WHO AM I?

I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA POLTEKKES KEMENKES DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN

Thursday, June 21, 2012

SUKU TORAJA DENGAN MASALAH KESEHATAN

Juniartha Semara Putra

BAB I
PENDAHULUAN

Budaya merupakan identitas dan komunitas suatu daerah yang  dibangun dari kesepakatan-kesepakatan sosial dalam kelompok masyarakat tertentu. Budaya dapat menggambarkan kepribadian suatu bangsa sehingga budaya dapat menjadikan ukuran bagi majunya suatu peradaban manusia. Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya salah satunya budaya di Kabupaten  Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan.
Masyarakat Toraja sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat religius dan memiliki integritas yang tinggi dalam menjunjung tinggi budayanya.  Menurut Suhamihardja dalam bukunya Adat Istiadat dan Kepercayaan Sulawesi Selatan, (1977: 29), Suku bangsa Toraja terkenal sebagai suku bangsa yang masih teguh memegang adat. Setiap pekerjaan mesti dilaksanakan menurut adat, karena melanggar adat adalah suatu pantangan dan masyarakat memandang rendah terhadap perlakuan  yang memandang rendah adat itu.  Apalagi dalam kelahiran, perkawinan, kematian, upacara adat tidak boleh ditinggalkan. Kebudayaan yang paling terkenal di Tana Toraja adalah upacara pemakaman yang disebut Rambu Solo. Perayaan kematian rambu solo merupakan warisan budaya sejak megalitukum atau zaman batu yang bersumber dari sistim kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk (http://travel.okezone.com/read/2011/ 01/06/408/411164/rambu-solo-tradisi-hormati kematian-di-tana-toraja). Meskipun orang Toraja pada masa kini telah memiliki agama dan keyakinan namun kebudayaan leluhur mereka masih terus dipertahankan. Ritual adat kematian kuno ini merupakan bentuk penegasan keberadaan status sosial mereka. Penyelenggaraan upacara rambu solo butuh biaya amat besar di mana harus memotong puluhan bahkan ratusan hewan terdiri dari kerbau, sapi, babi dan lain-lain.
Dalam adat Tana Toraja, keluarga yang ditinggal wajib menggelar pesta sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang telah meninggal. Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih 'sakit', maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih (http://www.anjond.com/news/rambu-solo-tana-toraja/).
Upacara ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang bukan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari. Tetapi, sebelum jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan. Makanya, tak jarang jenazah disimpan dalam waktu yang lama di Tongkonan (rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga almarhum/almarhumah dapat menyiapkan upacara (http://travel.okezone.com/read/2011/01/ 06/08/411164/rambu-solo-tradisi-hormatikematian-di-tana-toraja. Penyimpanan mayat yang terlalu lama akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan masyarakat khususnya keluarga. Bau busuk dari tubuh mayat tidak hanya mengganggu tetapi juga membahayakan. Bakteri yang ada dalam proses pembusukan dan menkontaminasi lingkungan dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti lemahnya sistem pertahanan tubuh. Sistem pertahanan tubuh yang menurun meningkatkan risiko terjangkit berbagai penyakit seperti malaria, diare, tetanus, serta infeksi lainnya.









BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Transcultural
            Transcultural merupakan suatu area kajian ilmiah yang berkaitan dengan perbedaan maupun kesamaan nilai-nilai (http://annianeh.blogspot.com/2011/06/ transkultural-nursing.html). Bila ditinjau dari makna kata, transkultural berasal dari kata trans dan culture. Trans berarti aluar perpindahan, jalan lintas atau penghubung. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia trans berarti melintang, melintas, menembus, melalui. Cultur berarti kebudayaan, cara pemeliharaan, pembudidayaan. Selain itu, culture juga berarti kepercayaan, nilai – nilai dan pola perilaku yang umum berlaku bagi suatu kelompok dan diteruskan pada generasi berikutnya. Cultural berarti sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan. Budaya sendiri berarti akal budi, hasil, dan adat istiadat.
Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata sebagai manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma, adat istiadat menjadi acuan perilaku manusia dalam kehidupan dengan yang lain. Pola kehidupan yang berlangsung lama dalam suatu tempat, selalu diulangi, membuat manusia terikat dalam proses yang dijalaninya. Keberlangsungaan terus-menerus dan lama merupakan proses internalisasi dari suatu nilai-nilai yang mempengaruhi pembentukan karakter, pola pikir, pola interaksi perilaku yang kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh pada pendekatan intervensi keperawatan (cultural nursing approach) (http://10107147.blog.unikom.ac.id/ transkultural-dalam.n6).

2.2 Budaya Suku Toraja
2.2.1 Suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.[1] Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

2.2.2 Identitas Etnis
Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.  Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).

2.2.3 Masyarakat
2.2.3.1 Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.[13] Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.

2.2.3.2 Kelas sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.

2.2.3.3 Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

2.2.4 Kebudayaan
2.2.4.1 Rumah Adat
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk"). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

2.2.4.2 Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan.
Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal dunia.
Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
·         Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
·         Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
·         Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
·         Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Ma'balun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).
Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :
·         Ma'pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun [balukku', sokko] yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba' (Adu kaki)
·         Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo' seperti : Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.;
·         Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya.
Menjelang usainya Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar upacara ini.

2.2.5 Bahasa

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.[30] Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.

 

2.2.6 Ekonomi

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.[11] Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja. Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.

 Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.

2.5.7 Filosofi Tau
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja).

2.3 Masalah Akibat Budaya Suku Toraja
2.3.1 Upacara Pemakaman
Upacara pemakaman ‘Rambu Solo’ membutuhkan biaya yang sangat besar. Apalagi, harus memotong puluhan bahkan ratusan hewan terdiri dari kerbau, sapi, dan lainnya Sebelum upacara ini dilaksanakan maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit dan tetap ditempatkan dalam tongkongan. Untuk masyarakat yang memiliki satus sosial rendah, perlu menunggu waktu yang lama sehingga upacara rambu solo dapat dilaksanakan.  Selama menunggu waktu tersebut, mayat tentu akan mengalami pembusukan walaupun sudah disiasati dengan pengawetan alami atau pembalseman.
Proses pembusukan berawal dari mikroba yang berada dalam tubuh organisme yang sudah tidak bernyawa, misalnya bakter-bakteri yang hidup dalam usus besar manusia. Sesaat setelah makhluk hidup tidak bernyawa, bakteri mulai mendegradasi protein yang terdapat dalam tubuh. Jika seluruh jenis ikatan protein sudah terputus, maka beberapa jaringan tubuh menjadi tidak berfungsi. Proses ini dilanjutkan oleh dilanjutkan oleh bakteri yang datang dari luar, berasal dari udara, air dan tanah. Berbagai jenis bakteri tersebut menyerang sistem pertahanan tubuh yang sudah tidak aktif, menghancurkan jaringan otot, atau menghasilkan enzim penghancur sel (protease).
Tidak semua mikroba mampu mendegradasi mayat, pada umumnya jenis bakteri heterotrof. Bakteri ini membutuhkan molekul-molekul organik dari organisme lain sebagai nutrisi agar bisa bertahan hidup dan berkembangbiak. Organisme heterotrof biasanya hidup dan berkembangbiak pada organisme mati. Mikroba tersebut mendapatkan energi dengan menguraikan senyawa organik pada organisme mati. Molekul-molekul besar seperti protein, karbohidrat, lemak atau senyawa organik lainnya mengalami dekomposisi menjadi molekul tunggal seperti asam amino, metana, gas CO2, serta molekul lain yang merupakan senyawa karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, fosfor dan sulfur.
Pembusukan dimulai dengan pemutusan ikatan protein-protein besar pada jaringan tubuh oleh bakteri fermentasi menggunakan enzim protease. Pemutusan protein menghasilkan asam amino. Misalnya asam amino akan dicerna bakteri asetogen yang direkasikan dengan oksigen dan menghasilkan asam asetat yang menimbulkan bau tidak sedap. Asam asetat akan diproses oleh bakteri metanogen, misalnya Methanolhemobacter thermoantrotrophicum yang biasa hidup di lingkungan kotor seperti selokan dan pembuangan limbah. Bakteri mereaksikan asam asetat dengan gas hidrogen dan karbondioksida. Metana dalam bentuk gas juga berbau busuk. Selain asam asetat dan metana, beberapa bakteri menghasilkan gas hidrogen sulfida yang baunya seperti telur busuk. Bau busuk yang bercampur dengan uap garam dan berbagai zat di udara bebas dapat mereduksi konsentrasi elektrolit dalam tubuh. Produk berbahaya selain gas yang dihasilkan cairan asam dan cairan lain yang mengandung protein toksik.
Jika cairan ini menginfeksi kulit yang luka atau terkena makanan, bukan hanya produk beracunnya yang masuk dalam tubuh tetapi juga bakteri heterotrof patogen seperti Clostridium. Bakteri tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti lemahnya sistem pertahanan tubuh, malaria, diare, tetanus, serta infeksi lainnya.

BAB III
KASUS DAN PEMECAHAN

Tongkongan yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat sebelum upacara rambu solo dilaksanakan juga ditempati oleh anggota keluarga lainnya yang masih sehat. Dalam tongkongan tidak hanya dihuni oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak, ibu hamil bahkan bayi. Telah diuraikan bahwa bakteri dalam pembusukan dari mayat yang tinggal beserta anggota keluarga lain yang sehat dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti lemahnya sistem pertahanan tubuh atau imunitas
Imunitas atau kekebalan tubuh adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme.
Menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) pada saat beraktivitas didalam rumah, selain itu pisahkan pula kamar antara kamar yang telah meninggal (keadaan sakit) dengan yang masih sehat. Karena tanpa melakukan itu tidak menutup kemungkinan orang yang sehat bisa ikut terinfeksi oleh bakteri yang menyebabkan pembusukan pada mayat, sehingga pertahanan tubuh tidak terganggu.


Rambu Solo adalah upacara pemakaman yang berada di Tana Toraja. Upacara ini merupakan adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun-temurun ini mewajibkan keluarga yang ditinggal mati membuat pesta besar sebagai penghormatan terakhir kepada mendiang yang telah pergi.
Dibalik kemegahan pesta pemakaman berdampak tidak langsung dari beban keuangan saat melakukan upacara rambu solo. Dalam menghadapi beban keuangan rambu solo’ sebagai stresor, Strategi coping, cenderung mengalami penurunan secara bertahap dari coping berfokus pada masalah kemudian beralih pada coping berfokus pada emosi dan dari coping adaptif beralih pada coping maladaptive, dampak psikologis  yang ditemukan: stres, ketakutan (kecemasan), depresi ringan.
Dalam mengatasi strategi coping yang menurun diperlukan kepercayaan dalam diri sendiri serta support dari orang dekat untuk meyakinkan bahwa semua masalah pasti ada jalan keluarnya apabila kita mau berusaha. Dengan begitu pelaku Rambu Solo tidak akan merasa sendiri, sehingga dia akan lebih yakin dapat mengatasi masalahnya tersebut. Pelaku upacara rambu solo sangat kompleks, sebagai pilihan dari proses  internal, beban keuangan rambu solo dinilai subjek sebagai konsekuensi dan untuk itu mereka berupaya mencari kebutuhan-kebutuhan yang sama atau berbeda yang  adekuat atas deprivasi kebutuhan dasar dalam dirinya.





BAB IV
KESIMPULAN

Salah satu warisan kebudayaan yang dimiliki Indonesia yang sangat terkenal hingga ke luar negeri. Tana Toraja memiliki ritual pemakaman yang dianggap paling rumit di dunia. Upacara pemakaman itu disebut dengan Rambu Solo. Rambu Solo adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Yang membuat rumit, adalah bahwa upacara Rambu Solo memiliki sejumlah tingkatan, tergantung pada strata sosial si mendiang dan keluarganya.
Kemansyuran Rambu Solo dikalangan Dunia berbanding terbalik dengan pelaku Rambu Solo kelas menengah kebawah, Menurut mereka upacara Rambu Solo menjadi beban tersendiri karena ketiadaan biaya untuk melaksanakan upacara Rambu Solo. Hal ini tentu membuat beban psikologis tersendiri bagi pelaku Rambu Solo, seperti halnya stress, ketakutan (kecemasan), dan depresi ringan. Pertahanan koping sangat diperlukan dalam situasi ini.
Tongkongan yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat sebelum upacara rambu solo dilaksanakan juga ditempati oleh anggota keluarga lainnya yang masih sehat. Telah diuraikan bahwa bakteri dalam pembusukan dari mayat yang tinggal beserta anggota keluarga lain yang sehat dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti lemahnya sistem pertahanan tubuh atau imunitas. Pencegahan dilakukan dengan menggunakan alat pelindung diri serta pola hidup yang sehat, untuk menjaga daya tahan tubuh.





Daftar Pustaka

http://tavia02.blogspot.com/2008/11/keistimewaan-rambu-solo-html.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=109252:gangguan-sistem-imun-akibatkan-autoimun&catid=28&Itemid=48

No comments: