WHO AM I?

I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA POLTEKKES KEMENKES DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN

Thursday, June 21, 2012

MASALAH BUDAYA ACEH

Juniartha Semara Putra

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 MASALAH BUDAYA ACEH
Siapa yang tak kenal provinsi aceh. Aceh merupakan provinsi yang letaknya paling ujung di sebelah utara pulau Sumatera. Bermacam-macam julukan di berikan untuk provinsi aceh. Salah satunya, aceh dikenal sebagai salah satu lumbung  ganja terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Bagi warga aceh, ganja sudah tidak asing lagi di telinga mereka. Karena aceh sebagai penghasil ganja. Tanaman ganja banyak tumbuh di aceh. Soal ganja, pasti tak luput dari Aceh. Namun klaim itu tak bisa serta merta disambut negatif, karena memang benar adanya. Bahkan ada klaim bahwa tanah 1001 rencong ini juga dikenal sebagai produsen ganja terbesar di Asia Tenggara setelah Thailand. Hampir di setiap jengkal belantara Aceh dihiasi tanaman ganja. Tak pelak, isu Aceh sebagai penghasil tanaman ajaib ini bahkan sudah mendunia. Menjamurnya tanaman ganja di Aceh sangat didukung oleh kondisi geografis, tanahnya juga subur, hujan teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang relatif stabil, ditambah lagi keterisolasian akibat konflik sejak zaman Belanda, DI-TII sampai era GAM.
Hampir tak ada orang Aceh yang tak pernah mencicipinya, ada yang menikmatinya via rokok ternikmat, bumbu dapur, dodol, campuran kopi, hingga diolah ke berbagai jenis makanan lainya, selebihnya dijual ke luar Aceh. Dulu di Aceh ganja memang digunakan sebagai  ramuan makanan, penyedap masakan, dan bumbu masak. Namun saat ini jarang ditemui masakan Aceh yang memakai bahan ganja untuk ramuan masakan. Sekarang di aceh ganja sudah disalahgunakan oleh kebanyakan masyarakatnya. Sehingga tak heran ganja disebut sebagai barang haram, karena sekarang di Aceh Ganja dijadikan sebagai obat-obatan terlarang yang dapat merusak kesehatan.  Ganja dianggap sebagai jenis narkotika yang dapat membuat penggunanya kecanduan, mengalami halusinasi, efek euforia sesaat, malas, dan lambat. Inilah yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat aceh.


1.2 CONTOH KASUS PENYALAHGUNAAN GANJA DI ACEH

Polisi Belum Temukan Dalang Penanam Ganja
Terbaru  16 Februari 2012 - 17:59 WIB
marijuana
Aceh sejak lama dikenal sebagai kantung tanaman ganja di Indonesia.
Juru bicara Kepolisian Daerah Aceh Komisaris Besar Gustav Leo mengatakan sejauh ini baru menetapkan dua tersangka dalam kasus penangkapan ganja 2,8 ton di Aceh Besar, Rabu (15/2).
Kedua tersangka itu, kata Gustav, adalah Slamet (48) dan Hendry Ambadar (24). Keduanya adalah warga Kecamatan Way Kanan, Lampung.
Tertangkapnya dua pengantar ganja itu menambah daftar panjang tersangka kasus penyalahgunaan dan kepemilikan ganja.
Di Aceh yang menurut Gustav sebagian besar daerahnya adalah kantung perkebunan ganja, sebagian besar tersangka yang ditahan polisi berprofesi sebagai petani ganja.
"Banyak yang menanam, sementara kita belum bisa mengungkap aktor di belakang itu," kata Gustav Leo saat dihubungi wartawan BBC Indonesia Ervan Hardoko.
Kesulitan yang dihadapi polisi, kata Gustav, para tersangka ini biasanya tidak mengetahui orang yang meminta mereka menanam ganja.
"Ketika ditanya mereka hanya bilang tidak tahu. Kami hanya dikasih modal. Kalau sudah mengatakan tidak tahu kami mengungkapnya susah," tambah Gustav.
Sehingga Gustav berharap dari penyitaan ganja di Aceh Utara ini polisi bisa mengungkap kasus ini secara tuntas.
"Semua masih kami kembangkan dan masih dalam proses," ujarnya.

Penangkapan terbesar

"Banyak yang menanam, sementara kita belum bisa mengungkap aktor di belakang itu."
Kombes Gustav Leo
Soal penyitaan ganja di Aceh Utara, Gustav mengatakan, hasil itu adalah yang terbesar dari hasil penyitaan di jalan raya. Biasanya polisi langsung melakukan penyergapan ke lokasi perkebunan.
Penyitaan ganja ini, kata Gustav, diawali saat satuan lalu lintas Polres Aceh Utarasedang melakukan pengaturan lalu lintas di ruas jalan Medan-Banda Aceh di Kecamatan Lhoksukon.
Gustav memaparkan saat melakukan tugasnya inilah polisi mencurigai sebuah truk dengan nomor polisi BK 8395 0Q. Polisi kemudian memberhentikan trus mencurigakan itu.
"Ketika petugas menanyakan surat-surat kendaraan, terjadi perubahan perilaku pengemudi dan kemudian melarikan diri," katanya.
Polisi kemudian mengejar dan menangkap pengmudi truk berserta keneknya. Setelah keduanya diamankan polisi kemudian memeriksa muatan truk itu.
"Di atas truk petugas menemukan 56 karung ganja yang sudah berbentuk bal seberat 2,8 ton," papar Gustav.
Selanjutnya polisi kemudian menahan kedua tersangka bersama barang buktinya ke kantor polisi.
"Kami sedang mengembangkan kasus ini karena truk yang digunakan berasal dari Medan dan kedua tersangka berasal dari Lampung," tukasnya.
Sepanjang tahun 2011, Gustav menjelaskan kepolisian melakukan penggrebekan ke 155 lokasi ladang ganja dan membakar 22.000 ton daun ganja.



1.3 PROSES KEBERADAAN GANJA DI ACEH
Berdasarakan tinjauan historis, tanaman ganja pertama kali ditemukan di daratan Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina kuno telah mengenal dan memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman batu. Masyarakat Cina menggunakan mariyuana untuk bahan tenun pakaian, obat-obatan, dan terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut, beri-beri hingga malaria.
Cannabis atau ganja ini juga diolah untuk minyak lampu dan bahkan untuk upacara keagamaan seperti memuja dewa dan ritual kematian. Secara esensial ganja sendiri di sana dianggap tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang tumbuh di mana saja karena tanahnya memang cocok. Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah yang tidak sesuai dengan kultur tanaman ini.Ganja memerlukan karakter tanah dan faktor geografis tertentu, seperti di Cina, Thailand dan Aceh. Sementara di belahan bumi lainya seperti Eropa, Afrika dan Amerika, ganja juga dapat tumbuh, namun hasilnya tak memuaskan, kecuali harus dengan sentuhan teknologi canggih, itu pun sangat sulit diaplikasikan.
Julukan populis lain ganja adalah mariyuana, yang berasal dari bahasa Portugis yaitu mariguango yang berarti barang yang memabukkan dan untuk bahasa ilmiahnya disebut Cannabis. Istilah ganja dipopulerkan oleh kaum Rastafari, kaum penganut sekte Rasta di Jamaika yang berakar dari Yahudi dan Mesir.
Menurut sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke 19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah itu memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya. Di kalangan anak muda nusantara, ganja lebih familiar disebut bakong ijo,gelek, cimeng atau rasta. Sementara sebutan keren lainya ialah tampee, pot, weed, dope.
Setalah bertahun-tahun dan tumbuh menyebar hampir di seluruh Aceh, ganja mulai dikonsumsi, terutama dijadikan ‘rokok enak,’ yang lambat laun mentradisi di Aceh. Bahkan kalau ada masakan, dianggap belum sempurna kalau bumbunya tidak dicampur dengan biji ganja. Tradisi ini memang sulit dihilangkan atau diberantas lagi di sana.

1.4 DAMPAK DARI ADANYA GANJA DI ACEH
Untuk saat ini, kami belum menemukan kajian ilmiah  atau penelitian mengenai dampak adanya ganja di Aceh. Namun, beberapa penelitian lain dapat kita jadikan gambaran bahaya dari ganja tersebut. Suatu penelitian tentang ganja dan kesehatan jiwa menyebutkan bahwa penggunaan narkoba meningkatkan risiko timbulnya sakit jiwa hingga lebih dari 40%. Para dokter, sebagaimana dimuat The Lancet, minta pihak-pihak yang berwenang untuk masalah kesehatan, mengingatkan kaum muda tentang risiko ganja terhadap pikiran. Kesimpulan iu berdasarkan tinjauan terhadap 35 penelitian yang meneliti frekuensi sizofrenia, khayalan, halusinasi, kekacauan pikiran dan sakit kejiwaan lainnya yang dialami para pemakai ganja.
Pengguna ganja ternyata 41% lebih mungkin mengalami hal-hal itu dibandingkan mereka yang tak pernah merokok. Risikonya relatif bertambah seiring banyaknya pemakaian. Pemakai yang sangat sering menghisap ganja dua kali lebih besar kemungkinannya mengalami gejala itu dibanding yang bukan pemakai.
Studi itu juga mengamati risiko depresi, kegelisahan dan kondisi emosional lainnya, namun belum ada bukti yang pasti untuk mengaitkannya dengan ganja. Seperti dilansir dari AFP, para peneliti mengatakan bahwa mereka telah berusaha sebaik mungkin namun tetap ada kemungkinan bahwa penelitian itu terpengaruh ‘faktor-faktor pengacau’ yang sudah biasa ada dalam penelitian tentang pengaruh ganja.
Namun laporan itu mengemukakan bahwa sekarang telah ada bukti yang pasti untuk memperingatkan kaum muda bahwa narkoba dapat menyebabkan sakit jiwa. “Para pembuat kebijakan harus memberikan peringatan terhadap masyarakat tentang bahaya ganja. Kami yakin bahwa sekarang ada cukup bukti untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa penggunaan ganja dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit jiwa di kemudian hari,” katanya.
Di Inggris, 40% orang dewasa muda dan remaja pernah memakai ganja. Jika dihitung-hitung, sekitar 14% kasus kejiwaan kaum muda di Inggris dapat dihindari jika tidak ada pemakaian ganja. Penelitian itu dipimpin Theresa Moore dari University of Bristol, dan Stanley Zammit dari Cardiff University. Mereka tak memasukkan penelitian terhadap orang yang kecanduan atau yang punya catatan masalah kejiwaan, selain mengabaikan pasien yang mendapat ganja saat pengobatan medis serta tak memasukkan narapidana sebagai sampel. Masalah besar bagi penelitian tersebut adalah ganja merupakan barang terlarang sehingga kekuatan dan dosisnya bermacam-macam, berbeda dengan tembakau yang merupakan barang resmi.












BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1   KONSEP TRANSCULTURE
Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada abad ke-21,
termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin
besar. Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar negara
(imigrasi) dimungkinkan, menyebabkan adaya pergeseran terhadap tuntutan
asuhan keperawatan.
Keperawatan sebagai profesi memiliki landasan body of knowledge yang kuat, yang dapat dikembangkan serta dapat diaplikasikan dalam praktek keperawatan.
Perkembangan teori keperawatan terbagi menjadi 4 level perkembangan yaitu
metha theory, grand theory, midle range theory dan practice theory.
Salah satu teori yang diungkapkan pada midle range theory adalah
Transcultural Nursing Theory. Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan
dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konsep
keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai
kultural yang melekat dalam masyarakat. Leininger beranggapan bahwa sangatlah
penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan
asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan
mengakibatkan terjadinya cultural shock.
Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat
tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini
dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan
beberapa mengalami disorientasi.

1. Pengertian Transculture Nursing
Bila kita tinjau dari makna kata, transkultural berasal dari kata trans dan culture. trans berarti alur perpindahan, jalan lintas, atau pengubung sedangkan cultural berarti  budaya, transcultural dapat diartikan lintas  budaya yang mempunyai efek bahwa budaya yang satu mempengaruhi budaya yang lain.
Leininger ( 1991 ) , mengatakan bahwa transcultural nursing merupakan suatu area kajian ilmiah yang berkaitan dengan perbedaan maupun kesamaan nilai-nilai budaya ( nilai budaya yang berbeda, ras,  yang mempengaruhi pada seorang perawat saat melakukan asuhan keperawatan kepada pasien / klien.
Kazier Barabara ( 1983 ) dalam bukuya yang berjudul Fundamentals of Nursing Concept and Procedures mengatakan bahwa konsep keperawatan adalah tindakan perawatan yang merupakan konfigurasi dari ilmu kesehatan dan seni merawat yang meliputi pengetahuan ilmu humanistic , philosopi perawatan, praktik klinis keperawatan , komunikasi dan ilmu sosial . Konsep ini ingin memberikan penegasan bahwa sifat seorang manusia yang menjadi target pelayanan dalam perawatan adalah bersifat bio – psycho – social – spiritual . Oleh karenanya , tindakan perawatan harus didasarkan pada tindakan yang komperhensif sekaligus holistik.
Jadi, Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002).
2. Konsep dalam Transcultural Nursing
a)   Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang
dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan
mengambil keputusan.
b)   Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan
atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan
melandasi tindakan dan keputusan.
c)   Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang
optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan
variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan
budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan
termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan
individu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).
d)  Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap
bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki
oleh orang lain.
e)   Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
f)    Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada
mendiskreditkan asal muasal manusia
g)   Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi
pada penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan
kesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan
dasar observasi untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling
memberikan timbal balik diantara keduanya.
h)   Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan,
dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian
untuk memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkan
kondisi dan kualitas kehidupan manusia.
i)     Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing,
mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan
yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan
manusia.
j)     Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,
kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung
atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk
mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup
dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
k)   Culturtal imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan
untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain
karena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada
kelompok lain.

3. Paradigma Transcultural Nursing
Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transcultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan yaitu : manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan (Andrew and Boyle, 1995).
A.                   Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai
dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan
melakukan pilihan. Menurut Leininger (1984) manusia memiliki
kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada (Geiger and Davidhizar, 1995).
B.                                         Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi
kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu
keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk
menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi
dalam aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama
yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang
adaptif (Andrew and Boyle, 1995).
C.                   Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai suatu totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti daerah katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah di daerah Eskimo yang hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari sepanjang tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol yang menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan.
D.    Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memadirikan individu sesuai dengan budaya klien. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan/mempertahankan budaya, mengakomodasi/negosiasi budaya dan mengubah/mengganti budaya klien (Leininger, 1991).

2.2 KEBUDAYAAN ACEH
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah sebuah provinsi di Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, sampai Seulawah, Aceh Besar. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuseur (TNGL) juga terdapat diAceh Tenggara.
Aceh adalah salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Dan sebagian besar masyarakat Aceh beragama Islam. Oleh karena itu propinsi ini dikenal dengan sebutan “Serambi Mekah”, maksudnya “pintu gerbang” yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
1)      Letak
6)            Pakaian Suku Aceh
               Pakaian adat Aceh yang digunakan kaum perempuan atau kaum lelaki, memiliki bentuk sendiri meskipun coraknya sama. Yang membedakannya adalah atribut, baik itu pakaian adat resmi maupun yang digunakan keseharian. Untuk pakaian adat yang dikenakan kaum laki-laki berwana hitam. Warna hitam bagi masyarakat Aceh bermakna kebesaran adat. Maka bila seseorang mengenakan baju dan celana hitam berarti orang tersebut dalam pandangan masyarakat Aceh sedang memakai pakaian kebesarannya. Ini bedanya dengan masyarakat di daerah lain, bila memakai pakaian warna hitam, itu bisa berarti mereka sedang berkabung karena sesuatu musibah yang dialaminya. Tetapi tidak untuk masyarakat Aceh. Di Aceh pengantin laki-laki wajib menggunakan pakaian berwarna hitam dan tidak boleh mengenakan pakaian warna lain. Begitu juga untuk upacara-upacara adat diwajibkan menggunakan pakian warna hitam.
7)   Suku Aceh
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan. Di Provinsi Aceh terdapat empat suku utama yaitu: 
·         Suku Aceh
·         Suku Gayo
·         suku Alas
·         Taminang
Suku Aceh merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir Aceh. Orang Aceh yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan terdapat sedikit perbedaan kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi oleh gaya kebudayaan Minangkabau. Hal ini mungkin karena nenek moyang mereka yang pernah bertugas diwilayah itu ketika berada di bawah protektorat kerajaan Aceh tempo dulu dan mereka berasimilasi dengan penduduk disana.
Suku Gayo dan Alas merupakan suku minoritas yang mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Kedua suku ini juga bersifat patriakhat dan pemeluk agama Islam yang kuat.  Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, arian, musik dan adat istiadat.
Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-nilai keislaman. Contoh ragam hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Hal ini karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan menampilkan bentuk manusia atau binatang sebagai ragam hias.

2.3 PENYAKIT AKIBAT BUDAYA
Beredarnya ganja di masyarakat aceh tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Dan risiko mengenai bahaya ganja juga cukup besar mengingat aceh sebagai daerah penghasil ganja. Risiko yang berpeluang muncul apabila ganja tersebut disalahgunakan dalam artian pemakaiannya melebihi dosis seperti, mabuk sesaat karena zat THC.  Sebenarnya kadar zat THC yang ada dalam tumbuhan ganja dapat dikontrol kualitas dan kadarnya jika ganja dikelola dan dipantau dengan proses yang benar.
Dalam penelitian meta analisis para ahli dari Universitas Cardiff dan Universitas Bristol, Inggris, pencandu ganja berisiko schizophrenia, yakni peningkatan gejala seperti paranoid, mendengar suara-suara dan melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada yang berujung pada kelainan jiwa, seperti depresi, ketakutan, mudah panik, depresi, kebingungan dan berhalusinasi, gangguan kehamilan dan janin. Komposisi kimia yang terkandung dalam ganja adalah Cannibanol, Cannabidinol atau THC yang terdiri dari Delta -9- THC dan Delta -8- THC. Delta -9- THC sendiri mempunyai efek seperti di atas. Selain Delta -9- THC, ada 61 unsur kimia lagi yang sejenis dan lebih 400 bahan kimia lainnya yang beracun.
Di sisi lain, Delta -9- THC yang terkandung di dalam ganja diyakini para ilmuwan medis mampu mengobati berbagai penyakit, seperti daun dan biji, untuk membantu penyembuhan penyakit tumor dan kanker. Akar dan batangnya bisa dibuat menjadi jamu yang mampu menyembuhkan penyakit kejang perut (kram), disentri, anthrax, asma, keracunan darah, batuk, diare, luka bakar, bronchitis, dan lain-lain. Dalam dunia kedokteran, bahan kimia pada ganja mempunyai sifat-sifat yang membantu penyembuhan penyakit dalam tubuh, seperti tonic (penguat), analgesic, stomachic dan antispasmodic (penghilang rasa sakit), sedative dan anodyne (penenang), serta intoxicant (racun keras).























BAB III
KASUS DAN PEMECAHAN

3.1 KASUS
Jika mendengar kata ganja, pasti kita akan mengingat salah satu propinsi di Indonesia sebagai penghasil ganja. Siapa yang tak mengenal Aceh. Aceh merupakan lumbung ganja terbesar di Asia Tenggara. Aceh memang tidak bisa dilepaskan dari ganja. Ganja di aceh sudah merupakan konsumsi masyarakat sehari-hari. Ganja di aceh biasanya digunakan sebagai penyedap makanan, ganja juga dapat digunakan sebagai sayur-sayuran, dan Hampir tak ada orang Aceh yang tak pernah mencicipinya, ada yang menikmatinya via rokok ternikmat, bumbu dapur, dodol, campuran kopi, hingga diolah ke berbagai jenis makanan lainya, selebihnya dijual ke luar Aceh. 
Dulu di Aceh ganja memang digunakan sebagai  ramuan makanan , penyedap masakan, dan bumbu masak serta diolah menjadi berbagai jenis makanan lainnya. Namun, saat ini jarang ditemui masakan Aceh yang memakai bahan ganja untuk ramuan masakan atau pun daun ganja digunakan sebagai olahan makanan. Sekarang di aceh ganja sudah disalahgunakan oleh kebanyakan masyarakat aceh. Sehingga tak heran ganja disebut sebagai barang haram, karena sekarang di Aceh, Ganja dijadikan sebagai obat-obatan terlarang yang dapat merusak kesehatan. Ganja dianggap sebagai jenis narkotika yang dapat membuat penggunanya kecanduan, mengalami halusinasi, efek euforia sesaat, malas, dan lambat. Inilah yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat aceh.

3.2  PEMECAHAN KASUS
            Untuk pemecahan kasus ganja yang ada di aceh ini perlu ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berwenang. Termasuk kita sebagai tenaga kesehatan, khususnya perawat. Kita sebagai tenaga kesehatan juga harus membantu pihak-pihak terkait dalam memecahkan masalah penyalahgunaan ganja yang sering kali terjadi di aceh, bahkan sudah menjadi konsumsi publik sehari-hari.
            Kita sebagai tenaga kesehatan bisa melakukan bebagai penyuluhan kepada masyarakat di aceh mengenai dampak penggunaan ganja yang merugikan kesehatan mereka. Khususnya dikalangan remaja, yang nantinya mereka akan menjadi penerus bangsa ini. Kita juga dapat melakukan sosialisasi tentang bagaimana cara memanfaatkan daun ganja yang dapat menguntungkan kesehatan. Contohnya memanfaatkan daun ganja sebagai penyedap masakan, sayur-sayuran dan diolah menjadi berbagai jenis makanan. Sehingga ganja tidak serta merta disalahgunakan oleh masyarakat Aceh sebagai narkotika yang dapat merusak kesehatan masyarakat Aceh.
            Sosialisasi ini penting kita lakukan untuk menekan angka penggunaan ganja, khususnya Aceh. Apalagi Aceh sebagai penghasil ganja terbesar di Asia Tenggara. Agar masyarakat Aceh tidak mengonsumsinya sebagai obat-obatan terlarang yang dapat memperburuk kesehatan masyarakat Aceh. Namun sebaliknya, menjadikan ganja sebagai tanaman yang bermanfaat yang dapat digunakan masyarakat Aceh untuk bahan makanan atau sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Bukannya dijadikan sebagai sesuatu atau bahan yang merugikan kesehatan masyarakat Aceh sendiri.

















BAB IV
KESIMPULAN
1.   Suku Aceh memiliki kebudayaan menanam ganja karena kondisi geografis, tanahnya subur, hujan teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang relatif stabil.
2.   Orang Aceh menggunakan ganja sebagai bumbu dapur, dodol, campuran kopi, hingga diolah ke berbagai jenis makanan lainya, dinikmati via rokok, selebihnya dijual ke luar Aceh. 
3.   Sekarang di aceh ganja sudah disalahgunakan oleh kebanyakan masyarakatnya.
4.   Ganja merupakan jenis narkotika yang dapat membuat penggunanya kecanduan, mengalami halusinasi, efek euforia sesaat, malas, dan lambat.
5.   Untuk menanggulangi efek penyalahgunaan ganja di Aceh, tenaga kesehatan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat Aceh mengenai dampak penyalahgunaan ganja dan cara pemanfaatan daun ganja yang berguna bagi kesehatan.
















DAFTAR PUSTAKA

BAB I
(diakses pada tanggal 28 Februari 2012)
      (diakses pada tanggal 28 Februari 2012)
http://acehpedia.org/Ganja_Aceh (diakses pada tanggal 23 Maret 2012)
(diakses pada tanggal 23 Maret 2012)
            (diakses pada tanggal 24 Maret 2012)
remaja.html (diakses pada tanggal 24 Maret 2012)
      (diakses pada tanggal 24 Maret 2012)
http://www.stikesbhamada.ac.id/media.php?module=detailartikel&id=170transcultura
l-nursing-- (diakses pada tanggal 24 Maret 2012)

BAB II
http://taufanariefalamsyah.blogspot.com/2011/11/kebudayaan-aceh-nama-taufan-arief.html
Andrew . M & Boyle. J.S, (1995), Transcultural Concepts in Nursing Care, 2nd Ed,Philadelphia, JB Lippincot Company
Cultural Diversity in Nursing, (1997), Transcultural Nursing ; Basic Concepts and
Case Studies, Ditelusuri tanggal 14 Oktober 2006 dari
http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing
Fitzpatrick. J.J & Whall. A.L, (1989), Conceptual Models of Nursing : Analysis and Application, USA, Appleton & Lange
Giger. J.J & Davidhizar. R.E, (1995), Transcultural Nursing : Assessment and
Intervention, 2nd Ed, Missouri , Mosby Year Book Inc
Iyer. P.W, Taptich. B.J, & Bernochi-Losey. D, (1996), Nursing Process and Nursing
Diagnosis, W.B Saunders Company, Philadelphia
Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,
Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill
Companies
Swasono. M.F, (1997), Kehamilan, kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam
Konteks Budaya, Jakarta, UI Press
Royal College of Nursing (2006), Transcultural Nursing Care of Adult ; Section One Understanding The Theoretical Basis of Transcultural Nursing Care Ditelusuri tanggal 14 Oktober 2006 dari http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing
__________________________, Transcultural Nursing Care of Adult ; Section Two Transcultural NursingModels ; Theory and Practice, Ditelusuri tanggal 14 Oktober 2006 dari http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing
__________________________, Transcultural Nursing Care of Adult ; Section Three Application of Transcultural Nursing Models, Ditelusuri tanggal 14
Oktober 2006 dari http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing

 *SUMBER :









No comments: