WHO AM I?

I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA POLTEKKES KEMENKES DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN

Thursday, June 21, 2012

MADURA DENGAN MASALAH KESEHATAN

Juniartha Semara Putra

BAB I PENDAHULUAN

1.      Masalah budaya Madura dengan kesehatan
            Berbicara mengenai masyarakat Madura, fenomena yang hingga saat ini berkembang adalah stereotyping masyarakat tersebut sebagai masyarakat marginal, terbelakang dalam hampir berbagai aspek kehidupan. Mereka nyaris diidentikkan dengan orang yang kurang berpendidikan, kasar, keras, kurang tahu tata pergaulan sosial, bahkan disimplifikasi sebagai tukang carok yang selalu menyebarkan kekerasan. Anekdot dan humor yang merepresentasikan keterbelakangan mereka ini sering muncul dalam perbincangan di berbagai forum santai maupun serius. 
            Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, dan, identitas budayanya itu dianggap sebagai jati diri individual etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan masyarakat.  Madura, salah satu etnis di Indonesia yang cukup banyak diteliti dan dibicarakan. Sebagai salah satu etnis di Indonesia.
            Madura dikenal sebagai masyarakat yang patriarkal, di mana perempuan tidak memiliki posisi yang signifikan, hal ini dapat dilihat dengan lemahnya posisi tawar perempuan Madura terhadap laki-laki. Lemahnya posisi tawar perempuan rupanya membawa konsekuensi yang jauh lebih besar, yaitu perempuan tidak memiliki akses terhadap kesehatan, bahkan ketika mereka sedang mengandung. Tentu saja tidak adanya akses terhadap kesehatan membawa implikasi yang lebih besar, yaitu bahaya yang dapat menimpa ibu hamil, mulai dari kekurangan asupan gizi, bahaya sewaktu hamil, ketika melahirkan bahkan pascamelahirkan. Tentu saja ketiadaan akses terhadap kesehatan dapat menyebabkan kematian, bukan hanya terhadap ibu namun juga anak yang akan dilahirkannya. Persoalannya menjadi lebih pelik ketika memperhatikan kurangnya sarana kesehatan yang disediakan oleh pemerintah dan swasta, bagaimana sarana yang disediakan tidak mampu mengurangi angka kematian bayi secara signifikan dan membantu meningkatkan kualitas kesehatan pada ibu hamil, di mana kedua hal ini sangat dipengaruhi oleh kultur Madura yang menjadikan laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan, baik atas tubuhnya maupun atas kesehatannya.
            Salah satu persoalan krusial yang mendera masyarakat Madura umumnya adalah masalah kesehatan. Dibandingkan daerah-daerah lainnya di Jawa Timur, kita  harus mengakui dengan jujur bahwa pembangunan kesehatan di Madura ketinggalan. Daerah ini serba ketinggalan dalam banyak hal. Tingkat penyebaran penyakit menular cukup tinggi, sementara ketersediaan prasarana dan sarana kesehatan terbatas. Banyak warga, terutama yang miskin dan yang tinggal di daerah pedesaan terpencil, lebih-lebih di kepulauan, tidak dapat menikmati pelayanan kesehatan yang pantas. Mereka hidup terlantar dan berjuang sendiri mengatasi penyakit-penyakit yang menggerogoti tubuh dan lingkungan tempat tinggal mereka.
Daerah Madura adalah daerah yang kering dengan ketersediaan air yang sangat terbatas. Kondisi ini membuat warga rentan sekali terhadap serangan wabah penyakit. Belum lagi ancaman berbagai persoalan kesehatan lain yang kini menggerogoti masyarakat seperti penyakit menular baru dan yang kembali bermunculan, kedaruratan kesehatan masyarakat, perubahan iklim, serta krisis energi dan pangan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat, ketersediaan fasilitas kesehatan termasuk obat-obatan yang terbatas dan langkanya tenaga kesehatan memperburuk situasi itu.
Problem lain adalah tidak meratanya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Rakyat pedesaan dan yang tinggal di kepulauan belum mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya.  Di beberapa kecamatan, hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sekalipun tidak terpenuhi. Ini yang menyebabkan masalah penyakit menular dan gizi buruk bermunculan. Angka kematian ibu dan bayi baru lahir juga masih tinggi. 
               
               Madura dengan empat kabupaten merupakan wilayah dengan jumlah penduduk yang sangat besar dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa Timur, dan angka kematian bayi di Madura sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa Timur. Sedangkan para ibu hamil di Madura lebih banyak mengkonsumsi nasi dan sedikit jenis sayuran, dan sangat jarang mengkonsumsi telur dan susu, konsumsi daging pun sangat kurang, barangkali hanya ikan yang mereka konsumsi, itu pun jumlahnya sangat tidak mencukupi. Dan terbebani dengan berbagai aktivitas rumah tangga, sehingga seringkah mereka merasa lebih cepat lelah, hal ini sebagai 'efek samping' dari anemia yang mereka alami, selain itu juga menyebabkan bayi lahir secara prematur dan bayi lahir dengan berat badan rendah. Selain masalah nutrisi, hal yang menyebabkan angka kematian ibu dan anak tinggi di Madura adalah ketidak percayaan masyarakatnya terhadap tenaga kesehatan professional, mereka lebih memilih ke para dukun beranak yang berjenis kelamin perempuan karena Islam yang melarang seorang perempuan untuk berdekatan dengan laki-laki yang bukan kerabatnya (mahram = orang yang diharamkan untuk dinikahi). Selain itu faktor Ekonomi menjadi faktor pendorong mengapa banyak ibu hamil di Madura lebih memilih untuk mendatangi dukun dan tenaga kesehatan non- profesional 
               Selain masalah kematian ibu dan bayi yang tinggi, masyarakat Madura juga cenderung mengalami hipertensi karena terlalu banyak mengkonsumsi garam, akan berdampak pada risiko penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi. Risiko tinggi hipertensi ini pula yang terjadi di masyarakat Pulau Madura, yang dikenal dengan Pulau Garam karena merupakan sentra industri garam. Hipertensi yang diidap ‘Reng Madure’ ternyata juga tinggi.
 
2.      Banyaknya kasus
Angka Kematian Bayi di Madura Tahun 2003-2006 
KABUPATEN
TAHUN
ANGKA KEMATIAN BAYI
Bangkalan
2004 
 
 
2005 
 
 
2006 

62,80 
 
 
61,72 
 
 
61,72 

Sampang 

2004 
 
 
2005 
 
 
2006 

80,00 
 
 
71,66 
 
 
70,26 

Pamekasan 

2004 
 
 
2005 
 
 
2006 

57,85 
 
 
60,84 
 
 
59,73 

Sumenep 
 
 
 
2004 
 
 
2005 
 
 
2006 

66,53 
 
 
55,59 
 
 
54,54 


Sumber: BPS Jawa Timur (2007) 
 
               Data di atas menunjukkan fluktuasi angka kematian bayi di empat kabupaten di Madura. Dapat dilihat bahwa Sampang pada tahun 2003 adalah kabupaten yang memiliki angka kematian bayi paling tinggi, meskipun angka tersebut dapat ditekan hingga pada tahun 2006 jumlah menurun. Hal yang sama juga terjadi di Sumenep dan Bangkalan, hanya Sampang dan Sumenep yang berhasil menekan angka kematian bayi secara signifikan, berbeda dengan Bangkalan dan Pamekasan. Pamekasan justru mengalami kenaikan angka kematian bayi pada tahun 2005 meskipun angka tersebut kembali turun pada tahun 2006. 
Jika angka kematian bayi memberikan gambaran yang mengkhawatirkan, setidaknya hal ini tidak terlihat pada angka harapan hidup bayi, di mana trend yang terjadi adalah peningkatan harapan hidup bayi. Pada tahun 2006, seluruh kabupaten di Madura memiliki angka harapan hidup bayi yang cukup baik, sebagaimana yang terlihat dalam Tabel 2. di bawah ini. 
 
Tabel 2. Angka Harapan Hidup Bayi Tahun 2004-2006 
KABUPATEN
TAHUN
ANGKA HARAPAN HIDUP BAYI
Bangkalan
2004 
 
 
2005 
 
 
2006 

62,40 
 
 
62,00 
 
 
62,20 

Sampang 

2004 
 
 
2005 
 
 
2006 

58,55 
 
 
59,80 
 
 
60,10
Pamekasan 

2004 
 
 
2005 
 
 
2006 

64,45 
 
 
62,20 
 
 
62,45 

Sumenep 
 
 
 
2004 
 
 
2005 
 
 
2006 

62,20 
 
 
63,40 
 
 
63,65
Sumber: BPS Jawa Timur (2007a) 
 
               Persoalannya adalah, apa yang menyebabkan tingginya angka kematian bayi di Madura, apakah hanya faktor pelayanan kesehatan dan kesehatan ibu ketika hamil atau kah terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan hal ini terjadi, dan persoalan ini lah yang menjadi fokus dalam makalah ini. 
               Persoalan lain yang melingkupi jika berbicara mengenai angka kematian bayi (AKB) adalah angka kematian ibu (AKI). Sangat disayangkan, baik BPS maupun Dinas Kesehatan Jawa Timur tidak merilis data mengenai angka kematian bayi dan persoalan 
Penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi ternyata banyak diderita orang Madura. Faktor genetik atau keturunan merupakan penyebab tertinggi, disamping kadar garam yang cukup tinggi dalam sebagian besar makanan yang dikonsumsi masyarakat pulau Garam menjadi pemicu penyakit yang menjadi salah satu silent killer disease atau penyakit pembunuh secara diam-diam di Indonesia.
                Menurut Yuliono, Selain penyakit Diabetes Melitus (DM) yang juga cukup tinggi, bahkan dari 250 penderita yang berobat ke rumah sakit terdapat 11 orang meninggal dunia. Demikian pula dengan penyakit hipertensi angkanya juga tinggi, berdasarkan data di bagian medical record sebanyak 126 penderita yang mendapatkan perawatan medis di November ini.
Sedangkan dari Sumenep dilaporkan, kunjungan pasien hipertensi ke Rumah Sakit (RS) dr Moh Anwar Kabupaten Sumenep tergolong tinggi. Setiap bulannya, angka kunjungan rata-rata antara 150 sampai 200 orang. Angka kunjungan pasien yang mengalami hipertensi masih menempati urutan satu dan dua dari pasien umum
            Belakangan ini, kata dia, kunjungan pasien hipertensi cenderung meningkat. Mayoritas dari kalangan dewasa hingga umur tua. Pasien yang sudah terkena stroke dibandingkan dengan hipertensi, lebih banyak yang sudah terkena stroke. Angka kunjungan pasien stroke sudah mengkuatirkan para tenaga medis di rumah sakit ini.

3.      Proses terjadinya
               Kesehatan Ibu Hamil dalam Budaya Madura AKI dengan berbagai alasan. Di tingkat nasional, angka kematian ibu di Indonesia mencapai posisi pertama di ASEAN, yakni sebesar 307 per 100.000 kelahiran pada tahun 2007. 
               Persoalan mengenai tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu dikatakan memiliki kaitan dengan kesehatan, baik itu layanan kesehatan hingga kesehatan individual seorang perempuan yang sedang hamil, tapi benarkah masalah layanan kesehatan menjadi momok bagi tingginya AKB dan AKI di Indonesia, atau lebih khususnya di Madura. 
               Secara sangat gamblang dan jelas pemerintah RI melalui Departemen Kesehatan telah menerbitkan suatu keputusan yang penting mengenai standar pelayanan kesehatan, yakni dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, di mana hal ini meliputi pula pelayanan kesehatan ibu dan anak. Dalam SK tersebut juga ditetapkan bahwa setiap Kabupaten/Kota diwajibkan memiliki empat buah puskesmas yang dilengkapi dengan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) dan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Kompresensif (PONEK) bagi rumah sakit rujukan (Rachman, 2007:44-45). 
               Meskipun pemerintah pusat telah secara tegas mewajibkan adanya standar pelayanan kesehatan, namun hal ini tidak akan berjalan tanpa adanya fasilitas kesehatan yang baik, setidaknya secara kuantitas. Di Madura sendiri, pada tahun 2003, terdapat empat Rumah Sakit Umum, 91 Puskesmas, 236 Puskesmas Pembantu, 93 Puskesmas Keliling, 3.854 Posyandu dan 581 Pondok Bersalin, namun hal ini rupanya tidak membantu. 
               Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang baik, tentu saja hal ini terlihat dengan tingginya angka kematian bayi di Madura. Menurut data yang dirilis oleh BPS, tidak terdapat penambahan signifikan terhadap jumlah fasilitas kesehatan yang ada di Madura, bahkan dalam beberapa fasilitas pelayanan kesehatan terdapat penurunan jumlah yang cukup signifikan (lihat Tabel 3. dan Tabel 4.). 
 
Tabel 3. Banyaknya Rumah Sakit Umum, Puskesmas dan Puskesmas Pembantu 2002-2003 
KABUPATEN 
TAHUN 
Jumlah Rumah Sakit Umum 
 
Jumlah Puskesmas 
 
Jumlah Puskesmas Pembantu 
 
Bangkalan 
 
2002 
 
2003 
 
1 
 
1 
 
22 
 
22
69 
 
69 
 
Sampang 
 
2002 
 
2003 
 
1 
 
1 
 
20 
 
20 
 
51 
 
51
Pamekasan 
 
2002 
 
2003 
1 
 
1 
20 
 
20
39 
 
47 

Sumenep 
 
2002 
 
2003
 
1 
 
1 
 
29 
 
29 
 
68 
 
69 

Sumber: BPS Jawa Timur (2007b) 
 
Tabel 4. Banyaknya Puskesmas Keliling, Posyandu dan Pondok Bersalin 2002-2003 
KABUPATEN 
TAHUN
Jumlah Puskesmas 
keliling
 
Posyandu 
 
Pondok bersalin 
 
Bangkalan 
 
2002 
 
2003 
 
24 
 
24 
 
1.035 
 
1.003 
 
171 
 
145 
 
Sampang 
 
2002 
 
2003 
 
20 
 
20 
 
839 
 
839 
 
102 
 
134
Pamekasan 
 
2002 
 
2003 
16 
 
23 
 
776 
 
742 
 
134 
 
134 
 
Sumenep 
 
2002 
 
2003
 
26 
 
26 
1.236 
 
1.236 
 
214 
 
168 
 
Sumber: BPS Jawa Timur (2007) 
               Persoalannya setidaknya menjadi lebih jelas, bahwa terdapat kesenjangan antara jumlah penduduk dengan jumlah sarana kesehatan yang tersedia. Meskipun demikian, kesenjangan ini dapat diatasi dengan menambah jumlah sarana kesehatan. Sarana kesehatan yang tersedia memang tidak mencukupi untuk melayani kebutuhan semua masyarakat, bahkan jika dibandingkan dengan jumlah pasangan usia subur yang ada di masing-masing kabupaten. Di Kabupaten Sumenep misalnya, hanya terdapat 198 sarana kesehatan yang dapat melayani kelahiran (RSU, Puskesmas dan Pondok Bersalin), sedangkan di kabupaten tersebut terdapat pasangan usia subur yang mencapai 230.821 (Pemprov Jatim-BKKBN 2005), jika setiap pasangan melahirkan seorang anak dalam satu tahun yang sama, artinya terdapat 633 kelahiran setiap harinya, suatu jumlah yang sangat besar, dan hal ini hanya membutuhkan jumlah sarana kesehatan yang besar pula. 
               Namun persoalannya tidak lah semudah itu, penambahan jumlah sarana kesehatan yang diperkirakan dapat membantu menekan angka kematian bayi nampaknya tidak terlalu berhasil menekan angka kematian tersebut. Persoalan lain yang harus dipertimbangkan adalah kultur orang Madura. Seringkah para ibu di Madura secara sengaja, dengan berbagai alasan, tidak datang ke rumah sakit atau pun pondok bersalin untuk melahirkan, melainkan mereka lebih memilih untuk datang ke bidan atau pun dukun bayi. Secara umum, bidan dan dukun bayi tidak pernah dihitung sebagai tenaga pembantu kelahiran, sehingga tidak terdapat data berapa banyak jumlah bidan yang ada di setiap kabupaten, demikian pula dengan dukun bayi. 
               Persoalan layanan kesehatan memang titik penting dalam membahas mengenai angka kematian bayi dan angka kematian ibu, mengingat layanan kesehatan menjadi hak bagi setiap warga negara, maka penyediaan layanan kesehatan menjadi prioritas utama pemerintah. Persoalannya, layanan kesehatan yang tersedia dalam berbagai varian tidak tersebar secara merata. Para tenaga medis tidak tersebar sehingga banyak masyarakat yang memilih tenaga non-medis untuk membantu persalinan mereka. 
               Pada umumnya, perempuan Madura tidak memiliki banyak pilihan pada siapa mereka akan meminta pertolongan ketika akan melahirkan. Persoalannya menjadi lebih mudah jika mereka datang ke RSU, Puskesmas atau pun ke pondok bersalin (demikian pula jika ke bidan yang terlatih).Pemerintah telah mencanangkan suatu program yang dikenal dengan MPS atau Making Pregnancy Safer, di mana pemerintah berupaya menekan AKB dan AKI dengan jalan mendorong masyarakat untuk memeriksakan kehamilannya sebanyak minimum empat kali dan pertolongan kelahiran yang ditangani oleh bidan atau tanaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan. Program MPS tersebut nampaknya tidak berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dengan belum dilaksanakannya program ini di berbagai daerah (Rachman, 2007:45). 
               Pertolongan kelahiran menjadi persoalan yang krusial, tidak hanya karena pertolongan kelahiran membantu menekan angka kematian bayi, namun juga dapat menekan angka kematian ibu. Dalam laporan yang dirilis oleh SDKI (dalam Rachman, 2007:42-43), banyak ibu hamil yang memilih untuk melakukan persalinan di rumah dengan bantuan dukun atau pun ke tempat praktik dukun, meskipun mayoritas sudah beralih ke bidan untuk melahirkan, namun dukun sebagai tenaga pembantu persalinan masih banyak dibutuhkan. Data yang dirilis pun menampilkan suatu gambaran baru, yakni mereka yang datang ke dukun dengan prosentasi yang tinggi adalah mereka yang berusia kurang dari dua puluh tahun, dan mereka yang berumur 20-34 tahun cenderung untuk memilih bidan, sedangkan mereka yang berumur 35-49 memilih antara bidan dan dukun bayi dengan perbedaan prosentasi yang tidak terlalu besar (lihat Tabel 5.) 
 
Tabel 5. Tenaga Pertolongan Persalinan dan Usia Ibu Hamil 2002-2003 
Umur 
 
Dokter 
 
Perawat/ 
bidan 
 
Dukun/ 
lainnya 
 
Keluarga/ 
lainnya 
 
<20 
 
1.0 
 
4.5 
 
52.7 
 
40.2 
 
20-34 
 
0.6 
 
10.9 
 
57.6 
 
28.5 
 
35-49 
 
1.2 
 
11.6 
 
44.8 
 
39.9 
 
 
Sumber: SDKI ([2005] dalam Rachman, 2007: 42) 
 
               Menurut data tersebut di atas, dapat diketahui mengenai posisi tenaga kesehatan profesional (dokter dan bidan) dengan tenaga kesehatan non- profesional (dukun). Posisi dukun dalam membantu persalinan juga terkait erat dengan wilayah tempat ibu tersebut. SDKI telah merilis data bahwa para ibu yang ada di wilayah pedesaan cenderung untuk datang ke dukun bayi, meskipun cukup banyak juga yang datang ke bidang. Kepada siapa para ibu meminta bantuan persalinan rupanya pun terpengaruh oleh anak keberapa yang dikandungnya. Semakin tinggi kandungan anak, maka ibu tersebut cenderung meminta bantuan kepada tenaga kesehatan non- profesional, atau dalam hal ini dukun bayi. 
               Pertolongan ketika akan bersalin tidak semata persoalan kepada siapa para ibu hamil akan meminta pertolongan, namun juga ditentukan oleh kemampuan ekonomi ibu dan lingkungan sosialnya. Secara umum, sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh BPS, dari empat kabupaten di Madura, hanya Sumenep yang memiliki jumlah Seluarga Pra Sejahtera Alasan Ekonomi (K Pra-S ALEK) dan Keluarga Sejahtera 1 Alasan Ekonomi (KS1 ALEK) paling rendah, yakni 29.31%; sedangkan Pamekasan menempati posisi pertama dengan jumlah KP-S ALEK dan KS1 ALEK denga total 78.51% dari total penduduk.
               Ekonomi menjadi faktor pendorong mengapa banyak ibu hamil di Madura lebih memilih untuk mendatangi dukun dan tenaga kesehatan non- profesional dalam membantu proses persalinan, dan alasan ekonomi pula lah yang mendorong mereka untuk sedapat mungkin menjauhi RSU, selain tentunya RSU hanya terdapat di wilayah pusat kabupaten yang sulit dijangkau oleh mereka yang tinggal di pedesaan. Alasan ekonomi yang menyebabkan banyak para ibu hamil datang ke dukun, tidak hanya karena biaya untuk melahirkan di dukun lebih murah secara biaya, mereka pun tidak direpotkan dalam mendatangi atau mendatangkan dukun ke rumah mereka. 
               Meskipun demikian, bukan hanya alasan ekonomi yang mendorong para ibu untuk mendatangkan dukun, namun juga oleh lingkungan sosial mereka.        Persoalan ini menjadi semakin menyudutkan para ibu yang sedang hamil, bahwa mereka tidak diperkenankan ke dokter atau tenaga kesehatan yang profesional dengan jenis kelamin laki-laki, mereka hanya boleh memeriksakan kandungannya dan membantu proses persalinan hanya kepada tenaga kesehatan perempuan.  
               Sebagian masyarakat Madura berada dalam lingkungan Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1 Alasan Ekonomi (ALEK). Tidak mengherankan jika banyak terjadi kasus kehamilan, sedangkan kondisi ibu hamil tidak terlalu baik. Sekurang-kurangnya terdapat dua hal utama yang berkait dengan kesehatan ibu hamil, yaitu: (1) usia kawin, dan (2) kesehatan ibu ketika sedang hamil. 
               Usia menikah yang terlalu dini menurut penelitian yang dilakukan oleh Hendrawati (1993), angka menarche di Pamekasan adalah 12.62, tentu saja usia menarche ini memiliki beragam variasi, baik berdasarkan tingkat ekonomi, lingkungan, tingkat konsumsi gizi, maupun tingkat pendidikan orang tua perempuan atau ibu. 
               Analisis demografis yang tertulis dalam situs resmi pemerintah Provinsi Jawa Timur (2004), dikatakan bahwa seorang perempuan memasuki usia subur pada usia 15 tahun dan melampaui batas reproduksi pada usia 49 tahun. Jika seorang perempuan sudah dinikahkan pada usia menarche atau pada usia subur, dapat dipastikan perempuan tersebut memiliki anak dengan jumlah yang cukup banyak, mengingat luasnya rentang waktu reproduksi yang dimiliki. Persoalannya adalah, tidak adanya data resmi mengenai berapa jumlah perempuan yang sudah menikah sebelum 15 tahun, data yang tersedia di Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dalam hal ini merupakan data BKKBN, jumlah perempuan yang menikah dalam usia di bawah 20 tahun cukup bervariasi, namun untuk di Madura sendiri, jumlah perempuan yang menikah di bawah 20 tahun terrendah ada di Sampang dan tertinggi di Sumenep.
               Persoalannya menjadi lebih rumit, karena ibu hamil dengan usia di bawah 20 tahun sangat rawan mengalami kekurangan gizi atau lebih dikenal dengan istilah Kekurangan Energi Kronis (KEK), di mana penderita KEK pada remaja di bawah 20 tahun mencapai 37%. Perempuan Madura, karena faktor kemiskinan akhirnya mengalami kekurangan gizi, sebagian besar dari mereka malah mengalami anemia. Dalam cakupan yang lebih luas, ibu hamil yang terkena anemia di tingkat nasional cukup tinggi, yakni mencapai 50,3% dari total kehamilan. Dalam survei yang dilakukan oleh SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga), diketahui bahwa 52% dari remaja putri mengalami anemia (Rachman, 2007:44). Kekurangan gizi selama masa kehamilan sangat berbahaya, tidak hanya bagi bayi yang berada dalam kandungan, namun juga bagi ibu yang sedang hamil. Persoalan gizi buruk ketika masa kehamilan di Madura sebenarnya adalah masalah yang 'klasik'. 
               Sebagaimana diketahui, suku Madura mempunyai watak yang sangat temperamental, sehingga gampang naik darah. Kondisi tersebut dapat menjadi pemicu terjadinya penyakit hipertensi, karena tekanan darah akan naik ketika emosinya meningkat. Pernyataan itu disampaikan Humas Rumah Sakit Daerah (RSD) Sampang, dr Yuliono, ketika dikonfirmasi terkait meningkatnya jumlah penderita hipertensi di Sampang.
               Penderita hipertensi ada yang multifaktoral atau penyebabnya tidak jelas, namun ada juga karena kehamilan dan usia lanjut. Dia menambahkan, faktor genetik juga cukup dominan dalam memberi kontribusi meningkatnya angka penderita hipertensi tersebut.  
            Pihak rumah sakit, kata dia, tidak hanya sekedar memberi pelayanan pada pasien dalam pengobatan, tetapi juga sering memberikan penyuluhan, sehingga penderita hipertensi bisa ditekan seminimal mungkin. Bagi yang sudah stroke, pihak RS terus melakukan rehabilitas dengan baik. Para dokter sudah siap melayani seprima mungkin.
            Namun, yang berhubungan dengan jantung, pihak RS Sumenep tidak mungkin menangani sehingga harus dirujuk ke RD dr Soetomo Surabaya. Selama ini, memang ada pasiei yang sudah kronis dan berhubungan jantung, ya terpaksa harus di rujuk ke Surabaya
            Kepala Dinas Kesehatan Pamekasan Drs Apt Ismail Bey  MSi mengatakan hipertensi merupakan penyakit keturunan dan terkait dengan pola kebiasan makan yang tidak baik, sehingga bisa mengakibatkan berat badan berlebih dan bisa bergula tinggi.
            Upayanya harus dengan diet atau olah raga yang teratur dan juga dengan terapi pengobatan. Menurut dia penyakit hipertensi itu gejalanya sama se Indonesia, tidak ada kaitannya dengan masalah  ekonomi dan SDM. Bagi warga Madura, hipertensi juga bisa terjadi karena faktor  garam yang banyak terkandung di dalam air dan makanan.

4.      Dampak
               Kesehatan ibu ketika hamil tidak hanya penting bagi bayi yang berada di dalam kandungan, namun juga bagi ibu itu sendiri, baik sebelum proses persalinan maupun sesudah proses persalinan. Salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia adalah karena terjadinya pendarahan dan keterlambatan dalam proses pertolongan dari dokter atau tenaga kesehatan profesional. Pendarahan tidak hanya terjadi dalam proses persalinan, tapi juga terjadi sesudah melahirkan atau post partum. Pendarahan yang terjadi ketika masa persalinan dan masa sesudah persalinan dapat terjadi sebagai akibat dari buruknya gizi ibu hamil dan minimnya fasilitas medis yang tersedia ketika masa persalinan, hal ini umumnya terjadi karena persalinan ditolong oleh dukun atau tenaga media non-profesional. 
               Perempuan Madura, Terpuruk Dalam Kesehatan Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, perempuan Madura adalah milik laki-laki sepenuhnya, mereka tidak memiliki posisi tawar terhadap laki-laki, atau dalam hal ini suami mereka. Mereka 'harus rela' untuk 
tidak mendapatkan perawatan kesehatan ketika mereka sedang hamil, dalam proses persalinan, dan setelah proses persalinan. Posisi laki-laki Madura yang banyak mengatur terhadap perempuan tidak hanya berdampak pada kesehatan perempuan, namun juga memiliki dampak terhadap keselamatan jiwa perempuan dan anak yang sedang dalam kandungannya. Tidak mengherankan jika Madura memiliki angka kematian bayi yang begitu tinggi dan angka harapan hidup bayi yang rendah. Hal ini dikarenakan budaya Madura mempengaruhi berbagai keputusan yang diambil yang terkait dengan kehamilan. 
               Seorang perempuan, terutama yang tinggal di pedesaan, tidak memiliki banyak pilihan mengenai kesehatan mereka. Mereka tidak dapat mengajukan keberatan ketika hak mereka atas kesehatan yang lebih baik akhirnya harus hilang karena kekhawatiran suami atau ayah bahwa dokter yang memiliki kompetensi ternyata berjenis kelamin laki-laki. Mereka tidak dapat mengajukan keberatan jika ayah atau suami mereka memaksa mereka untuk melahirkan di rumah dan hanya ditolong oleh seorang dukun bayi dengan sarana kesehatan yang sangat minim. Mereka pun tidak dapat mengajukan keberatan ketika terjadi kematian anaknya karena kesalahan dukun dalam membantu proses persalinan, bahkan mereka tidak dapat mengajukan keberatan jika ternyata mereka menjadi korban karena proses persalinan terjadi pendarahan dan infeksi yang menyebabkan kematian mereka. 
               Tidak hanya secara fisik ketika dalam proses persalinan, mereka juga terbebani oleh tanggungjawab domestik yang menumpuk sehingga mereka terlalu lelah, dan akibatnya hal ini berpengaruh sangat besar terhadap bayi yang sedang dikandungnya. Tugas domestik tidak hanya dibebani ketika masa kehamilan, bahkan setelah melahirkan. Tugas-tugas domestik yang harus dilakukan oleh seorang perempuan Madura adalah representasi dari lemahnya posisi mereka dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, kepemimpinan ada di tangan laki-laki. Melalui kekerabatan, politik ruang dan budaya kekerasan, di mana seluruh isu berputar pada persoalan kepemilikan perempuan oleh laki-laki. 
               Posisi perempuan tertata dalam norma dan berbagai aturan dan praktik sosial yang berlaku, hal ini terlihat dalam posisi peletakan perempuan dalam rumah dan posisinya adalah sebagai 'makhluk yang berada dalam pengawasan ketat laki-laki. Di bawah kepemimpinan laki-laki Madura, para perempuan Madura mengalami suatu keterpurukan dalam bidang kesehatan, yang pada gilirannya justru mengantarkan mereka dan anak-anak yang sedang mereka kandung pada posisi yang sangat tragis, yakni posisi yang menjadikan nyawa sebagai taruhannya. 
               Pola makan masyarakat Madura pada dasarnya perlu diperbaiki. Yakni harus menjaga keseimbangan gizi dan pola hidup sehat. Pada saat yang sama, mengurangi konsumsi garam, disertai mengurangi makanan berkomponen garam, seperti ikan asin. Sehingga, tidak memicu tekanan darah tinggi. Saat tekanan darah sudah mulai tinggi, harus secepatnya mengkonsumsi makanan yang dibutuhkan tubuh untuk menstabilkannya, sehingga tekanan kembali stabil

BAB II TINJAUAN TEORI

1.      Konsep transculture
            Kazier Barabara ( 1983 ) dalam bukuya yang berjudul Fundamentals of Nursing Concept and Procedures mengatakan bahwa konsep keperawatan adalah tindakan perawatan yang merupakan konfigurasi dari ilmu kesehatan dan seni merawat yang meliputi pengetahuan ilmu humanistic , philosopi perawatan, praktik klinis keperawatan , komunikasi dan ilmu sosial . Konsep ini ingin memberikan penegasan bahwa sifat seorang manusia yang menjadi target pelayanan dalam perawatan adalah bersifat bio – psycho – social – spiritual . Oleh karenanya , tindakan perawatan harus didasarkan pada tindakan yang komperhensif sekaligus holistik.
            Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata sebagai manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma , adat istiadat menjadi acuan perilaku manusia dalam kehidupan dengan yang lain . Pola kehidupan yang berlangsung lama dalam suatu tempat , selalu diulangi , membuat manusia terikat dalam proses yang dijalaninya . Keberlangsungaan terus – menerus dan lama merupakan proses internalisasi dari suatu nilai – nilai yang mempengaruhi pembentukan karakter , pola pikir , pola interaksi perilaku yang kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh pada pendekatan intervensi keperawatan ( cultural nursing approach ).
            Budaya mempunyai pengaruh luas terhadap kehidupan individu . Oleh sebab itu , penting bagi perawat mengenal latar belakang budaya orang yang dirawat ( Pasien ) . Misalnya kebiasaan hidup sehari – hari , seperti tidur , makan , kebersihan diri , pekerjaan , pergaulan social , praktik kesehatan , pendidikan anak , ekspresi perasaan , hubungan kekeluargaaan , peranan masing – masing orang menurut umur . Kultur juga terbagi dalam sub – kultur . Subkultur adalah kelompok pada suatu kultur yang tidak seluruhnya mengaanut pandangan keompok kultur yang lebih besar atau member makna yang berbeda . Kebiasaan hidup juga saling berkaitan dengan kebiasaan cultural.
            Nilai – nilai budaya Timur , menyebabkan sulitnya wanita yang hamil mendapat pelayanan dari dokter pria . Dalam beberapa setting , lebih mudah menerima pelayanan kesehatan pre-natal dari dokter wanita dan bidan . Hal ini menunjukkan bahwa budaya Timur masih kental dengan hal – hal yang dianggap tabu.
            Dalam tahun – tahun terakhir ini , makin ditekankan pentingknya pengaruh kultur terhadap pelayanan perawatan . Perawatan Transkultural merupakan bidang yang relative baru ; ia berfokus pada studi perbandingan nilai – nilai dan praktik budaya tentang kesehatan dan hubungannya dengan perawatannya . Leininger ( 1991 ) mengatakan bahwa transcultural nursing merupakan suatu area kajian ilmiah yang berkaitan dengan perbedaan maupun kesamaan nilai – nilai budaya ( nilai budaya yang berbeda ras , yang mempengaruhi pada seseorang perawat saat melakukan asuhan keperawatan kepada pasien.
            Perawatan transkultural adalah berkaitan dengan praktik budaya yang ditujukan untuk pemujaan dan pengobatan rakyat (tradisional) . Caring practices adalah kegiatan perlindungan dan bantuan yang berkaitan dengan kesehatan.
            Menurut Dr. Madelini Leininger , studi praktik pelayanan kesehatan transkultural adalah berfungsi untuk meningkatkan pemahaman atas tingkah laku manusia dalam kaitan dengan kesehatannya . Dengan mengidentifikasi praktik kesehatan dalam berbagai budaya ( kultur ) , baik di masa lampau maupun zaman sekarang akan terkumpul persamaan – persamaan . Lininger berpendapat , kombinasi pengetahuan tentang pola praktik transkultural dengan kemajuan teknologi dapat menyebabkan makin sempurnanya pelayanan perawatan dan kesehatan orang banyak dan berbagai kultur.
            Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli antropologi Cateora, yaitu :
  • Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.


  • Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
  • Lembaga social
Lembaga social dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier
  • Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
  • Estetika
    Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari –tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning dan buah – buahan, sebagai symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
  • Bahasa
    Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.

2.      Budaya Suku Madura
               Para ibu yang hamil, terutama di wilayah pedesaan di Madura umumnya masuk dalam lingkungan permukiman keluarga batih, atau lebih di kenal dengan tanean lanjhang. Salah satu alasan utama mengapa para perempuan tidak melahirkan pada tenaga profesional, di luar faktor ekonomi, adalah ketakutan para suami terhadap tenaga medis profesional atau para dokter yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini tentu saja merupakan keuntungan tersendiri bagi para dukun yang hampir seluruhnya perempuan. Bagi laki-laki Madura, perempuan (istri) adalah 'hak milik laki-laki (suami) sepenuhnya, dengan demikian, mereka akan merasa tersinggung jika seorang laki-laki, meskipun dia seorang dokter, yang menyentuh istrinya. 
               Perasaan todus dan malo yang muncul akibat gangguan terhadap istri. Seorang dokter kandungan laki-laki tidak diperbolehkan untuk menyentuh seorang perempuan karena dua alasan: 
1.      hal tersebut adalah gangguan terhadap istri, dan 
2.      si istri bukan lah mahram dari dokter itu. Konsep mahram diambil dari terminologi agama 
               Islam yang melarang seorang perempuan untuk berdekatan dengan laki-laki yang bukan kerabatnya (mahram = orang yang diharamkan untuk dinikahi). 
Laki-laki Madura sangat menjunjung tinggi rasa hormat, tidak mengherankan jika muncul kasus-kasus carok sebagai 'ganti rugi' atau 'pembayaran' secara sosial untuk mengembalikan harga diri dan menghapus todhus dan/atau malo' pada seseorang yang membuat diri orang Madura tersebut merasa malu. Jika todhus berarti malu dalam pengertian etika, maka malo berarti malu dalam kaitannya dengan penghinaan dan harga diri. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wiyata (2002), terungkap bahwa seringkah, bahkan mayoritas (60,4%) kasus carok terjadi karena rasa malo yang terkait dengan masalah perempuan, sehingga jika orang lain terkait dengan urusan perempuan, maka hal tersebut dianggap menginjak-injak harga dirinya, dan hanya ada satu jalan dalam memperbaiki harga diri: carok. Tindakan carok yang dilakukan karena motif pelecehan istri tidak hanya mendapatkan izin sosial, tetapi juga dorongan dari lingkungan sekitarnya. 
               Perempuan menjadi 'milik' si suami sepenuhnya, berada di bawah pengawasannya. Kepemimpinan mutlak ada di tangan suami (laki-laki). Laki- laki lah yang berhak menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh perempuan karena perempuan adalah miliknya. Karena perempuan menjadi pusat harga diri laki-laki, maka perempuan menjadi makhluk yang diproteksi, diawasi, dan dimiliki oleh laki-laki. Pengawasan terhadap perempuan dapat terlihat dengan jelas pada pola permukiman tanean lanjhang yang merupakan kelompok pemukiman yang dihuni oleh keluarga batih yang isolatif dari kelompok pemukiman lain. 
               Tentu saja adanya opresi terhadap perempuan semakin menyudutkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan, bahkan dalam bidang kesehatan. Kurangnya bidan atau tenaga kesehatan profesional perempuan menjadikan dukun sebagai alternatif utama, terutama bagi ibu hamil yang bermukim di wilayah pedesaan. Persoalan lainnya adalah, kepercayaan terhadap kualitas seorang dukun dibandingkan tenaga medis profesional diturunkan dari generasi ke 
generasi melalui proses sosialisasi, dengan demikian, seorang ibu hamil akan lebih memilih seorang dukun bayi ketimbang seorang tenaga medis profesional. 
            Seakan sudah menjadi suatu tradisi, perempuan Madura, khususnya yang berada di pedesaan menikah pada usia yang sangat muda, bahkan menurut hukum masih dalam kategori anak-anak. Kebiasaan ini pada dasarnya ditunjukkan dengan adanya ikatan pertunangan bagi anak perempuan yang sudah memasuki usia menstruasi atau setelah anak perempuan tersebut sudah mengalami menstruasi yang pertama kali atau menarche.
Penyebab utama dari gizi buruk yang 'menimpa' ibu hamil di Madura adalah tidak seimbangnya asupan gizi. Para ibu hamil di Madura lebih banyak mengkonsumsi nasi dan sedikit jenis sayuran, dan sangat jarang mengkonsumsi telur dan susu, konsumsi daging pun sangat kurang, barangkali hanya ikan yang mereka konsumsi, itu pun jumlahnya sangat tidak mencukupi. 
            Tidak hanya kekurangan dalam asupan gizi, mereka pun terbebani dengan berbagai aktivitas rumah tangga, sehingga seringkah mereka merasa lebih cepat lelah, hal ini sebagai 'efek samping' dari anemia yang mereka alami.
            Orang Madura gampang marah atau bludrek, apalagi airnya secara relative mengandung kadar garam sangat tinggi, sehingga tensi darahnya cepat tinggi
3.      Penyakit Akibat Budaya Madura
               Akibat budaya tanean lanjhang dan tradisi todus dan malo yang mereka anut dan mereka cenderung memilih dukun daripada tenaga kesehatan professional. Maka kemungkinan terjadinya infeksi akan lebih besar. Seringkah, seorang dukun karena bukan tenaga medis profesional menyebabkan terjadinya infeksi ketika proses persalinan dan ketika masa setelah persalinan. Pengobatan medis harus segera diberikan kepada ibu yang mengalami infeksi ketika masa persalinan, dan jika hal ini tidak segera dilakukan maka akan sangat berbahaya bagi kondisi ibu itu sendiri. Hal yang sama juga terjadi pada bayi yang dilahirkan, di mana bayi yang dilahirkan, jika terjadi infeksi dapat menyebabkan kematian. Infeksi ketika masa persalinan dan sesudah persalinan tidak hanya menyebabkan tingginya angka kematian ibu, namun juga angka kematian bayi. 
               Usia menikah yang terlalu dini memiliki konsekuensi logis, yaitu: masa subur yang lebih panjang. Dengan masa subur yang lebih panjang, mereka memiliki kesempatan untuk memiliki anak dalam jumlah yang lebih besar, apalagi jika mereka tidak mengikuti program KB. Adanya usia pernikahan yang semakin dini pun tidak dapat dilepaskan dari faktor meningkatnya kesejahteraan selama tiga dekade ini, hal ini terlihat dengan usia menarche sebesar 0.145/dekade (Hendrawati dan Glinka 2003). 
               Anemia tentu saja membawa implikasi yang lebih jauh, tidak hanya menyebabkan mudah lelah, namun juga menyebabkan bayi lahir secara prematur dan bayi lahir dengan berat badan rendah. Perempuan Madura umumnya telah disosialisasikan bahwa apapun kondisi mereka, mereka tidak boleh melepaskan berbagai aktivitas rumah tangga sebagai 'kewajiban' mereka. Mereka pun harus 'mengalah' pada suami dan anak-anak mereka ketika dalam asupan gizi meskipun mereka sedang hamil dan membutuhkan asupan gizi yang cukup. Perempuan Madura memang tidak memiliki posisi tawar yang bagus terhadap laki-laki Madura, baik ketika mereka sehat maupun sakit, baik ketika tidak hamil maupun sedang hamil. 
            Orang yang gampang marah seperti masyarakat Madura, disertai nyeri kepala maupun ditengkuk, serta mengalami mual dan muntah-muntah kemungkinan besar mengalami hipertensi.
 
 
 
BAB III KASUS DAN PEMECAHAN
Berbagai persoalan yang terjadi akibat budaya Madura itu sendiri seperti infeksi yang tinggi yang terjadi pada ibu dan bayi sehingga menyebabkan angka kematian yang tinggi pula serta penderita hipertensi di Madura yang selalu naik dari tahun ke tahun.
Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut dibutuhkan pemimpin kuat yang dapat menetapkan kebijakan dan mewujudkannya dalam aksi nyata secara komprehensif pada sektor kesehatan.  Apa yang perlu dilakukan untuk mengubah kondisi tersebut? Perubahan harus dimulai dengan membangun suatu sistem kesehatan Kabupaten Sumenep. Kemudian, ditetapkan program-program kesehatan yang berkesinambungan, sehingga siapa pun yang menjadi pemimpin di sektor kesehatan, program-program itu tetap jalan.
Peran pemerintah daerah dalam sistem kesehatan tersebut adalah sebagai regulator dan pengawas. Pemda harus bisa mengatur distribusi tenaga kesehatan termasuk dokter dan dokter spesialis agar merata. Pemerintah mengelola pembiayaan kesehatan untuk setiap kecamatan, dan meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Semua program kesehatan tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan keinginan pengambil kebijakan, tetapi harus sesuai dengan blue print sistem kesehatan nasional.
Langkah selanjutnya adalah menentukan target-target kesehatan dan fokus untuk mencapai sasaran-sasaran itu. Target-target yang hendak dicapai dalam bidang kesehatan antara lain penurunan angka kematian ibu saat melahirkan, penurunan angka kematian bayi, penurunan jumlah penderita gizi kurang, dan peningkatan angka harapan hidup. Dengan menentukan target di depan, pemerintah lebih fokus pada promosi untuk menghindari penyakit. Langkah ini untuk mengikis habis sumber penyakit yang ada. Ini merupakan langkah preventif. Problemnya, yang terjadi selama ini, kebijakan kesehatan menunggu orang sakit, sehingga ongkosnya lebih mahal. Sementara upaya promotif dan preventif lebih murah.
Prioritas berikutnya adalah mendongkrak anggaran untuk kesehatan. Sehebat apapun program-program yang dirancang, jika tidak dibarengi dengan dukungan anggaran yang memadai, tidak akan jalan. Porsi besaran anggaran  bidang kesehatan adalah bentuk perhatian pemerintah terhadap perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat. Peningkatan anggaran bidang kesehatan akan memberikan kemajuan yang positif dalam pelaksanaan program-program kesehatan.
Idealnya, alokasi dana untuk kesehatan setara dengan anggaran pendidikan. Dengan anggaran yang makin besar, pemerintah bisa menambah rumah sakit, puskesmas dan kelengkapannya, serta pengembangan sarana kesehatan lainnya. Dengan anggaran yang makin besar, pemerintah dapat meningkatkan peranan rumah sakit daerah (RSD), puskesmas, dan puskesmas pembantu (pustu). Bertambahnya anggaran juga memungkinkan peningkatan jumlah dokter umum dan dokter spesialis, serta tenaga paramedic, sehingga mereka dapat tersebar sampai ke desa-desa.
Solusi selanjutnya adalah pemberian kompensasi bagi para tenaga kesehatan. Untuk meningkatkan mobilitas mereka, para tenaga kesehatan harus disediakan fasilitas kendaraan bermotor sehingga mereka bisa melayani lebih cepat dan menjangkau semua kecamatan dan  desa.  Para tenaga kesehatan (dokter dan perawat/bidan) yang bekerja di daerah kepulauan pun perlu diberi insentif untuk meningkatkan semangat kerja dan kesejahteraan mereka.
Di samping itu, perlu dikembangkan kebijakan strategis untuk meningkatkan layanan kesehatan masyarakat. Sebut saja, misalnya, program desa siaga kesehatan. Pemda perlu menentukan beberapa Kecamatan yang akan menjadi modelnya. Desa siaga kesehatan merupakan satu  wilayah di mana segenap komponen yang ada selalu siap siaga terhadap adanya gangguan khususnya dalam bidang kesehatan. Di wilayah siaga kesehatan disediakan pusat informasi kesehatan, pusat rujukan (dokter keluarga/rumah sakit). Selain itu, juga dilakukan surveilens berbasis masyarakat, penggalangan dana sehat, kegawatdaruratan serta penerapan perilaku hidup bersih dan sehat.
Sementara untuk membantu daya beli rakyat miskin, Pemda harus menyediakan dana khusus untuk subsidi obat generik. Pemda juga perlu mempersiapkan peraturan pendukung yang menjamin ketersediaan obat generik dengan harga terjangkau. Kebijakan subsidi obat generik menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan obat dalam masyarakat. Kebijakan subsidi ini diprioritaskan untuk beberapa obat generik yang bersifat esensial dan pergerakannya di pasar cepat (fast moving), obat-obat program dan obat yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa (life saving).
Terobosan lainnya adalah menjalin kerja sama langsung dengan distributor obat. Ini untuk mempercepat dan memperlancar pengadaan obat. Konsekuensinya, Dinas Kesehatan tidak perlu lagi menggunakan sistem lelang. Jika mengikuti Keppres 80/2003 tentang mekanisme lelang, pemerintah daerah kerap kesulitan untuk pengadaan obat-obatan guna meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat secara cepat. Keuntungan lain dari kerjasama langsung dengan distributor prosesnya cepat dan memungkinkan untuk mengontrol tipe dan jumlah obat karena pembelian dilakukan melalui farmasi berizin. Juga, dengan kerja sama langsung, jumlah obat kadaluwarsa dapat diminimalisir karena ada jaminan dari produsen.  Namun, untuk  memperlancar kerja sama ini diperlukan aturan pendukung.
Sebetulnya kesehatan masyarakat tidak bergantung pada pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah, tetapi lebih pada bagaimana budaya hidup sehat dapat dibangun bersama di tingkat masyarakat. Untuk itu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas masyarakat dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungannya. Masyarakat perlu memiliki gaya hidup sehat. Mereka perlu digerakkan untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kebersihan di lingkungannya, di samping memperhatikan makanan sehat dan bergizi. Ini hanya mungkin jika mereka memiliki kesadaran hidup sehat. Dan jangan lupa menjadikan  RSUD sebagai Badan Layanan Umum. 












BAB IV KESIMPULAN
               Budaya yang begitu kental di Madura dan pengaruh laki-laki yang sangat berperan besar dalam keluarga mengakibatkan perempuan ragu-ragu mengambil tindakan untuk kesehatan diri dan anaknya. Hal tersebut mengakibatkan tingginya angka kematian ibu dan anak di Madura.  
            Terlalu banyak mengkonsumsi garam akan menyebabkan darah tinggi. Bukan hanya besar pada masyarakat Madura yang banyak garam, tapi juga daerah lain bisa juga besar karena faktor keturunan. Penyakit ini biasanya banyak menyerang pada manusia usia 40 tahun keatas.
            Ketidak percayaan akan tim medis professional menyebabkan banyak masalah timbul, tidak hanya di Madura banyak daerah yang lain mengalami hal serupa seperti ini.
 
                
                
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
 
http://www.bkkbn.go.id/jatim/news_detail. php?nid=1 5 
 
http://jatim-dev. bps.go. id//index.php ? option=com_content&task=view&id=48&ltemid=37 
 
http://jatim-dev. bps.go. id//index .ph p? option=com_content&task=view&id=35&ltemid=38 
 
http://jatim-dev. bps. go. id//index.php ? option=com_content&task=view&id=36&ltemid=38 
 
http://www.jatim.go.id/emap/analisis_demografi.php 
 
http://www.jatim.go.id/bankdata/jumlah%20pasanaan%20usia%20subur.peserta%20kb%20dan%20bukan %20peserta%20kb-bkkbn-2005.pdf