Juniartha Semara Putra
2.2.5 Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan
Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi
dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua
sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam
bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa,
Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan
termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.[30] Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk
banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan
resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa
lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa
penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
2.2.6 Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada
pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.[11]
Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi
Toraja. Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia
mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan
minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru
di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah
untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi
sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap
beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997,
masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi
Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai
konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara
drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi
Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh
pengusaha kecil.
BAB I
PENDAHULUAN
Budaya
merupakan identitas dan komunitas suatu daerah yang dibangun dari kesepakatan-kesepakatan sosial
dalam kelompok masyarakat tertentu.
Budaya
dapat menggambarkan kepribadian suatu bangsa sehingga budaya dapat menjadikan
ukuran bagi majunya suatu peradaban manusia.
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya salah satunya budaya di
Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi
Selatan.
Masyarakat Toraja sejak dahulu dikenal sebagai
masyarakat religius dan memiliki integritas yang tinggi dalam menjunjung tinggi
budayanya. Menurut Suhamihardja dalam
bukunya Adat Istiadat dan Kepercayaan Sulawesi Selatan, (1977: 29), Suku bangsa
Toraja terkenal sebagai suku bangsa yang masih teguh memegang adat. Setiap
pekerjaan mesti dilaksanakan menurut adat, karena melanggar adat adalah suatu
pantangan dan masyarakat memandang rendah terhadap perlakuan yang memandang rendah adat itu. Apalagi dalam kelahiran, perkawinan,
kematian, upacara adat tidak boleh ditinggalkan. Kebudayaan yang paling
terkenal di Tana Toraja adalah upacara pemakaman yang disebut Rambu Solo. Perayaan kematian rambu
solo merupakan warisan budaya sejak megalitukum atau zaman batu yang bersumber
dari sistim kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk (http://travel.okezone.com/read/2011/
01/06/408/411164/rambu-solo-tradisi-hormati kematian-di-tana-toraja). Meskipun orang Toraja pada masa
kini telah memiliki agama dan keyakinan namun kebudayaan leluhur mereka masih
terus dipertahankan. Ritual adat kematian kuno ini merupakan bentuk penegasan
keberadaan status sosial mereka.
Penyelenggaraan upacara rambu solo butuh biaya amat
besar di mana harus memotong puluhan bahkan ratusan hewan terdiri dari kerbau,
sapi, babi dan lain-lain.
Dalam
adat Tana Toraja, keluarga yang ditinggal wajib menggelar pesta sebagai tanda
penghormatan terakhir kepada yang telah meninggal. Bagi masyarakat Tana Toraja,
orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati.
Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo maka orang yang
meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih 'sakit',
maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya
orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan
rokok atau sirih (http://www.anjond.com/news/rambu-solo-tana-toraja/).
Upacara
ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila
bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk
keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang bukan bangsawan.
Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100
ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor
kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari. Tetapi, sebelum jumlah itu
mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan.
Makanya,
tak jarang jenazah disimpan dalam
waktu yang lama di Tongkonan (rumah adat Toraja) sampai
akhirnya keluarga almarhum/almarhumah dapat menyiapkan upacara (http://travel.okezone.com/read/2011/01/
06/08/411164/rambu-solo-tradisi-hormatikematian-di-tana-toraja. Penyimpanan mayat yang terlalu lama akan berpengaruh
buruk terhadap kesehatan masyarakat khususnya keluarga. Bau
busuk dari tubuh mayat tidak hanya mengganggu tetapi juga membahayakan. Bakteri yang ada dalam proses pembusukan dan
menkontaminasi lingkungan dapat menimbulkan gangguan kesehatan
seperti lemahnya sistem pertahanan tubuh.
Sistem pertahanan tubuh yang menurun meningkatkan risiko terjangkit berbagai
penyakit seperti malaria, diare, tetanus, serta infeksi
lainnya.
BAB II
TINJAUAN
TEORI
2.1 Konsep Transcultural
Transcultural
merupakan suatu area kajian ilmiah yang berkaitan
dengan perbedaan maupun kesamaan nilai-nilai
(http://annianeh.blogspot.com/2011/06/ transkultural-nursing.html). Bila
ditinjau dari makna kata, transkultural berasal dari kata trans dan culture. Trans berarti aluar
perpindahan, jalan lintas atau penghubung. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia trans
berarti melintang, melintas, menembus, melalui. Cultur berarti kebudayaan, cara
pemeliharaan, pembudidayaan. Selain
itu, culture juga berarti kepercayaan, nilai –
nilai dan pola perilaku yang umum berlaku bagi suatu kelompok dan diteruskan
pada generasi berikutnya. Cultural
berarti sesuatu yang berkaitan
dengan kebudayaan. Budaya
sendiri berarti akal budi, hasil,
dan adat istiadat.
Budaya
merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata sebagai
manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma, adat istiadat menjadi
acuan perilaku manusia dalam kehidupan dengan yang lain. Pola kehidupan yang
berlangsung lama dalam suatu tempat, selalu diulangi, membuat manusia terikat
dalam proses yang dijalaninya. Keberlangsungaan terus-menerus dan lama
merupakan proses internalisasi dari suatu nilai-nilai yang mempengaruhi pembentukan karakter,
pola pikir, pola interaksi perilaku yang kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh
pada pendekatan intervensi keperawatan (cultural nursing approach) (http://10107147.blog.unikom.ac.id/ transkultural-dalam.n6).
2.2 Budaya Suku Toraja
2.2.1 Suku Toraja
Suku Toraja adalah suku
yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan,
Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja,
Kabupaten Toraja Utara,
dan Kabupaten Mamasa.[1]
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam
dan kepercayaan animisme
yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata
toraja berasal dari bahasa Bugis,
to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda
menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan
dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang
penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa
hari.
2.2.2 Identitas Etnis
Sebelum
penjajahan Belanda
dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi,
dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang
sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada
banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di
kawasan dataran tinggi Sulawesi.
"Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja,
dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah
untuk penduduk dataran tinggi.
Akibatnya,
pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan
dengan orang luar—seperti suku Bugis
dan suku Makassar,
yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama
suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris
Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah
Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di
Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi
Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas,
meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar
(pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).
2.2.3 Masyarakat
2.2.3.1 Keluarga
Keluarga
adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah
suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan
sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan
sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat
hubungan kekerabatan.Suku
Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga)
kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.[13]
Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa
keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau,
dan saling membayarkan hutang.
2.2.3.2 Kelas sosial
Dalam
masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial.
Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan,
orang biasa, dan budak (perbudakan
dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda).
Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status
pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat
jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
2.2.3.3 Agama
Sistem
kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme
politeistik yang disebut aluk,
atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam
mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga
yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang
Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi
dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga
dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul
cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk
persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat
manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana.
Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo'
Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo'
Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
2.2.4 Kebudayaan
2.2.4.1 Rumah Adat
Tongkonan
adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi
dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan"
berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk"). Tongkonan merupakan
pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan
sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua
anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan
mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama
dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi,
dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
2.2.4.2 Upacara Pemakaman
Dalam
masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara
pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan
yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang
bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa
hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat
yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman
lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan.
Rambu Solo adalah upacara adat
kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan
mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali
kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan,
disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia.
Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan
demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal
setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang
meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga
ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat
tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat
menganggap upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan
menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah
gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau
menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi
sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan
mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal
dunia.
Upacara
Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial
masyarakat Toraja, yakni:
·
Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya
dilaksanakan dalam satu malam saja.
·
Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung
selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan
hewan.
·
Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung
selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan
pemotongan hewan.
·
Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung
selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali
dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut
Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga
yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan
disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi
pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani,
seperti : Ma'tundan, Ma'balun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan
ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang
(menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao
(yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).
Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan
pula dalam upacara ini, antara lain :
·
Ma'pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu
adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk
bengkok kebawah ataupun [balukku', sokko] yang berkulit belang (tedang bonga),
tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta;
Sisemba' (Adu kaki)
·
Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo'
seperti : Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan
Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali
dan Unnosong.;
·
Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas
masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan
sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah
batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk
kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya
terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong
sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya
genetika) asli itu terancam kelestariannya.
Menjelang usainya Upacara Rambu
Solo', keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang
sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo.
Kemeriahan upacara Rambu Solo
ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan
yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status
sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih
berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor
kerbau ditambah 50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh
keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial
tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan
tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat
Toraja dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar
upacara ini.
2.2.5 Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan
Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi
dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua
sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam
bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa,
Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan
termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.[30] Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk
banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan
resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa
lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa
penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
2.2.6 Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada
pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.[11]
Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi
Toraja. Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia
mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan
minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru
di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah
untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi
sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap
beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997,
masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi
Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai
konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara
drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi
Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh
pengusaha kecil.
2.5.7 Filosofi Tau
Secara sadar atau tidak sadar,
masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut
filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia
(manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks
masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan
setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) -
Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur,
agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas
karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas.
Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan
hidup sebagai Tau (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja).
2.3 Masalah Akibat Budaya Suku Toraja
2.3.1
Upacara Pemakaman
Upacara pemakaman ‘Rambu Solo’ membutuhkan biaya yang
sangat besar. Apalagi, harus memotong puluhan bahkan
ratusan hewan terdiri dari kerbau, sapi, dan lainnya Sebelum
upacara ini dilaksanakan maka orang yang meninggal
itu dianggap sebagai orang sakit
dan tetap ditempatkan dalam tongkongan. Untuk masyarakat yang memiliki satus
sosial rendah, perlu menunggu waktu yang lama sehingga upacara rambu solo dapat
dilaksanakan. Selama menunggu waktu
tersebut, mayat tentu akan mengalami pembusukan walaupun sudah disiasati dengan
pengawetan alami atau pembalseman.
Proses
pembusukan berawal dari mikroba yang berada dalam tubuh organisme yang sudah
tidak bernyawa, misalnya bakter-bakteri yang hidup dalam usus besar manusia.
Sesaat setelah makhluk hidup tidak bernyawa, bakteri mulai mendegradasi protein
yang terdapat dalam tubuh. Jika seluruh jenis ikatan protein sudah terputus,
maka beberapa jaringan tubuh menjadi tidak berfungsi. Proses ini dilanjutkan
oleh dilanjutkan oleh bakteri yang datang dari luar, berasal dari udara, air
dan tanah. Berbagai jenis bakteri tersebut menyerang sistem pertahanan tubuh
yang sudah tidak aktif, menghancurkan jaringan otot, atau menghasilkan enzim
penghancur sel (protease).
Tidak
semua mikroba mampu mendegradasi mayat, pada umumnya jenis bakteri heterotrof.
Bakteri ini membutuhkan molekul-molekul organik dari organisme lain sebagai
nutrisi agar bisa bertahan hidup dan berkembangbiak. Organisme heterotrof
biasanya hidup dan berkembangbiak pada organisme mati. Mikroba tersebut
mendapatkan energi dengan menguraikan senyawa organik pada organisme mati.
Molekul-molekul besar seperti protein, karbohidrat, lemak atau senyawa organik
lainnya mengalami dekomposisi menjadi molekul tunggal seperti asam amino,
metana, gas CO2, serta molekul lain yang merupakan senyawa karbon, hidrogen,
nitrogen, oksigen, fosfor dan sulfur.
Pembusukan
dimulai dengan pemutusan ikatan protein-protein besar pada jaringan tubuh oleh
bakteri fermentasi menggunakan enzim protease. Pemutusan protein menghasilkan
asam amino. Misalnya asam amino akan dicerna bakteri asetogen yang direkasikan
dengan oksigen dan menghasilkan asam asetat yang menimbulkan bau tidak sedap. Asam asetat akan
diproses oleh bakteri metanogen, misalnya Methanolhemobacter
thermoantrotrophicum yang biasa hidup di lingkungan kotor seperti selokan dan
pembuangan limbah. Bakteri mereaksikan asam asetat dengan gas hidrogen dan
karbondioksida. Metana dalam bentuk gas juga berbau busuk. Selain asam asetat dan
metana, beberapa bakteri menghasilkan gas hidrogen sulfida yang baunya seperti
telur busuk. Bau busuk yang bercampur dengan uap garam dan berbagai zat di udara bebas dapat
mereduksi konsentrasi elektrolit dalam tubuh. Produk berbahaya selain gas yang
dihasilkan cairan asam dan cairan lain yang mengandung protein toksik.
Jika
cairan ini menginfeksi kulit yang luka atau terkena makanan, bukan hanya produk
beracunnya yang masuk dalam tubuh tetapi juga bakteri heterotrof patogen
seperti Clostridium. Bakteri tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan
seperti lemahnya sistem pertahanan tubuh, malaria, diare, tetanus, serta
infeksi lainnya.
BAB
III
KASUS
DAN PEMECAHAN
Tongkongan
yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat sebelum upacara rambu solo
dilaksanakan juga ditempati oleh anggota keluarga lainnya yang masih sehat.
Dalam tongkongan tidak hanya dihuni oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak,
ibu hamil bahkan bayi. Telah diuraikan bahwa bakteri
dalam pembusukan dari mayat yang tinggal beserta
anggota keluarga lain yang sehat dapat menimbulkan
berbagai masalah kesehatan
seperti lemahnya sistem pertahanan tubuh
atau imunitas
Imunitas atau kekebalan tubuh adalah sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan
mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini
mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan
melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing
lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap
dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen
dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme.
Menggunakan
APD (Alat Pelindung Diri) pada saat beraktivitas didalam rumah, selain itu
pisahkan pula kamar antara kamar yang telah meninggal (keadaan sakit) dengan
yang masih sehat. Karena tanpa melakukan itu tidak menutup kemungkinan orang
yang sehat bisa ikut terinfeksi oleh bakteri yang menyebabkan pembusukan pada
mayat, sehingga pertahanan tubuh tidak terganggu.
Rambu
Solo adalah upacara pemakaman yang berada di Tana Toraja. Upacara ini merupakan
adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun-temurun
ini mewajibkan keluarga yang ditinggal mati membuat pesta besar sebagai
penghormatan terakhir kepada mendiang yang telah pergi.
Dibalik kemegahan pesta pemakaman
berdampak tidak langsung dari beban keuangan saat melakukan upacara rambu solo.
Dalam menghadapi beban keuangan rambu solo’ sebagai stresor, Strategi coping, cenderung
mengalami penurunan secara bertahap dari coping berfokus pada masalah kemudian
beralih pada coping berfokus pada emosi dan dari coping adaptif beralih pada
coping maladaptive, dampak psikologis yang ditemukan: stres, ketakutan
(kecemasan), depresi ringan.
Dalam mengatasi strategi coping yang
menurun diperlukan kepercayaan dalam diri sendiri serta support dari orang
dekat untuk meyakinkan bahwa semua masalah pasti ada jalan keluarnya apabila
kita mau berusaha. Dengan begitu pelaku Rambu Solo tidak akan merasa sendiri,
sehingga dia akan lebih yakin dapat mengatasi masalahnya tersebut. Pelaku
upacara rambu solo sangat kompleks, sebagai pilihan dari proses internal,
beban keuangan rambu solo dinilai subjek sebagai konsekuensi dan untuk itu
mereka berupaya mencari kebutuhan-kebutuhan yang sama atau berbeda yang
adekuat atas deprivasi kebutuhan dasar dalam dirinya.
BAB IV
KESIMPULAN
Salah
satu warisan kebudayaan yang dimiliki Indonesia yang sangat terkenal
hingga ke luar negeri. Tana Toraja memiliki ritual
pemakaman yang dianggap paling
rumit di dunia. Upacara
pemakaman itu disebut dengan Rambu Solo. Rambu Solo adalah
sebuah upacara
pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah
pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Yang membuat rumit, adalah
bahwa upacara
Rambu Solo memiliki sejumlah tingkatan, tergantung pada strata sosial
si mendiang dan keluarganya.
Kemansyuran Rambu Solo dikalangan Dunia berbanding
terbalik dengan pelaku Rambu Solo kelas menengah kebawah, Menurut mereka
upacara Rambu Solo menjadi beban tersendiri karena ketiadaan biaya untuk
melaksanakan upacara Rambu Solo. Hal ini tentu membuat beban psikologis
tersendiri bagi pelaku Rambu Solo, seperti halnya stress,
ketakutan (kecemasan), dan depresi ringan. Pertahanan koping sangat diperlukan
dalam situasi ini.
Tongkongan
yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat sebelum upacara rambu solo
dilaksanakan juga ditempati oleh anggota keluarga lainnya yang masih sehat.
Telah diuraikan bahwa bakteri dalam pembusukan dari mayat yang tinggal beserta
anggota keluarga lain yang sehat dapat menimbulkan
berbagai masalah kesehatan
seperti lemahnya sistem pertahanan tubuh atau imunitas. Pencegahan dilakukan dengan
menggunakan alat pelindung diri serta pola hidup yang sehat, untuk menjaga daya
tahan tubuh.
Daftar Pustaka
http://tavia02.blogspot.com/2008/11/keistimewaan-rambu-solo-html.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=109252:gangguan-sistem-imun-akibatkan-autoimun&catid=28&Itemid=48
No comments:
Post a Comment