Juniartha Semara Putra
Sunrise Model dari teori Leininger dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Matahari terbit sebagai lambang/ symbol perawatan. Suatu kekuatan untuk memulai pada puncak dari model ini dengan pandangan dunia dan keistimewaan struktur sosial untuk mempertimbangkan arah yang membuka pikiran yang mana ini dapat mempengaruhi kesehatan dan perawatan atau menjadi dasar untuk menyelidiki berfokus pada keperawatan profesional dan sistem perawatan kesehatan secara umum. Anak panah berarti mempengaruhi tetapi tidak menjadi penyebab atau garis hubungan. Garis putus-putus pada model ini mengindikasikan sistem terbuka. Model ini menggambarkan bahwa tubuh manusia tidak terpisahkan/tidak dapat dipisahkan dari budaya mereka.
Suatu hal yang perlu diketahui bahwa masalah dan intervensi keperawatan tidak tampak pada teori dan model ini. Tujuan yang hendak dikemukakan oleh Leininger adalah agar seluruh terminologi tersebut dapat diasosiasikan oleh perawatan profesional lainya. Intervensi keperawatan ini dipilih tanpa menilai cara hidup klien atau nilai-nilai yang akan dipersepsikan sebagai suatu gangguan, demikian juga masalah keperawatan tidak selalu sesuai dengan apa yang menjadi pandangan klien. Model ini merupakan suatu alat yang produktif untuk memberikan panduan dalam pengkajian dan perawatan yang sejalan dengan kebudayan serta penelitianilmiah.

Leininger Sunrise Model merupakan pengembangan dari konseptual model asuhan keperawatan transkultural. Terdapat 7 (tujuh) komponen dalam sunrise model tersebut, yaitu :
1. Faktor Teknologi ( Technological Factors )
Teknologi kesehatan adalah sarana yang memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran untuk menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Berkaitan dengan pemanfatan teknologi kesehatan, maka perawat perlu mengkaji berupa persepsi individu tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini, alasan mencari kesehatan, persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan.
2. Faktor keagamaan dan falsafah hidup ( Religous and Philosofical Factors)
Agama adalah suatu sistem simbol yang mengakibatkan pandangan dan motivasi yang realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi kuat sekali untuk menempatkan kebenarannya di atas segalanya bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang perlu dikaji perawat seperti : agama yang dianut, kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan, berikhtiar untuk sembuh tanpa mengenal putus asa, mempunyai konsep diri yang utuh.
3. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (Kinship and Social Factors)
Faktor sosial dan kekeluargaan yang perlu dikaji oleh perawat : nama lengkap dan nama panggilan dalam keluarga, umur atau tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam anggota keluarga, hubungan klien dengan kepala keluarga, kebiasaan yang dilakukan rutin oleh keluarga.
4. Faktor nilai budaya dan gaya hidup (Cultural Values and Lifeways)
Nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan buruk. Hal-hal yang perlu dikaji berhubungan dengan nilai-nilai budaya dan gaya hidup adalah posisi dan jabatan, bahasa yang digunakan, kebiasaan membersihkan diri, kebiasaan makan, makan pantang berkaitan dengan kondisi sakit, sarana hiburan yang dimanfaatkan dan persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari.
5. Faktor peraturan dan kebijakan (Polithical and Legal Factor)
Peraturan dan kebijakan yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan transkultural. Misalnya peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang menunggu.
6. Faktor ekonomi ( Economical Faktor )
Klien yang dirawat dapat memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Sumber ekonomi yang ada pada umumnya dimanfaatkan klien antara lain asurannsi, biaya kantor, tabungan.
Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat antara lain seperti pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan.
7. Faktor pendidikan (Educational Factor)
Latar belakang pendidikan individu adalah pengalaman individu dalam menmpuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan individu, maka keyakinannya harus didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan dapat beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya.
Perawat perlu mengkaji latar belakang pendidikan meliputi tingkat pendidikan, jenis pendidikan, serta kemampuan belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali
v Unsur-unsur Budaya
1.Sistem religi
2.Sistem dan organisasi
masyarakat
3.Sistem pengetahuan
4.Bahasa
5.Kesenian
6.Mata pencaharian
7.Teknologi dan peralatan
v Wujud Kebudayaan
1.Bentuk kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma dan peraturan
2.Bentuk kompleks dari aktifitas kelakukan berpola
3.Bentuk kompleks dari benda hasil karya manusia
BAB
I
PENDAHULUAN
Konsep
transkultur babi guling masih melekat erat pada masyarakat bali sampai saat
ini. Babi guling (di Bali disebut be guling) adalah sejenis makanan yang
terbuat dari babi betina atau jantan, di mana perutnya diisikan dengan bumbu
dan sayuran seperti daun ketela pohon dan lalu dipanggang sambil diputar-putar
(diguling-gulingkan) sampai matang yang ditandai dengan perubahan warna kulit
menjadi merah kecoklatan dan renyah. Awalnya babi guling pada mulanya digunakan
untuk sajian pada upacara baik upacara adat maupun upacara keagamaan, namun
saat ini babi guling telah dijual sebagai hidangan baik di warung-warung, rumah
makan bahkan hotel-hotel tertentu di daerah bali. Saat ini di Bali persembahan
babi guling , dipergunakan untuk berbagai tujuan misalnya : mesesangi (bayar
janji), upacra tiga bulanan untuk anak yang baru lahir, mesangih (potong gigi),
ninggungan (pengorbanan anak babi) dll.
Indonesia
dengan berbagai ragam budayanya, memiliki berbagai jenis makanan tradisional
yang merupakan makanan khas yang berasal dari daerah itu dan disukai oleh
masyarakat pada umumnya yang tinggal di wilayah tersebut. Bali dikenal memiliki
makanan tradisional, salah satunya babi guling. Babi guling
adalah sejenis makanan yang terbuat dari babi betina atau jantan, di mana
perutnya diisikan dengan bumbu dan sayuran seperti daun ketela pohon, kemudian
dipanggang sambil diputar-putar (diguling-gulingkan) sampai matang yang ditandai dengan perubahan warna kulit
menjadi merah kecoklatan dan renyah. Awalnya babi guling hanya digunakan untuk
sajian pada upacara, baik upacara adat maupun upacara keagamaan. Persembahan
babi guling, dipergunakan untuk berbagai tujuan misalnya : mesesangi (bayar
janji), upacara tiga bulanan untuk anak yang baru lahir, mesangih (potong
gigi), ninggungan (pengorbanan anak babi) dll. Namun saat ini babi guling telah
dijual sebagai hidangan yang dapat dikonsumsi kapan saja karena mudah dicari baik
di warung-warung, rumah makan bahkan hotel-hotel tertentu di daerah Bali.
Keunikan dari makanan ini adalah di
satu sisi makanan ini kaya akan kandungan lemak jenuh (miristat dan stearat)
dan karbohidrat yang bersifat aterogenik. Kandungan lemak dan kolesterol
dagingnya dapat meningkatkan kadar lemak darah yang berakibat kepada
aterosklerosis. Tetapi disisi lain makanan ini juga mengandung flavonoid yang
berasal dari bumbu babi guling tersebut. Bumbu babi guling dibuat dari campuran
berbagai bahan yang berasal dari umbi-umbian (jahe, kunir, lengkuas, kencur,
bawang merah, bawang putih), biji-bijian (ketumbar, merica), buah (lombok,
kemiri, pala), bunga (cengkeh) dan daun-daunan (daun salam, daun belimbing atau
daun ubi) yang mengandung antioksidan
dan bersifat antiinflamasi sehingga dapat dianggap sebagai bersifat
ateroprotektif (Indraguna, 2009).
Perkembangan pola penyakit di Bali
menunjukkan perkembangan dari pola penyakit infeksi ke pola penyakit
degenerasi. Berdasarkan hasil RISKESDAS 2007, disebutkan bahwa prevalensi
Hipertensi di Bali adalah 29,1 % dan prevalensi stroke yaitu 6,8%. Dibandingkan
dengan provinsi lainnya, maka penyakit yang merupakan akibat dari penuaan
pembuluh darah ini, menempati urutan ke 23 dari 33 provinsi yang ada di
Indonesia. Dan ini berarti prevalensi penyakit pembuluh darah di Bali tergolong
kecil atau di bawah rata-rata nasional. Namun, jika dilihat dari asupan kalori
dan lemak yang merupakan faktor risiko dari kedua penyakit pembuluh darah ini,
masyarakat di provinsi Bali tergolong berisiko. Untuk asupan kalori, masyarakat
di provinsi Bali menempati urutan ke 12 dari 33 provinsi dengan jumlah asupan
rata-rata 1706 Kcal/hari, dan urutan ke 11 untuk jumlah penduduk yang sering
mengkonsumsi lemak yang jumlahnya mencampai 15,4 % (DepKes R.I., 2007).
Berdasarkan hasil diskusi panel Susenas tahun 2007, konsumsi kalori masyarakat
Bali yang diukur pada tahun 2002, 2005 dan 2007 terus berada di atas konsumsi
rata-rata nasional, yaitu 2.249 berbanding 1.985 pada tahun 2002, 2.289
berbanding 2.007 pada tahun 2005 dan 2.285 berbanding 2014 pada tahun 2007. Dan
bila dilihat komponen makanan penyumbang kalori pada tahun-tahun survey yang
sama, konsumsi makanan yang bersifat aterogenik seperti lemak, daging, dan gula
yang bersumber dari makanan dan minuman, tergolong tinggi (Biro Pusat
Statistik, 2007).
Laporan ini sedapat mungkin menjawab pertanyaan krusial di
atas oleh karena laporan ini diharapkan dapat mengungkap faktor risiko yang
diperoleh dari mengkonsumsi babi guling yang merupakan salah satu makanan
tradisional Bali terhadap kemungkinan menderita kolesterol. Dan secara khusus
akan dijelaskan bagaimana efektifitas campuran bumbu yang dipakai di dalam babi
guling dapat menurunkan risiko kolesterol sebagai akibat dari mengkonsumsi babi
guling, pada binatang coba tikus Wistar, Munculnya Sel Busa (Foam Cell) akibat
konsumsi babi guling inilah berperan sebagai cikal bakal terbentuknya plak
aterosklerosis yang merupakan tahap lanjut darikolesterol.
BAB II
TINJAUAN TEORI
The
Sunrise Model ( Model matahari terbit)
Sunrise Model dari teori Leininger dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Matahari terbit sebagai lambang/ symbol perawatan. Suatu kekuatan untuk memulai pada puncak dari model ini dengan pandangan dunia dan keistimewaan struktur sosial untuk mempertimbangkan arah yang membuka pikiran yang mana ini dapat mempengaruhi kesehatan dan perawatan atau menjadi dasar untuk menyelidiki berfokus pada keperawatan profesional dan sistem perawatan kesehatan secara umum. Anak panah berarti mempengaruhi tetapi tidak menjadi penyebab atau garis hubungan. Garis putus-putus pada model ini mengindikasikan sistem terbuka. Model ini menggambarkan bahwa tubuh manusia tidak terpisahkan/tidak dapat dipisahkan dari budaya mereka.
Suatu hal yang perlu diketahui bahwa masalah dan intervensi keperawatan tidak tampak pada teori dan model ini. Tujuan yang hendak dikemukakan oleh Leininger adalah agar seluruh terminologi tersebut dapat diasosiasikan oleh perawatan profesional lainya. Intervensi keperawatan ini dipilih tanpa menilai cara hidup klien atau nilai-nilai yang akan dipersepsikan sebagai suatu gangguan, demikian juga masalah keperawatan tidak selalu sesuai dengan apa yang menjadi pandangan klien. Model ini merupakan suatu alat yang produktif untuk memberikan panduan dalam pengkajian dan perawatan yang sejalan dengan kebudayan serta penelitianilmiah.
SUNRAISE
MODEL

Leininger Sunrise Model merupakan pengembangan dari konseptual model asuhan keperawatan transkultural. Terdapat 7 (tujuh) komponen dalam sunrise model tersebut, yaitu :
1. Faktor Teknologi ( Technological Factors )
Teknologi kesehatan adalah sarana yang memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran untuk menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Berkaitan dengan pemanfatan teknologi kesehatan, maka perawat perlu mengkaji berupa persepsi individu tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini, alasan mencari kesehatan, persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan.
2. Faktor keagamaan dan falsafah hidup ( Religous and Philosofical Factors)
Agama adalah suatu sistem simbol yang mengakibatkan pandangan dan motivasi yang realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi kuat sekali untuk menempatkan kebenarannya di atas segalanya bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang perlu dikaji perawat seperti : agama yang dianut, kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan, berikhtiar untuk sembuh tanpa mengenal putus asa, mempunyai konsep diri yang utuh.
3. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (Kinship and Social Factors)
Faktor sosial dan kekeluargaan yang perlu dikaji oleh perawat : nama lengkap dan nama panggilan dalam keluarga, umur atau tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam anggota keluarga, hubungan klien dengan kepala keluarga, kebiasaan yang dilakukan rutin oleh keluarga.
4. Faktor nilai budaya dan gaya hidup (Cultural Values and Lifeways)
Nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan buruk. Hal-hal yang perlu dikaji berhubungan dengan nilai-nilai budaya dan gaya hidup adalah posisi dan jabatan, bahasa yang digunakan, kebiasaan membersihkan diri, kebiasaan makan, makan pantang berkaitan dengan kondisi sakit, sarana hiburan yang dimanfaatkan dan persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari.
5. Faktor peraturan dan kebijakan (Polithical and Legal Factor)
Peraturan dan kebijakan yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan transkultural. Misalnya peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang menunggu.
6. Faktor ekonomi ( Economical Faktor )
Klien yang dirawat dapat memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Sumber ekonomi yang ada pada umumnya dimanfaatkan klien antara lain asurannsi, biaya kantor, tabungan.
Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat antara lain seperti pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan.
7. Faktor pendidikan (Educational Factor)
Latar belakang pendidikan individu adalah pengalaman individu dalam menmpuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan individu, maka keyakinannya harus didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan dapat beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya.
Perawat perlu mengkaji latar belakang pendidikan meliputi tingkat pendidikan, jenis pendidikan, serta kemampuan belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali
2.1. KONSEP TRANSKULTUR
Transcultural
(Budaya) adalah seluruh kelakuan dan
hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkannya
dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat
(Koentjaraningrat).
Transcultural
nursing adalah suatu area atau wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan
praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya
dan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia,
kepercayaan dan tindakan. Ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan
khususnya budaya atau keutuhan budaya pada manusia (Leininger,2002).
Tujuan
dari keperawatan transkultural adalah untuk mengidentifikasi, menguji,
mengerti, dan menggunakan pemahaman keperawatan transkultural untuk
meningkatkan kebudayaan yang spesifik dalam pemberian asuhan keperawatan.
v Unsur-unsur Budaya
1.Sistem religi
2.Sistem dan organisasi
masyarakat
3.Sistem pengetahuan
4.Bahasa
5.Kesenian
6.Mata pencaharian
7.Teknologi dan peralatan
v Wujud Kebudayaan
1.Bentuk kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma dan peraturan
2.Bentuk kompleks dari aktifitas kelakukan berpola
3.Bentuk kompleks dari benda hasil karya manusia
Konsep kebudayaan menurut Leininger
dalam buku Transcutural Nursing; concepts, theories and practices (1978 &
1995).
a. Kebudayaan yang mempersepsikan penyakit ke dalam bentuk pengalaman tubuh internal dan bersifat personal (contohnya yang disebabkan oleh kondisi fisik, genetic,stress dalam tubuh) lebih cenderung menggunakan teknik dan metode keperawatan diri secara fisik dari pada melakukan perawatan berdasarkan budaya yang memandang penyakit sebagai suatu keyakinan kultural dan ekstra personal serta pengalaman budaya secara langsung.
b. Budaya sangat menekankan proses, prilaku dan nilai perawatan (caring), memegang peranan yang lebih cenderung dilakukan wanita daripada pria.
c. Kebudayaan yang menekankan pada prilaku dan proses pengobatan (caring) cenderung dilaksanakan oleh pria daripada wanita.
d. Klien (masyarakat umum / tradisional) yang membutuhkan pelayanan keperawatan (caring), pertama sekali cenderung untuk mencari bantuan dari pihak keluarga maupun relasinya dalam mengatasi masalahnya, baru kemudian mencari pemberi pelayanan kesehatan professional apabila orang-orang terdekatnya tidak mampu memeberikan kondisi yang efektif, keadaan klien semakin memburuk atau jika terjadi kematian.
e. Kegiatan perawatan yang banyak dipraktekkan di masyarakat (ethno caring activities), yang memiliki keuntungan terapeutik bagi klien dan keluarganya, kurang dipahami oleh kebanyakan perawat professional di Werstern.
f. Jika terdapat prilaku perawatan yang efektif dalam suatu kebudayaan maka kebutuhan pengobatan dan pelayanan dari petugas professional akan berkurang.
g. Perbedaan mendasar antara praktek keperawatan tradisional dan professional mengakibatkan konflik budaya dan membebani praktek keperawatan.
h. Perawatan transkultural akan mempersiapkan perawat untuk dapat menyusun asuhan keperawatan pada setiap budaya yang berbeda, dan dapat menentukan hasil yang tepat sesuai dengan kebudayaan klien tersebut.
i. Keberhasilan dalam perawatan kesehatan akan sulit dicapai apabila pemberi pelayanan tersebut tidak menggunakan pengetahuan dan praktek yang didasarkan atas keyakinan dan nilai budaya klien.
a. Kebudayaan yang mempersepsikan penyakit ke dalam bentuk pengalaman tubuh internal dan bersifat personal (contohnya yang disebabkan oleh kondisi fisik, genetic,stress dalam tubuh) lebih cenderung menggunakan teknik dan metode keperawatan diri secara fisik dari pada melakukan perawatan berdasarkan budaya yang memandang penyakit sebagai suatu keyakinan kultural dan ekstra personal serta pengalaman budaya secara langsung.
b. Budaya sangat menekankan proses, prilaku dan nilai perawatan (caring), memegang peranan yang lebih cenderung dilakukan wanita daripada pria.
c. Kebudayaan yang menekankan pada prilaku dan proses pengobatan (caring) cenderung dilaksanakan oleh pria daripada wanita.
d. Klien (masyarakat umum / tradisional) yang membutuhkan pelayanan keperawatan (caring), pertama sekali cenderung untuk mencari bantuan dari pihak keluarga maupun relasinya dalam mengatasi masalahnya, baru kemudian mencari pemberi pelayanan kesehatan professional apabila orang-orang terdekatnya tidak mampu memeberikan kondisi yang efektif, keadaan klien semakin memburuk atau jika terjadi kematian.
e. Kegiatan perawatan yang banyak dipraktekkan di masyarakat (ethno caring activities), yang memiliki keuntungan terapeutik bagi klien dan keluarganya, kurang dipahami oleh kebanyakan perawat professional di Werstern.
f. Jika terdapat prilaku perawatan yang efektif dalam suatu kebudayaan maka kebutuhan pengobatan dan pelayanan dari petugas professional akan berkurang.
g. Perbedaan mendasar antara praktek keperawatan tradisional dan professional mengakibatkan konflik budaya dan membebani praktek keperawatan.
h. Perawatan transkultural akan mempersiapkan perawat untuk dapat menyusun asuhan keperawatan pada setiap budaya yang berbeda, dan dapat menentukan hasil yang tepat sesuai dengan kebudayaan klien tersebut.
i. Keberhasilan dalam perawatan kesehatan akan sulit dicapai apabila pemberi pelayanan tersebut tidak menggunakan pengetahuan dan praktek yang didasarkan atas keyakinan dan nilai budaya klien.
2.2
BUDAYA
Kehidupan
manusia tidak akan lepas dari kebudayaan. Selain kaerna kebudayaan merupakan
hasil budi dan karya mereka, itu juga disebabkan karena kebudayaan secara
langsung kembali mempengaruhi manusia yang menghasilkannya.
Babi guling (di Bali disebut be guling) adalah
sejenis makanan yang terbuat dari anak babi betina atau jantan, di mana
perutnya diisikan dengan bumbu dan sayuran seperti daun ketela pohon dan lalu
dipanggang sambil diputar-putar (diguling-gulingkan) sampai matang yang
ditandai dengan perubahan warna kulit menjadi kecoklatan dan renyah. Awalnya
babi guling pada mulanya digunakan untuk sajian pada upacara baik upacara adat
maupun upacara keagamaan, namun saat ini babi guling telah dijual sebagai
hidangan baik di warung-warung, rumah makan bahkan hotel-hotel tertentu di
daerah bali.
Nama babi guling untuk
daerah Bali lebih dikenal dengan be guling. Babi guling yang paling terkenal
berasal dari kabupaten Gianyar.
2.3
PENYAKIT AKIBAT BUDAYA
v CACING-CACING PEMICU PENYAKIT YANG TERDAPAT PADA BABI :
1. Cacing
Taenia Sollum
Parasit
ini berupa larva yang berbentuk gelembung pada daging babi atau berbentuk
butiran-butiran telur pada usus babi. Jika seseorang memakan daging babi tanpa
dimasak dengan baik, maka dinding-dinding gelembung ini akan dicerna oleh perut
manusia. Peristiwa ini akan menghalangi perkembangan tubuh dan akan membentuk
cacing pita yang panjangnya bisa mencapai lebih dari 3 meter. Cacing ini akan
melekat pada dinding usus dengan cara menempelkan kepalanya lalu menyerap
unsur-unsur makanan yang ada di lambung. Hal itu bisa menyebabkan seseorang
kekurangan darah dan gangguan pencernaan, karena cacing ini bisa mengeluarkan
racun.
Apabila
pada diri seseorang, khususnya anak-anak, telah diketahui terdapat cacing ini
di lambungnya maka dia akan mengalami hysteria atau perasaan cemas. Terkadang
larva yang ada dalam usus manusia ini akan memasuki saluran peredaran darah dan
terus menyebar ke seluruh tubuh, termasuk otak, hati, saraf tulang belakang,
dan paru-paru. Dalam kondisi ini dapat menyebabkan penyakit yang mematikan.
2. Cacing
Trichinia Spiralis
Cacing
ini ada pada babi dalam bentuk gelembung-gelembung lembut. Jika seseorang
mengkonsumsi daging babi tanpa dimasak dengan baik, maka gelembung-gelembung
-yang mengandung larva cacing ini- dapat tinggal di otot dan daging manusia,
sekat antara paru-paru dan jantung, dan di daerah-daerah lain di tubuh.
Penyerangan cacing ini pada otot dapat menyebabkan rasa sakit yang luar biasa
dan menyebabkan gerakan lambat, ditambah lagi sulit melakukan aktivitas. Sedang
keberadaannya di sekat tersebut akan mempersempit pernafasan, yang bisa
berakhir dengan kematian.
Bisa
jadi, cacing jenis ini tidak akan membuat seseorang meninggal dalam waktu
singkat. Namun patut diketahui bahwa cacing-cacing kecil yang berkembang di
otot-otot tubuh seseorang setelah dia mengkonsumsi daging babi bisa dipastikan
akan menetap di sana hingga orang itu meninggal dunia.
3. Cacing
Schistosoma Japonicus
Ini
adalah cacing yang lebih berbahaya daripada cacing schistosoma yang dilkenal di
Mesir. Dan babi adalah satu-satunya binatang yang mengandung cacing ini. Cacing
ini dapat menyerang manusia apabila mereka menyentuh atau mencuci tangan dengan
air yang mengandung larva cacing yang berasal dari kotoran babi. Cacing ini
dapat menyelinap ke dalam darah, paru-paru, dan hati. Cacing ini berkembang
dengan sangat cepat, dalam sehari bisa mencapai lebih dari 20.000
telur, serta dapat membakar kulit, lambung dan hati. Terkadang juga
menyerang bagian otak dan saraf tulang belakang yang berakibat pada kelumpuhan
dan kematian.
4. Fasciolepsis
Buski
Parasit
ini hidup di usus halus babi dalam waktu yang lama. Ketika terjadi percampuran
antara usus dan tinja, parasit ini akan berada dalam bentuk tertentu yang
bersifat cair yang bisa memindahkan penyakit pada manusia. Kebanyakan jenis
parasit ini terdapat di daerah China dan Asia Timur. Parasit ini bisa
menyebabkan gangguan pencernaan, diare, dan pembengkakan di sekujur tubuh,
serta bisa menyebabkan kematian.
5. Cacing
Ascaris
Panjang
cacing ini adalah sekitar 25 cm. Cacing ini bisa menyebabkan radang paru-paru,
radang tenggorokan dan penyumbatan lambung. Cacing ini tidak bisa dibasmi di
dalam tubuh, kecuali dengan cara operasi.
6. Cacing
Anklestoma
Larva
cacing ini masuk ke dalam tubuh dengan cara membakar kulit ketika seseorang
berjalan, mandi, atau minum air yang tercemar. Cacing ini bisa menyebabkan
diare dan pendarahan di tinja, yang bisa menyebabkan terjadinya kekurangan
darah, kekurangan protein dalam tubuh, pembengkakan tubuh, dan menyebabkan
seorang anak mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan fisik dan mental, lemah
jantung dan akhirnya bisa menyebabkan kematian.
7. Calornorchis
Sinensis
Ini
jenis cacing yang menyelinap dan tinggal di dalam air empedu hati babi, yang
merupakan sumber utama penularan penyakit pada manusia. Cacing ini terdapat di
China dan Asia Timur, karena orang-orang di sana biasa memelihara dan
mengkonsumsi babi. Virus ini bisa menyebabkan pembengkakan hati manusia dan
penyakit kuning yang disertai dengan diare yang parah, tubuh menjadi kurus dan
berakhir dengan kematian.
8. Cacing
Paragonimus
Cacing
ini hidup di paru-paru babi. Cacing ini tersebar luas di China dan Asia Tenggara
tempat di mana babi banyak dipelihara dan dikonsumsi. Cacing ini bisa
menyebabkan radang paru-paru. Sampai sekarang belum ditemukan cara membunuh
cacing di dalam paru-paru. Tapi yang jelas cacing ini tidak terdapat, kecuali
di tempat babi hidup. Parasit ini bisa menyebabkan pendarahan paru-paru kronis,
di mana penderita akan merasa sakit, ludah berwarna cokelat seperti karat,
karena terjadi pendarahan pada kedua paru-paru.
9. Wine
Erysipelas
Parasit
ini terdapat pada kulit babi. Parasit ini selalu siap untuk pembakaran pada
kulit manusia yang mencoba mendekati atau berinteraksi dengannya. Parasit ini
bisa menyebabkan radang kulit manusia yang memperlihatkan warna merah dan suhu
tubuh tinggi.Sedang kuman-kuman yang ada pada babi dapat menyebabkan berbagai
penyakit, diantaranya adalah TBC, Cacar (Small pox), gatal-gatal(scabies), dan
Kuman Rusiformas N.
v PENYAKIT-PENYAKIT YANG DITIMBULKAN AKIBAT
KONSUMSI BABI GULING :
Ø Penyakit
“cacing pita” merupakan penyakit yang
sangat berbahaya yang terjadi melalui konsumsi daging babi.
Ia berkembang di bagian usus 12 jari di tubuh manusia, dan beberapa bulan cacing itu akan menjadi dewasa. Jumlah cacing pita bisa mencapai sekitar ”1000 ekor dengan panjang antara 4 – 10 meter”, dan terus hidup di tubuh manusia dan mengeluarkan telurnya melalui BAB (buang air besar).
Ia berkembang di bagian usus 12 jari di tubuh manusia, dan beberapa bulan cacing itu akan menjadi dewasa. Jumlah cacing pita bisa mencapai sekitar ”1000 ekor dengan panjang antara 4 – 10 meter”, dan terus hidup di tubuh manusia dan mengeluarkan telurnya melalui BAB (buang air besar).
Ø Babi
mengandung belerang dengan kadar tinggi
Karena babi mengandung belerang dengan kadar tinggi, ketika dimakan maka sejumlah besar belerang diserap tubuh. Jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti infeksi persendian ketika belerang menumpuk di dalam tulang rawan, otot dan saraf; pengapuran dan hernia. Ketika babi dimakan secara teratur, jaringan ikat lunak dari babi menggantikan tulang rawan keras di dalam tubuh. Akibatnya, tulang rawan menjadi tidak mampu menopang bobot badan, yang pada akhirnya membawa pada kelainan persendian.
Karena babi mengandung belerang dengan kadar tinggi, ketika dimakan maka sejumlah besar belerang diserap tubuh. Jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti infeksi persendian ketika belerang menumpuk di dalam tulang rawan, otot dan saraf; pengapuran dan hernia. Ketika babi dimakan secara teratur, jaringan ikat lunak dari babi menggantikan tulang rawan keras di dalam tubuh. Akibatnya, tulang rawan menjadi tidak mampu menopang bobot badan, yang pada akhirnya membawa pada kelainan persendian.
Ø Babi
mengandung hormon pertumbuhan dalam jumlah berlebih
Hormon pertumbuhan dalam kadar berlebihan yang tercerna melalui daging babi mengakibatkan pembengkakan dan kelainan bentuk jaringan. Hal itu dapat menimbulkan penimbunan lemak secara tiba-tiba dan berlebihan. Orang yang memakan babi pada umumnya memiliki bahaya lebih besar mengidap kegemukan. Hal itu berkemungkinan mendorong pertumbuhan yang tidak wajar pada tulang hidung, rahang, tangan dan kaki. Hal paling berbahaya mengenai hormon pertumbuhan dalam jumlah berlebih adalah bahwa hal ini membuka jalan bagi munculnya kanker.
Hormon pertumbuhan dalam kadar berlebihan yang tercerna melalui daging babi mengakibatkan pembengkakan dan kelainan bentuk jaringan. Hal itu dapat menimbulkan penimbunan lemak secara tiba-tiba dan berlebihan. Orang yang memakan babi pada umumnya memiliki bahaya lebih besar mengidap kegemukan. Hal itu berkemungkinan mendorong pertumbuhan yang tidak wajar pada tulang hidung, rahang, tangan dan kaki. Hal paling berbahaya mengenai hormon pertumbuhan dalam jumlah berlebih adalah bahwa hal ini membuka jalan bagi munculnya kanker.
Ø Memakan
daging babi menyebabkan penyakit kulit
Zat yang dikenal sebagai “histamin” dan “imtidazol” pada daging babi menyebabkan gatal berlebihan. Zat-zat ini juga membuka jalan bagi penyakit-penyakit kulit menular seperti eksem, dermatitis dan neurodermatitis. Zat-zat ini juga meningkatkan bahaya terjangkiti bisul, radang usus buntu, penyakit kantung empedu dan infeksi pembuluh darah nadi. Karenanya, para dokter menyarankan penderita penyakit jantung agar menghindari makan babi.
Zat yang dikenal sebagai “histamin” dan “imtidazol” pada daging babi menyebabkan gatal berlebihan. Zat-zat ini juga membuka jalan bagi penyakit-penyakit kulit menular seperti eksem, dermatitis dan neurodermatitis. Zat-zat ini juga meningkatkan bahaya terjangkiti bisul, radang usus buntu, penyakit kantung empedu dan infeksi pembuluh darah nadi. Karenanya, para dokter menyarankan penderita penyakit jantung agar menghindari makan babi.
Ø Memakan
babi menyebarkan cacing trichina
Cacing-cacing trichina yang dicerna melalui daging babi memasuki peredaran darah melalui lambung dan usus dan menyebar ke seluruh tubuh. Cacing trichina terutama mendiami jaringan otot pada daerah rahang, lidah, leher, tenggorokan dan dada. Cacing ini menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot gerak mengunyah, berbicara dan menelan.
Hal ini juga menimbulkan penyumbatan pembuluh darah balik (vena), meningitis dan infeksi otak. Kasus-kasus parah bahkan dapat berujung pada kematian. Sisi paling berbahaya penyakit ini adalah tidak adanya obat untuk menyembuhkannya. Berjangkitnya wabah cacing trichina telah diamati dari waktu ke waktu di Swedia, Inggris dan Polandia, walaupun sudah dilakukan pengawasan kesehatan hewan.
Cacing-cacing trichina yang dicerna melalui daging babi memasuki peredaran darah melalui lambung dan usus dan menyebar ke seluruh tubuh. Cacing trichina terutama mendiami jaringan otot pada daerah rahang, lidah, leher, tenggorokan dan dada. Cacing ini menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot gerak mengunyah, berbicara dan menelan.
Hal ini juga menimbulkan penyumbatan pembuluh darah balik (vena), meningitis dan infeksi otak. Kasus-kasus parah bahkan dapat berujung pada kematian. Sisi paling berbahaya penyakit ini adalah tidak adanya obat untuk menyembuhkannya. Berjangkitnya wabah cacing trichina telah diamati dari waktu ke waktu di Swedia, Inggris dan Polandia, walaupun sudah dilakukan pengawasan kesehatan hewan.
Ø Babi
sangatlah berlemak dan mengandung zat-zat beracun
Babi sangatlah berlemak. Ketika dicerna, lemak tersebut memasuki peredaran darah dan menyebabkan pengerasan pembuluh darah nadi, meningkatkan tekanan darah dan serangan jantung (coronary infarct). Selain itu, babi mengandung suatu racun yang dinamakan “Sutoxin.” Kelenjar getah bening dipaksa bekerja lebih keras untuk mengeluarkan racun ini dari tubuh. Hal ini ditandai dengan membengkaknya kelenjar getah bening, khususnya pada anak-anak. Jika penyakit ini berlanjut, semua kelenjar getah bening akan membengkak, suhu badan naik dan rasa sakit mulai terjadi.
Babi sangatlah berlemak. Ketika dicerna, lemak tersebut memasuki peredaran darah dan menyebabkan pengerasan pembuluh darah nadi, meningkatkan tekanan darah dan serangan jantung (coronary infarct). Selain itu, babi mengandung suatu racun yang dinamakan “Sutoxin.” Kelenjar getah bening dipaksa bekerja lebih keras untuk mengeluarkan racun ini dari tubuh. Hal ini ditandai dengan membengkaknya kelenjar getah bening, khususnya pada anak-anak. Jika penyakit ini berlanjut, semua kelenjar getah bening akan membengkak, suhu badan naik dan rasa sakit mulai terjadi.
BAB III
KASUS DAN PEMECAHAN
KASUS
Salah satu contoh kasusnya adalah terjadi di Desa Adat Medahan, Keramas, yang
terletak di kecamatan Blahbatuh, Gianyar.
Kami membuat suatu Sample pada salah satu keluarga yang kami duga kuat
mengalami kolesterol tinggi yaitu pada keluarga I Made Gerda (63 thn).
Kolesterol tinggi yang dialami oleh tiga orang tua (Nyoman Brati(59 thn),
Ni Made Pijit(68 thn), dan I Made Gerda(63 thn)) dalam suatu keluarga akibat pekerjaan
mereka sebagai penjual makanan yang berbahan dasar babi yang mencirikan warung
mereka di kawasan Gianyar, dimana tidak dapat dipungkiri, untuk memudahkan
mereka agar tidak membuat lauk lagi, mereka mengonsumsi lauk yang mereka jual
tersebut untuk makanan sehari-hari, yaitu daging babi itu sendiri.
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan salah satu dari mereka, yaitu
wawancara dengan Nyoman Brati, beliau mengatakan bahwa kegiatan berdagang
makanan dengan bahan dasar babi ini sudah berlangsung selama delapan tahun,
yang membuat mereka terus menerus makan daging babi, walaupun sesekali diselingi
makanan lain ketika mereka jenuh karena terus menerus makan makanan berbahan
dasar babi.
Dalam satu hari, mereka biasa menggunakan dua ekor babi yang selanjutnya
diolah menjadi hidangan di warung mereka. Mereka pun beternak ayam dan babi peranakan
untuk dijual saat keperluan hari raya Hindu ataupun kegiatan kemanusiaan serta
upacara agama untuk memenuhi pesanan dari pelanggan mereka.
Dari hasil
wawancara kami tentang riwayat tekanan darah mereka selama ini dan pemeriksaan
tekanan darah untuk menunjang keaslian data, maka kami dapat menyimpulkan bahwa
mereka mengalami hipertensi, yang merupakan salah satu tanda bahwa mereka sudah
mengidap kolesterol tinggi.
PEMECAHAN
Secara
teoritis daging babi merupakan bahan makanan yang bersifat aterogenik.
Kandungan lemak dan kolesterol dagingnya dapat meningkatkan kadar lemak darah
yang berakibat kepada aterosklerosis (Katsuda etal., 2000, Alpert,
2001). Namun demikian, di sisi yang lain kandungan lemak dan kolesterol daging
babi dapat diturunkan dengan memanipulasi makanan yang diberikan kepada babi
(Sudana, 1999, Katsuda etal., 2000).
Jenis
babi yang digunakan untuk babi guling yang seharusnya adalah jenis babi lokal
dengan berat pada umumnya berkisar antara 7 - 25 kg. Babi jenis ini biasanya
mendapat makanan sisa rumah tangga, dedak dan kangkung yang tidak terukur
jumlah dan komposisinya, sehingga
sulit untuk memperkirakan bagaimana kandungan lemak dagingnya. Jenis babi yang
digunakan sekarang, terutama untuk keperluan komersial adalah jenis babi Landrace
dengan berat dapat mencapai 90 kg. Di dalam penyajian makanan babi guling
ini, daging babi dimakan sebagai lauk, di samping nasi dan sayur yang biasanya
berbentuk lawar yang juga berisi daging dan lemak babi. Daging babi yang
disajikan dicampur dengan lemaknya dan sedikit kulit, baru kemudian dituangkan
bumbu di atasnya. Bumbu babi guling dibuat dari campuran berbagai bahan yang
berasal dari umbi-umbian (jahe, kunir, lengkuas, kencur, bawang merah, bawang
putih), biji-bijian (ketumbar, merica), buah (lombok, kemiri, pala), bunga
(cengkeh) dan daun-daunan (daun salam, daun belimbing atau daun ubi) (Eiseman,
1998, Suter etal., 1999). Secara teori, mengkonsumsi daging babi dapat
dikategorikan mengkonsumsi makanan yang bersifat aterogenik, walaupun tidak
diketahui kandungan lemak dari babi yang dimakan. Tetapi bila dilihat komponen
bahan yang membentuk bumbu, yang mengandung banyak anti oksidan dan flavonoid,
maka dapat dianggap bahwa bumbu babi guling bersifat ateroprotektif.
Tips
untuk mengurangi dan mengatasi kadar kolesterol akibat konsumsi babi guling
dalam tubuh kita, diantaranya adalah :
·
Diet
Konsumsi makanan yang rendah lemak
dan kolesterol. Misalnya dengan mengkonsumsi susu tanpa lemak dan mengurangi
konsumsi daging. Pilihlah makanan dengan kandungan lemak tak jenuh daripada
kandungan lemak jenuh. Minyak yang digunakan untuk menggoreng secara
berulang-ulang dapat meningkatkan kadar kolesterol, maka ada baiknya Anda
mengurangi konsumsi makanan yang digoreng.
·
Konsumsi makanan berserat
Lebih banyak mengkonsumsi makanan
berserat seperti gandum, kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buah-buahan. Jenis
makanan ini dapat menyerap kolesterol yang ada dalam darah dan mengeluarkannya
dari tubuh.
·
Konsumsi antioksidan
Antioksidan banyak terdapat dalam
buah-buahan seperti jeruk, strawbery, pepaya, wortel, atau labu. Mengkonsumsi
bawang putih secara teratur juga dapat menurunkan kadar kolesterol.
·
Hindari alkohol dan merokok
·
Olahraga
Berolahraga secara teratur sesuai
dengan umur dan kemampuan. Jaga agar berat tubuh Anda tetap ideal.
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, kepala desa, bendesa adat, beserta dinas
peternakan kabupaten Gianyar melakukan penyuluhan serta inovasi-inovasi dalam
penanggulangan masalah tersebut.
Menurut
teori adopsi inovasi dari Rogers ada empat tahap dalam proses pembuatan
keputusan. Adapun tahap-tahap yang dilalui masyarakat Gianyar, yaitu :
1. Tahap
memahami pengetahuan
Pada
tahap ini, dinas peternakan dan dinas kesehatan kabupaten Gianyar hendaknya
memberikan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Gianyar yang
secara umum kurang memiliki pengetahuan tentang kandungan yang terdapat dalam
daging babi, sehingga masyarakat Gianyar bersifat konsumtif tanpa menghiraukan
dampak bagi kesehatan mereka.
2. Tahap
bujukan atau meningkatkan motivasi
Pada
tahap ini, dinas peternakan dan dinas kesehatan perlu memberi motivasi, bujukan
serta rujukan alternative lain untuk mengurangi konsumsi babi guling tersebut.
3. Tahap
pengambilan keputusan
Pada
tahap ini, masyarakat beserta tetua adat
atau perwakilan dari masing-masing desa di Gianyar dibimbing oleh dinas
peternakan dan dinas kesehatan untuk melakukan rapat guna membahas keputusan
yang akan diambil untuk menyikapi peristiwa tingginya angka kolesterol di
kalangan masyarakat Gianyar.
4. Tahap
penguatan
Pada
tahap ini, dinas peternakan dan dinas kesehatan melakukan pengawasan terhadap
peternak babi di kabupaten Gianyar, di samping itu masing-masing bendesa adat
di kabupaten Gianyar agar selalu menghimbau dan mengawasi proses pengolahan
babi guling terutama bila ada upacara manusa yadnya yang diselenggarakan oleh
anggota masyarakt di Gianyar. Hal ini dilakukan agar masyarakat terbiasa
melakukan awig-awig yang telah disepakati bersama.
Mengkonsumsi
babi guling sah-sah saja bagi umat hindu, khususnya di gianyar. Karena ini
merupakan budaya, maka sulit untuk menghapus kebiasaan ini. Jika pun budaya ini
dapat di hapus, maka ini sangatlah menyalahi aturan-aturan serta norma-norma
yang berlaku dalam suatu masyarakat yang bersifat turun temurun dari leluhur
masyarakat setempat. Untuk itu, solusi alternatifnya adalah mengkonsumsi babi
guling dengan higenis, menambahkan berbagai rempah-rempah dalam bumbunya untuk
menstabilkan/ menyeimbangkan efek negative dan efek positif dari penkonsumsian
itu sendiri. Selain itu, alternative lainnya adalah, mengurangi(bukan
menghilangkan) bahan dasar babi guling dalam pembuatan/ penyajian makanan,
dengan menggantinya dengan daging yang jauh lebih sehat, misalnya daging ayam
atau daging kambing. Tidak mudah memang, namun solusi ini setidaknya dapat
mengurangi angka kolesterol, khususnya di Gianyar.
BAB IV
KESIMPULAN
Secara
teori, mengkonsumsi daging babi dapat dikategorikan mengkonsumsi makanan yang
bersifat aterogenik, walaupun tidak diketahui kandungan lemak dari babi yang
dimakan. Tetapi bila dilihat komponen bahan yang membentuk bumbu, yang
mengandung banyak anti oksidan dan flavonoid, maka dapat dianggap bahwa
bumbu babi guling bersifat ateroprotektif. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Omoigui (2007), bahwa gabungan flavonoid, polyphenol maupun
terpenoid yang ada dalam bumbu babi guling dapat menghambat proses kejadian
aterosklerosis.
Ketidakjelasan status babi guling
sebagai makanan yang bersifat aterogenik atau makanan yang bersifat
ateroprotektif inilah yang seringkali membuat bingung para konsumen, namun dari
hasil penelitian, orang-orang yang sering mengonsumsi makanan babi guling
seperti di daerah Giaanyar, Bali menunjukkan angka kolesterol tinggi.
Untuk itu, perlu tindakan preventif
maupun represif guna mengurangi angka kolesterol di bali, khususnya di Gianyar.
Karena mengonsumsi makanan babi guling ini merupakan suatu budaya dari turun
temurun yang sangat sulit untuk dihapus dalam tradisi masyarakat, khususnya di
daerah Gianyar, Bali maka solusi alternatifnya adalah pemerintah hendaknya
lebih meningkatkan dan mengadakan kegiatan rutin dalam pengawasan pedagang
maupun peternak babi, untuk melakukan sidak dan evaluasi serta penyuluhan
,untuk pencegahan penyakit yang sering di alami oleh ternak babi dan ke
hiegenisan babi guling bagi pedagang babi guling tersebut.
Di samping itu, masyarakat juga
memiliki andil yang sangat besar dalam pengolahan makanan yang berbahan dasar
babi dalam suatu kegiatan kemanusiaan ataupun keagamaan. Mulai dari kebersihan,
kehigenisan, dan kesehatan babi sebelum diolah sangat perlu untuk di periksa
sebelum dikonsumsi. Selain itu, bagi masyarakat yang memang gemar memakan
makanan babi guling, perlu mengimbanginya dengan makanan yng sehat dan
berserat, misalnya imbangi dengan makan buah-buahan dan sayur-sayuran, dengan
porsi babi guling secukupnya saja.
Masyarakat hendaknya selalu menjaga
kebudayaan yang merupakan cirri khas serta identitas dari suatu masyarakat.
Untuk itu, masyarakat perlu menjaga serta melestarikannya. Namun disamping
itu, masyarakat diharapkan mampu memilah
aspek-aspek kebudayaan yang bersifat negative bagi perilaku kesehatan
masyarakat itu sendiri. Khusus untuk kebudayaan babi guling, masyarakat
hendaknya mampu memilih serta mengurangi perilaku yang beresiko terhadap
kesehatan. Masyarakat juga wajib menjaga perilaku yang sehat baik dalam menjaga
kebersihan diri sendiri, lingkungan maupun ternak mereka terutama ternak babi.
Yang secara umum merupakan hewan yang banyak diternakan untuk sarana upacara
dan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat.
DAFTRA
PUSTAKA
http://baliadane.blogspot.com/2008/07/budaya-makanan_6157.html (diunduh pada 3 April 2012)
http://yuudi.blogspot.com/2011/05/teori-keperawatan-madeleine-leininger.html (diunduh pada 3 April 2012)
http://www.scribd.com/doc/31082036/Kebudayaan-Makan-Babi -Masyarakat-Hindu- Serta- Hubungannya-Dengan-Perilaku-Masyarakat
(diunduh pada 3 April 2012)
http://damuhantara.blogspot.com/2011/05/menukar-anugrah-dengan-babi-guling.html (diunduh pada 3 April 2012)
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/61097581_1693-931X.pdf (diunduh pada 3 April 2012)
http://www.scribd.com/perpustakaangizi/d/53050271-Abstyrak-KTI-2008 (diunduh pada 3 April 2012)
No comments:
Post a Comment