.
c.
Dukung dan berikan kesempatan untuk bertanya pada klien dan
keluarga.
R / dengan mendukung dan
memberikan kesempatan untuk bertanya, klien merasa diperhatikan dan diikuti
dalam perawatan sehingga cemas berkurang.
d.
Libatkan kelurga dan klien dalam perawatan.
R / dengan melibatkan klien dan
keluargalebih memotivasi klien dalam perawatan sehingga cemas berkurang.
7.
Gangguan
eliminasi: konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
makanan, immobilisasi.
Kriteria Hasil:
·
Pola BAB teratur.
·
Konsistensi feses lembek.
·
Bising usus normal.
Intervensi:
a. Kaji pola BAB
pasien.
R/: Menentukan perubahan pola
eliminasi.
b. Kaji bising
usus, frekuensi, intensitas.
R/: Bising usus yang lemah dan lambat
memungkinkan terjadi konstipasi.
c. Berikan diet
tinggi serat.
R/: Meningkatkan residu makanan
danmemperlancar BAB.
d. Berikan banyak
minum sesuai batas toleransi.
R/: Melancarkan atau melembekkan feses.
e. Lakukan ROM,
tingkatkan aktivitas.
R/: Meningkatkan pergerakan untuk
melancarakan BAB.
f. Jaga privasi
pasien dalam BAB.
R/: Meningkatkan keinginan BAB.
g. Berikan obat
pelembek feses: laksadin, sipposituria, laxative dan enema dan kaji
efektivitasnya.
R/: Melembekkan feses dan memudahkan
pengeluaran feses.
8.
Gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII, trakeostomi.
Kriteria Hasil:
·
Pasien dapat mengekspresikan diri
secara verbal dan nonverbal.
·
Mengkomunikasikan keinginan dan kebutuhan
kepada staf atau pengunjung.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan
komunikasi pasien verbal dan non verbal.
R/: Identifikasi kemampuan komunikasi
pasien.
b. Gunakan
pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya” atau “tidak”.
R/: Memudahkan pasien untuk menjawab.
c. Bicara pelan
dan terjadi kontak mata.
R/: Komunikasi mudah dipahami.
d. Gunakan bahasa
isyarat.
R/: Membantu memudahkan komunikasi.
e. Konsultasikan
dengan speeck terapi dalam latihan bicara.
R/: Penanganan lebih lanjut.
f. Komunikasikan
kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan komunikasi.
R/: Keluarga tidak memaksakan untuk
berkomunikasi secara verbal sehingga tidak mengakibatkan rasa frustasi pada
pasien.
9.
Tidak
efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
Kriteria Hasil:
·
Pasien dapat mendemonstrasikan koping
yang efektif.
·
Pasien dapat memandang secara realistik
tentang penyakitnya.
·
Pasien dapat mengekspresikan perasaan
kehilangan atau berespon positif terhadap keadaan dirinya.
·
Pasien kooperatif dan berpartisipasi
dalam perawatan dirinya.
Intervensi:
a. Kaji perilaku
dan mekanisme koping pasien.
R/: Penyakit CBS dapat menimbulkan
perubahan perilaku dan gaya hidup.
b. Gali perasaan
dan ketakutan terhadap penyakitnya.
R/: Memberikan kesempatan kepada pasien
untuk mengekspresikan perasaannya.
c. Berikan
kesempatan pasien untuk mengungkapkan secara verbal tentang gambaran masa
depan.
R/: Membantu menurunkan ketegangan.
d. Libatkan pasien
untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai kemampuannya.
R/: Pasien merasa dihargai dan
meningkatkan harga diri.
e. Hargai
kemampuan yang telah dimiliki pasien.
R/: Meningkatkan harga diri pasien.
f. Kolaborasi
dengan psikolog/psikiater dalam meningkatkan kemampuan koping pasien.
R/: Membantu meningkatkan koping yang
positif.
10.
Kurangnya
pengetahuan pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis
dan perawatannya.
Kriteria Hasil:
·
Pasien/keluarga memahami tentang
penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatannya.
·
Pasien/keluarga kooperatif dalam
perawatan.
Intervensi:
a. Kaji
pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
R/: Mengidentifikasi tingkat
pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
b. Berikan
informasi verbal dan non verbal tentang penyakitnya.
R/: Memahami tentang penyakitnya.
c. Berikan
kesempatan pada pasien untuk bertanya.
R/: Memperjelas materi yang diberikan.
d. Berikan
tanggapan yang positif dan realistik tentang penyakitnya.
R/: Memberikan motivasi dalam perawatan
pasien.
D.
IMPLEMENTASI
Disesuaikan dengan intervensi
keperawatan yang telah disusun.
E.
EVALUASI
Evaluasi
dilakukan dalam bentuk evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi
dilakukan sesuai dengan kriteria hasil yang telah disusun
Hasil evaluasi
yang diharapkan setelah dilakukan implementasi dari intervensi yang
direncanakan, yaitu:
1. Mencapai fungsi
pernapasan adekuat
2. Beradaptasi
pada gangguan mobilitas
3. Tidak
mengalami integritas kulit (dekubitus)
4. Kebutuhan
nutrisi terpenuhi
5. Kebutuhan
eliminasi baik
6. Tidak mengalami Gangguan
komunikasi
7. Koping efektif
8. Pengetahuan bertambah
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku
Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta:
EGC
Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit
Edisi Revisi. EGC: Jakarta.
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi
I. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan
Holistik. Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC
Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal – Bedah
gangguan Sistem Persarafan.
Long, Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah
: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan.
Marilynn E. Doenges, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler, “Rencana
Asuhan Keperawatan” edisi 3, EGC; Jakarta 1992.
Nasrul Efendi, Drs. “Pengantar
Proses Keperawatan”, EGC, Jakarta 1995.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep
Klinis dan Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6. EGC: Jakarta.
Wong.
DC. 2003. Pedoman klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4. EGC: Jakarta
Brenda G.B dan Suzanne C.S, alih bahasa oleh Andry
Hartono,dkk; Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth;
Edisi 8 Volume III; Penerbit Buku Kedokteran, ECG, Jakarta,2002
No comments:
Post a Comment