WHO AM I?

I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA POLTEKKES KEMENKES DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN

Thursday, June 21, 2012

HUBUNGAN BUDAYA KEBERSIHAN DENGAN DHF

Juniartha Semara Putra

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        KEBUDAYAAN MASYARAKAT KOTA DENPASAR
Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai akhir hidupnya. Hal ini membutuhkan daya dukung lingkungan untuk kelangsungan hidupnya.  Masalah lingkungan hidup sebenarnya sudah ada sejak dahulu, masalah lingkungan hidup bukanlah masalah yang hanya dimiliki atau dihadapi oleh negara-negara maju ataupun negara-negara miskin, tapi masalah lingkungan hidup adalah sudah merupakan masalah dunia dan masalah kita semua.
Masalah lingkungan hidup merupakan kenyataan yang harus dihadapi, kegiatan pembangunan terutama di bidang industri yang banyak menimbulkan dampak negatif merugikan masyarakat. Masalah lingkungan hidup adalah merupakan masalah yang komplek dan harus diselesaikan dengan berbagai pendekatan multidisipliner.
Keadaan ini ternyata menyebabkan kita berpikir bahwa pengetahuan tentang hubungan antara jenis lingkungan ini sangat penting agar dapat menanggulangi permasalahan lingkungan secara terpadu dan tuntas. Pengetahuan tentang hubungan antara jenis lingkungan sangat penting agar dapat menanggulangi permasalahan lingkungan secara tuntas. Dewasa ini lingkungan hidup sedang menjadi perhatian utama masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia umumnya.
Meningkatnya perhatian masyarakat mulai menyadari akibat-akibat yang ditimbulkan dan kerusakan lingkungan hidup. Sebagai contoh apabila ada penumpukan sampah di kota maka permasalahan ini diselesaikan dengan cara mengangkut dan membuangnya ke lembah yang jauh dari pusat kota, maka hal ini tidak memecahkan permasalahan melainkan menimbulkan permasalahan seperti pencemaran air tanah, udara, bertambahnya jumlah lalat, tikus dan bau yang merusak, pemandangan yang tidak mengenakan. Akibatnya menderita interaksi antara lingkungan dan manusia yang akhirnya menderita kesehatan.
Industrialisasi merupakan conditio sine quanon keberhasilan pembangunan untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi, akan tetapi industrialisasi juga mengandung risiko lingkungan. Oleh karena itu munculnya aktivitas industri disuatu kawasan mengundang kritik dan sorotan masyarakat. Yang dipermasalahkan adalah dampak negatif limbahnya yang diantisipasikan mengganggu kesehatan lingkungan.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia dan sering menimbulkan suatu kejadian luar biasa dengan kematian yang besar.Di Indonesia nyamuk penular penyakit DBD yang penting adalah Aedes aegypti. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Denpasar pada tahun 2006 kasus demam berdarah dengue di wilayah kerja puskesmas I Denpasar selatan paling tinggi dibandingkan dengan wilayah kerja puskesmas lain di Kota Denpasar yaitu puskesmas I Denpasar Selatan sebanyak 330 orang, puskesmas II Denpasar Selatan sebanyak 253 orang, puskesmas III Denpasar Selatan sebanyak 186 orang, puskesmas I Denpasar Timur sebanyak 320 orang, puskesmas II Denpasar Timur sebanyak 241 orang, puskesmas I Denpasar Utara sebanyak 289 orang, puskesmas II Denpasar Utara sebanyak 290 orang dan puskesmas III Denpasar Utara sebanyak 206 orang. Tempat potensial untuk perindukan nyamuk Aedes aegypti adalah tempat Penampungan Air (TPA) yang digunakan sehari-hari, yaitu drum, bak mandi, bak WC, gentong, ember dan lain-lain. Tempat perindukan lainnya yang non TPA adalah vas bunga, ban bekas, botol bekas, tempat minum burung, tempat sampah dan lain-lain, serta TPA alamiah, yaitu lubang pohon, daun pisang, pelepah daun keladi, lubang batu, dan lain-lain.
Adanya kontainer di tempat ibadah, pasar dan saluran air hujan yang tidak lancar di sekitar rumah juga merupakan tempat perkembangbiakan yang baik (Soegijanto, 2004).Pengetahuan, sikap, perilaku masyarakat tentang pencegahan pada umumnya masih kurang. Menurut pengertian dasar, perilaku masyarakat bisa dijelaskan merupakan suatu respon seseorang  terhadap stimulus atau rangsangan yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice).Keberadaan jentik yang digambarkan dengan angka bebas jentik pada tahun 2007 pada masing-masing desa di wilayah kerja puskesmas I Denpasar Selatan sebagai berikut Desa Panjer 90,5%, Desa Sesetan 89,51% dan Desa Sidakarya 91,82%. Angka bebas jentik masing – masing desa tersebut masih di bawah 95%. Dengan angka bebas jentik lebih atau samadengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.  Faktor mobilitas penduduk, kepadatan penduduk maupun perilaku masyarakat yang berhubungan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) juga berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa/wabah. Kondisi di atas merupakan alasan utama dijadikan desa/kelurahan di wilayah kerja puskesmas I Denpasar selatan sebagai studi kasus untuk penelitian faktor lingkungan dan prilaku masyarakat yangberhubungan dengan keberadaan jentik DBD di wilayah kerja puskesmas I Denpasar Selatan.




BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1  KONSEP TRANSCULTURE
Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan
pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan
untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya
kepada manusia (Leininger, 2002). Perawatan transkultural adalah berkaitan dengan praktik budaya yang ditujukan untuk pemujaan dan pengobatan rakyat (tradisional). Caring practices adalah kegiatan perlindungan dan bantuan yang berkaitan dengan kesehatan. Menurut Dr.Madelaine Leininger, studi praktik pelayanan kesehatan transkultural adalah berfungsi untuk meningkatkan pemahaman atas tingkah laku manusia dalam kaitan dengan kesehatannya. Dengan mengidentifikasi praktik kesehatan dalam berbagai budaya ( kultur ), baik di masa lampau maupun zaman sekarang akan terkumpul persamaan – persamaan. Leininger berpendapat, kombinasi pengetahuan tentang pola praktik transkultural dengan kemajuan teknologi dapat menyebabkan makin sempurnanya pelayanan perawatan dan kesehatan orang banyak dan berbagai kultur.
Kazier Barabara ( 1983 ) dalam bukuya yang berjudul Fundamentals of Nursing Concept and Procedures mengatakan bahwa konsep keperawatan adalah tindakan perawatan yang merupakan konfigurasi dari ilmu kesehatan dan seni merawat yang meliputi pengetahuan ilmu humanistik, filosofi perawatan, praktik klinis keperawatan, komunikasi dan ilmu sosial. Konsep ini ingin memberikan penegasan bahwa sifat seorang manusia yang menjadi target pelayanan dalam perawatan adalah bersifat bio – psiko – sosial – spiritual. Oleh karenanya, tindakan perawatan harus didasarkan pada tindakan yang komprehensif sekaligus holistik.
Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata sebagai manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma , adat istiadat menjadi acuan perilaku manusia dalam kehidupan dengan yang lain . Pola kehidupan yang berlangsung lama dalam suatu tempat , selalu diulangi , membuat manusia terikat dalam proses yang dijalaninya . Keberlangsungaan terus – menerus dan lama merupakan proses internalisasi dari suatu nilai – nilai yang mempengaruhi pembentukan karakter , pola pikir , pola interaksi perilaku yang kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh pada pendekatan intervensi keperawatan (cultural nursing approach).
·         Peran dan Fungsi Transcultural Nursing
Budaya mempunyai pengaruh luas terhadap kehidupan individu. Oleh sebab itu, penting bagi perawat mengenal latar belakang budaya orang yang dirawat (Pasien). Misalnya kebiasaan hidup sehari – hari, seperti tidur, makan, kebersihan diri, pekerjaan, pergaulan sosial, praktik kesehatan, pendidikan anak, ekspresi perasaan, hubungan kekeluargaaan, peranan masing – masing orang menurut umur. Kultur juga terbagi dalam sub – kultur . Subkultur adalah kelompok pada suatu kultur yang tidak seluruhnya menganut pandangan kelompok kultur yang lebih besar atau memberi makna yang berbeda. Kebiasaan hidup juga saling berkaitan dengan kebiasaan.
Nilai – nilai budaya Timur, menyebabkan sulitnya wanita yang hamil mendapat pelayanan dari dokter pria. Dalam beberapa setting, lebih mudah menerima pelayanan kesehatan pre-natal dari dokter wanita dan bidan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya Timur masih kental dengan hal–hal yang dianggap tabu.
Dalam tahun – tahun terakhir ini, makin ditekankan pentingnya pengaruh kultur terhadap pelayanan perawatan. Perawatan Transkultural merupakan bidang yang relative baru; ia berfokus pada studi perbandingan nilai – nilai dan praktik budaya tentang kesehatan dan hubungannya dengan perawatannya. Leininger ( 1991 ) mengatakan bahwa transcultural nursing merupakan suatu area kajian ilmiah yang berkaitan dengan perbedaan maupun kesamaan nilai – nilai budaya ( nilai budaya yang berbeda ras, yang mempengaruhi pada seseorang perawat saat melakukan asuhan keperawatan kepada pasien.
2.2  KEBUDAYAAN MASYARAKAT KOTA DENPASAR MENGENAI PEMELIHARAAN LINGKUNGAN DAN DHF
1.      Kepadatan Penduduk
Berdasarkan hasil wawancara berbasis kuesioner terhadap kepadatan penduduk di wilayah kerja puskesmas I Denpasar Selatan, dari 20 responden yang diteliti, diketahui 12 responden tinggal di daerah yang tidak padat dan 8 responden tinggal di daerah yang padat. Menurut penelitian, ditemukan  hubungan antara kepadatan penduduk dengan keberadaan vektor DBD.Hasil penelitian inididukung oleh pendapat Antonius (2005) yang menyatakan bahwa daerah yang terjangkit demam berdarah dengue pada umumnya adalah kota/wilayah yang padat penduduk. Rumah-rumah yang saling berdekatan memudahkan penularan penyakit ini, mengingat nyamuk Aedes aegypti jarak terbangnya maksimal 200 meter. Hubungan yang baik antar daerah memudahkan penyebaran penyakit ini ke daerah lain. Tingkat kepadatan penduduk di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan yang terus bertambah  dan transportasi yang semakin baik serta perilaku masyarakat dalam penampungan air sangat rawan berkembangnya jentik nyamuk Aedes aegypti, maka masalah penyakit DBD akan semakin besar bila tidak dilakukan upaya pemberantasan secara intensif. Pencegahan berkembangnya nyamuk Aedes aegypti sebagai penular DBD menjadi mutlak dilakukan
2.      Mobilitas Penduduk
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mobilitas penduduk di wilayah kerja puskesmas I Denpasar Selatan, dari 20 responden yang diteliti, diketahui 16 responden termasuk mobilitas yang tinggi dan 4 responden termasuk mobilitas yang rendah  hasil tersebut menunjukkan ada hubungan antara mobilitas penduduk dengan keberadaan vektor DBD. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Sunaryo (1988) yang menyebutkan bahwa, mobilitas penduduk memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat lainnya dan biasanya penyakit menjalar dimulai dari suatu pusat sumber penularan kemudian mengikuti lalu lintas penduduk. Makin ramai lalu lintas itu, makin besar kemungkinan penyebaran. Menurut Antonius (2005), Penyebaran penyakit DBD secara pesat sejak tahun 1968 di Indonesia dikarenakan oleh virus semakin mudah penyebarannya menulari lebih banyak manusia karena di dukung oleh meningkatnya mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk di wilayah kerja puskesmas I Denpasar Selatan mempunyai mobilitas yang tinggi, hendaknya menjadi perhatian dari masyarakat dan pemerintah dalam hal pemberantasan penyakit DBD. Dengan mobilitas penduduk yang tinggi dan didukung oleh transportasi yang baik memudahkan terjadinya penyebaran  penyakit DBD baik disebabkan oleh terbawa kendaraan maupun karena penduduk yang telah terinfeksi salah satu jenis virus yang ditularkan nyamuk  Aedes aegypti.
3.      Keberadaan Pasar
Berdasarkan hasil observasi di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan, dari 20 responden yang diteliti, diketahui 11 tidak terdapat pasar di sekitar responden dan 9 terdapat pasar di sekitar responden.  Hasil penelitian dari 11 responden yang tidak terdapat pasar di sekitar rumah, diketahui tidak ada jentik DBD sebanyak 7 dan ada jentik DBD sebanyak 4 . Sebanyak 9 responden yang terdapat pasar di sekitar rumah, tidak ada jentik DBD sebanyak 4 dan ada jentik DBD sebanyak 5 . Tidak ada hubungan antara keberadaan pasar di sekitar rumah responden dengan keberadaan vektor DBD karena sanitasi pasar cukup baik, timbunan sampah tidak lebih dari tiga hari, adanya beberapa tong sampah di los-los pasar, pengangkutan sampah di pasar berjalan lancar,  tidak ada saluran air hujan yang tergenang, sedikit ditemukan kaleng-kaleng bekas yang memungkinkan berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Masyarakat harus tetap waspada terhadap penyakit DBD, karena pasar merupakan tempat umum yang apabila sanitasinya kurang baik memungkinkan adanya TPA seperti botol-botol bekas, kaleng-kaleng bekas yang merupakan tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti.
4.      Keberadaan Tempat Sampah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan tempat sampah di sekitar rumah responden di wilayah kerja puskesmas I Denpasar Selatan, dari 20 responden yang diteliti, diketahui 3 responden tidak memiliki tempat sampah dan 17 responden memiliki tempat sampah. Hasil observasi menunjukkan bahwa dari 17 responden yang memiliki tempat sampah, tidak terdapat jentik DBD sebanyak 9 responden  dan ada jentik DBD sebanyak 8 responden . Sebanyak 3 responden yang tidak memiliki tempat sampah, tidak terdapat jentik DBD sebanyak 2 responden  dan ada jentik DBD sebanyak 1 responden . Tidak ada hubungan antara keberadaan tempat sampah di sekitar rumah responden dengan keberadaan vektor DBD karena beberapa tempat sampah telah mempunyai tutup dan tidak ditemukannya buangan kaleng-kaleng bekas atau gelas plastik yang memungkinkan untuk tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti serta proses pengumpulan dan pengangkutan sampah dari rumah tangga yang dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar berjalan lancar. Masyarakat harus tetap memperhatikan kemungkinan tempat sampah sebagai tempat perindukan dari nyamuk Aedes aegypti. Tempat sampah jangan dibiarkan terbuka dan pengangkutan sampah harus berjalan dengan baik.
5.      Keberadaan Tempat Ibadah
Hasil observasi di wilayah kerja Puskesmas I DenpasarSelatan menunjukkan bahwa dari 20 responden yang diteliti, diketahui 11  tidak terdapat tempat ibadah di sekitar responden dan 9 terdapat tempat ibadah di sekitar responden  menurut penelitian ada hubungan antara keberadaan tempat ibadah dengan keberadaan vektor DBD . Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Nuidja et al. (1997) yang menyatakan bahwa di tempat penyimpanan tirta dari jun tandeg yang bahan bakunya dari tanah ditemukan larva Aedesaegypti sejumlah 39 larva, di tempat tirta dari aluminium ditemukan larva Aedes aegypti sejumlah 3 larva dan di tempat tirta dari toples tidak ditemukan larva Aedes aegypti. Hasil penelitian Mochammadi et al. (2002) tentang Keberadaan Densitas Aedes aegypti pada Daerah Endemis Demam Berdarah di Kecamatan Sawahan Kotamadya Surabaya, juga mendukung hasil penelitian ini. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tempat perindukkan nyamuk Aedes Aegypti yang paling banyak berupa bak mandi, kemudian diikuti gentong, bak WC, tempayan, ember dan tempat wudhu. Kontainer yang berada di tempat ibadah menjadi tempat yang potensial untuk berkembangnya vektor DBD. Masyarakat hendaknya memperhatikan dan melakukan kegiatan gotong royong terhadap tempat-tempat ibadah yang berada di sekitar rumah mereka.Memperhatikan tempat penyimpanan tirta yang berpotensi menjadi sarang nyamuk setelah dilaksanakan upacara piodalan di pura. Untuk pura yang mempunyai kolam sebagai taman hendaknya memelihara ikan dalam kolam supaya jentik nyamuk tidak bisa tumbuh.  Dengan terjaganya kebersihan lingkungan tempat ibadah akan bisa mengurangi populasi vektor DBD, sehingga kasus DBD semakin berkurang.
6.      Keberadaan Pot Tanaman Hias
Hasil observasi di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan menunjukkan bahwa dari 20 responden yang diteliti, diketahui 5 tidak terdapat pot tanaman hias di sekitar responden dan 15 terdapat pot tanaman hias di sekitar responden. Menurut hasil penelitian, ada hubungan antara keberadaan pot tanaman hias dengan keberadaan vektor DBD. Hal ini sesuai dengan pendapat Saniambara et al. (2003) yang menyatakan bahwa nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang biak di tempat penampungan air bersih dan yang tidak beralaskan tanah, seperti: bak mandi/wc, drum dan kaleng bekas, tempat minum burung dan pot tanaman hias. Kadang-kadang ditemukan juga di pelepah daun, lubang pagar/bambu dan  lubang tiang bendera. Keberadaan pot tanaman hias di rumah responden khususnya tanaman hias yang menggunakan media air sebagai pertumbuhan pada kenyataannya terdapat genangan air.Genangan air ini  dijadikan sebagai breeding place nyamuk Aedes aegypti. Upaya PSN dengan memperhatikan kebersihan pot tanaman hias hendaknya terus dilakukan oleh masyarakat.Tindakan ini akan dapat mengurangi kemungkinan pot tanaman hias menjadi sarang nyamuk. Dengan upaya PSN yang dilakukan oleh masyarakat diharapkan dapat mengurangi kasus dan penularan penyakit DBD.
7.      Keberadaan Saluran Air Hujan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan saluran air hujan di wilayah kerja puskesmas I Denpasar Selatan, dari 20 responden yang diteliti, diketahui 7 responden tidak terdapat saluran air hujan di sekitar rumah dan 13 responden terdapat saluran air hujan di sekitar rumah. Menurut penelitian ada hubungan antara keberadaan saluran air hujan dengan keberadaan vektor DBD. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Arman (2005) yang menunjukkan adanya hubungan antara keberadaan saluran air hujan dengan endemisitas demam berdarah dengue. Perubahan musim dari kemarau ke penghujan menjadi titik rawan ledakan kasus demam berdarah, apalagi didukung oleh keberadaan saluran air hujan yang dapat menampung genangan air. Kegiatan gotong royong  untuk membersihkan lingkungan terutama saluran got menjadi mutlak dilakukan. Upaya ini dapat menekan populasi nyamuk DBD pada saat musim puncak, sehingga wabah atau kejadian luar biasa penyakit DBD dapat dihindari.
8.      Keberadaan Kontainer
Hasil observasi di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan menunjukkan bahwa dari 20 responden yang diteliti, diketahui 18 terdapat 1 sampai dengan 3 kontainer di sekitar responden dan 2 terdapat 1 kontainer di sekitar responden. Menurut penelitian ada hubungan antara keberadaan kontainer dengan keberadaan vektor DBD. Hasil penelitian sesuai dengan pernyataan Soegijanto (2004) yang menyebutkan bahwa telur, larva, dan pupa nyamuk Aedes aegypti tumbuh dan berkembang di dalam air. Genangan yang disukai sebagai tempat perindukkan nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer atau tempat penampungan air bukan genangan air di tanah.Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Ririh dan Anny (2005) yang menemukan adanya hubungan yang bermakna antara jenis kontainer dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo.Kegiatan PSN dengan menguras dan menyikat TPA seperti bak mandi/wc, drum seminggu sekali, menutup rapat-rapat TPA seperti gentong air/tempayan, mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas  yang dapat menampung air hujan serta mengganti air vas bunga, tempat minum burung seminggu sekali merupakan upaya untuk melakukan PSN DBD. Masyarakat diharapkan rutin melakukan kegiatan tersebut dan pihak pemerintah melakukan pemeriksaan jentik berkala, sehingga pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD dapat berjalan dengan baik.
9.      Tindakan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan responden di wilayah kerja puskesmas I Denpasar Selatan, dari 20 responden yang diteliti, diketahui 10 responden memiliki tindakan yang baik, sebanyak 8 responden memiliki tindakan yang sedang dan 2 responden dengan tindakan yang buruk hal tersebut  menunjukkan bahwa ada hubungan antara tindakan responden dengan keberadaan vektor DBD. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Sumekar (2007) yang menemukan adanya hubungan antara pelaksanaan PSN dengan keberadaan jentik DBD.Mengingat vaksin untuk mencegah penyakit DBD hingga saat ini belum tersedia, maka upaya pemberantasan penyakit DBD harus dititikberatkan pada PSN penularnya (Aedes aegypti), di samping kewaspadaan dini terhadap kasus DBD untuk membatasi angka kesakitan dan kematian. Walaupun penyemprotandengan menggunakan insektisida dilakukan tetapi bila jentik nyamuk masih dibiarkan hidup, makaakan tumbuh nyamuk baru yang selanjutnya dapat menularkan penyakit DBD.
10.  Kebiasaan Menggantung Pakaian
Hasil observasi di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan menunjukkan bahwa dari 20 responden yang diteliti, diketahui 8 responden tidak mempunyai kebiasaan menggantung pakaian dan 12 responden (55,6%) mempunyai kebiasaan menggantung pakaian. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan keberadaan vektor DBD. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Perich et al. (2000) dari hasil penelitiannya di Panama seperti dikutip oleh Widjana (2003), bahwa ada 4 tipe permukaan yang disukai sebagai tempat beristirahat nyamuk yakni permukaan semen, kayu, pakaian, dan logam. Nyamuk jantan lebih banyak dijumpai beristirahat pada permukaan logam, sementara nyamuk betina lebih banyak dijumpai pada permukaan kayu dan pakaian.Hasil penelitian Arman (2005) juga menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan endemisitas demam berdarah dengue. Kegiatan PSN dengan cara 3M ditambah dengan cara menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam kamar merupakan kegiatan yang mesti dilakukan untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehinggapenularan penyakit DBD dapat dicegah dan dikurangi.
2.3 PENYAKIT AKIBAT PEMELIHARAAN LINGKUNGAN DAN DHF
Melihat perilaku masyarakat di kota Denpasar yang kurang memperhatikan lingkungan sekitar, maka hal tersebutlah yang mendorong timbulnya penyakit demam berdarah ( DHF ).

a.      Pengertian DHF
DHF atau dikenal dengan istilah demam berdarah adalah penyakit yang disebabkan oleh Arbovirus ( arthro podborn virus ) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty )
Menurut beberapa ahli pengertian DHF sebagai berikut:
·         Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegepty (Christantie Efendy,1995 ).
·         Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegepty (betina) (Seoparman , 1990).
·         DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegepty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick manson,2001).
·         Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegepty (Seoparman, 1996).
b.      Penyebab DHF
Penyebab DHF adalah Arbovirus ( Arthropodborn Virus ) melalui gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty )
c.       Tanda dan Gejala DHF
Tanda dan gejala penyakit DHF adalah :
·         Meningkatnya suhu tubuh
·         Nyeri pada otot seluruh tubuh
·         Nyeri kepala menyeluruh atau berpusat pada supra orbita, retroorbita
·         Suara serak
·         Batuk
·         Epistaksis
·         Disuria
·         Nafsu makan menurun
·         Muntah
·         Petechie
·         Ekimosis
·         Perdarahan gusi
·         Muntah darah
·         Hematuria massif
·         Melena

d.   Pencegahan Demam Berdarah / Dengue Hemoragic Fever (DHF)
Menghindari atau mencegah berkembangnya nyamuk Aedes Aegepty dengan cara:
1.      Rumah selalu terang
2.      Tidak menggantung pakaian
3.      Bak / tempat penampungan air sering dibersihkan dan diganti airnya minimal 4 hari sekali
4.      Kubur barang – barang bekas yang memungkinkan sebagai tempat terkumpulnya air hujan
5.      Tutup tempat penampungan air
Perencanaan pemulangan dan Pendidikan Kesehatan
1.     Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktifitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak
2.     Jelaskan terapi yang diberikan, dosis, efek samping
3.     Menjelaskan gejala – gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala
4.     Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan

BAB III
KASUS DAN PEMECAHAN

KASUS 1

Sampah, meski klasik, tetap saja menjadi masalah. Sampah tak akan pernah hilang dari kehidupan ini karena hampir tiap aktivitas manusia menghasilkan sampah. Tingginya volume sampah tergantung pada jumlah penduduk dan gaya hidup. Makin modern gaya hidup manusia, makin beragam sampah yang dihasilkan.
Menurut studi PPP-SWM, sumber sampah rumah tangga di Denpasar, berada dalam kisaran 2,75 – 3,25 liter/orang/hari, atau sebesar 2,17 liter/orang/hari berdasarkan SK SNI.S.04-1993-03.¹ Pada tahun 2002, volume sampah rumah tangga di Denpasar mencapai 1.904 m³/hari.² Tahun 2004, volume sampah rumah tangga di Denpasar menembus angka 2.200 m³/hari. Artinya, selama dua tahun, kenaikan volume sampah rumah tangga di Denpasar mencapai 15,5%, berjumlah hingga 550 ton per hari.
Dari jumlah tersebut, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) setempat menangani produksi sampah sebesar 75%. Penanganan sisanya dilakukan secara swakelola (16%), oleh PD Pasar (7%) dan swasta (2%). Sampah yang terkumpul, diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung. Hingga kini, timbunan sampah di TPA Suwung mencapai luas areal 24 hektar. Gunungan sampah itu menimbulkan masalah yang harus segera ditangani.
Pertama, lokasi TPA Suwung yang merupakan perambahan hutan bakau milik negara sudah penuh. Di kabupaten lain, seperti Badung, pemerintah daerah membeli tanah seluas dua hektar yang diperuntukkan sebagai TPA. Sayangnya, TPA di Canggu tersebut penuh dalam waktu singkat. Akhirnya, Badung pun ikut membuang sampah di TPA Suwung. Sesuai aturan “Tri Mandala” di Bali, bagian hilir merupakan tempat membuang yang kotor dan hulu merupakan tempat suci. Tak mungkin jika membuat TPA ke arah Bali Utara, karena merupakan bagian hulu. Sedangkan TPA Suwung, merupakan hilir dan berbatasan dengan laut yang dipercaya sebagai tempat pembersihan dari leteh (sesuatu yang kotor).
Kedua, timbunan sampah di TPA Suwung menghasilkan air lindi (cairan rembesan sampah) yang mencemari laut. Selain itu, tak jarang sampah berterbangan ke laut. Sampah plastik sangat mengganggu biota laut, terutama terumbu karang. Berbagai organisme laut termasuk ikan bisa mati sehingga beberapa jenis ikan bisa lenyap. Padahal, sembilan dari 15 objek wisata di Bali merupakan wisata bahari. Jika hal tersebut terus berlangsung, dapat memberi pengaruh buruk pada pariwisata.
Ketiga, bau tak sedap dari timbunan sampah di TPA Suwung mengganggu warga sekitar. Jika arah angin ke timur, udara di Pulau Serangan yang berdekatan dengan TPA berbau busuk, khas sampah. Sebaliknya, jika angin bertiup ke arah barat, wilayah Pesanggaran dan sekitarnya merasakan hal yang sama. Hal ini memberi dampak buruk bagi kesehatan dalam jangka pendek dan panjang.
Keempat, masyarakat belum memiliki kesadaran dalam pengelolaan sampah yang baik. Pasalnya, sampah yang dibuang tak dipisahkan; sampah organik dan anorganik. Nilai dari material yang masih bermanfaat dapat rusak dan berkurang jika sampah dibuang tercampur. Bahan organik mencemari bahan yang bisa didaur ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan keduanya. Alam juga perlu waktu untuk untuk mencerna sampah. Contohnya, perlu waktu satu bulan untuk mengurai kertas koran atau tisu, perlu waktu satu tahun untuk mengurai tali sumbu dan perlu waktu 20 sampai 40 tahun untuk mengurai kayu yang dicat.

Alternatif Pemecahan
Menyelesaikan masalah sampah perlu tindakan holistik. Sampah tak hanya berhubungan dengan lingkungan, namun juga kesehatan, pendidikan, keadaan sosial dan ekonomi. Ada beberapa alternatif yang bisa memecahkan permasalahan tersebut.
Pertama, alternatif pemecahan dalam jangka pendek. Masalah sampah timbul karena kurangnya kepedulian masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan. Masih banyak anggota masyarakat yang membuang sampah sembarangan, baik di sekolah, kantor atau tempat-tempat umum. Selain itu, masyarakat juga tak terbiasa mengurangi jumlah material yang digunakan. Makin banyak barang yang digunakan, makin banyak sampah yang dihasilkan. Sudah sewajarnya, siapa yang menghasilkan sampah, merekalah yang bertanggung jawab.
Pemerintah harus merumuskan tindakan tegas yang dituangkan dalam peraturan daerah yang memberi sanksi kepada anggota masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Memberlakukan restribusi kebersihan, jangan setengah-setengah. Selama ini, tidak jelas, daerah mana saja yang dikenai restribusi. Besarannya pun flat, tak berdasarkan jumlah sampah yang dibuang. Masyarakat tak akan menghiraukan ajakan mengurangi sampah jika perlakuannya seperti itu. Ibarat biaya listrik, masyarakat akan berusaha meminimalisir penggunaan jika merasakan dampaknya secara langsung. Kalau itu diberlakukan, pastikan telah dibuat sistem yang tepat agar bebas dari KKN.
Tindakan jangka pendek lainnya, menyerahkan sistem penanganan sampah kepada desa pekraman. Di Bali, hal ini sangat efektif. Seperti yang dilakukan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali di Jalan Hang Tuah, Gang Mawar dan Gang Nuri, Sanur. PPLH masuk melalui kegiatan arisan yang diadakan kelompok ibu-ibu di daerah tersebut. Sebagai pilot project yang disponsori AusAID, PPLH memberikan 100 pasang tong sampah kepada 100 kepala keluarga. Tong sampah tersebut terdiri atas dua warna; merah dan biru. Merah untuk sampah organik dan biru untuk sampah anorganik. Masing-masing keluarga diminta memilah sampah berdasarkan jenisnya. Sampah-sampah tersebut diangkut seorang petugas kebersihan yang ditunjuk guna dibawa ke depo yang berada di Gang Nuri.
Sesampainya di depo, sampah anorganik dipisahkan lagi berdasarkan bahan bakunya, seperti kaleng, kaca, plastik, kertas dan logam. Sisanya berupa residu sampah seperti pampers, pembalut wanita dan lainnya, dikirim ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Sedangkan sampah organik, diolah menjadi kompos. Sampah anorganik yang bisa dijual tersebut selama enam bulan telah menghasilkan lebih kurang Rp 2 juta. Kompos yang dibuat, dikembalikan kepada masyarakat. Dalam jangka panjang, masyarakat diberikan pendidikan pemanfaatan lahan sempit dengan menanam tanaman obat sehingga kompos bisa digunakan langsung.
Kondisi ini jika diterapkan di semua desa, akan memberikan banyak manfaat. Pertama, nilai ekonomis. Sampah yang dianggap tak berguna dapat menjadi salah satu sumber dana desa. Kedua, kalau tak dimasukkan kas desa, kegiatan itu bernilai sosial. Desa bisa meminta kelompok pemulung untuk mengurus pengangkutan dari rumah-rumah sampai ke depo. Hasil yang diperoleh, menjadi hak mereka. Ketiga, nilai pendidikan. Masyarakat memperoleh wawasan pentingnya membuang sampah secara benar. Mereka juga bisa merasakan nilai ekonomis dengan pemanfaatan lahan sempit. Dengan menanam cabai, tomat dan tanaman lainnya, mereka tak perlu membeli lagi. Lingkungan pun terjaga.
Jika masyarakat sudah biasa membedakan jenis sampah, pemerintah harus menyiapkan TPS dan truk pengangkut sampah berdasarkan jenis sampah. Pemilahan sampah yang dilakukan masyarakat tak akan banyak artinya tanpa dukungan pemerintah.
Kedua, alternatif pemecahan jangka menengah. Saat ini pemerintah telah berusaha mengatasi masalah sampah di TPA Suwung dengan menerapkan sistem pengelolaan persampahan secara regional (wilayah Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan) dan terpusat dengan aplikasi teknologi pengolahan sampah terpadu (disebut IPST, Instalasi Pengelohan Sampah Terpadu).
Alternatif ini tentu memiliki manfaat. Dari pengolahannya, diharapkan menghasilkan biogas. Biogas ini dimasukkan dulu ke dalam fasilitas gas treatment sebelum menjadi bahan bakar bagi mesin pembangkit listrik. Pada dasar tumpukan sampah lama yang telah mencapai luas areal 24 hektar tersebut dipasang sistem jaringan pipa untuk menangkap gas metan yang dihasilkan dari proses pembusukan tanah. Dalam waktu 10 sampai 20 tahun, sampah tersebut akan membusuk, menyusut dan membaur dengan tanah. Tindakan ini mencegah perambahan hutan bakau dalam jangka panjang dan mencegah pencemaran laut serta polusi udara yang dirasakan masyarakat sekitar. Dari pengolahan sampah baru akan dihasilkan gas metan dan kompos (sebagai produk sampingan) setelah memilah barang-barang yang bisa didaur ulang.
Alternatif ini dapat mengurangi perluasan landfill, meminimalisir dampak dan merehabilitir lahan TPA, memberi peluang kerja bagi masyarakat dan menambah ketersediaan kapasitas listrik di Bali. Hasil produksi pupuk organik digunakan untuk memulihkan kondisi fisik-kimia tanah guna meningkatkan produksi pertanian sekaligus mewujudkan pertanian organik. Meski demikian, sebagai pilot project (mengingat Indonesia belum mempunyai pengalaman dalam sektor ini, khususnya dalam skala kota), efek samping dari teknologi perlu dicermati.
Ketiga, alternatif pemecahan jangka panjang. Jerman memerlukan waktu hingga 25 tahun mendidik warganya menjaga kebersihan dan membuang sampah secara benar. Jepang perlu waktu 50 tahun untuk itu. Edukasi terus menerus harus dilakukan segenap komponen masyarakat dan pemerintah agar tercipta Denpasar yang bersih. Tanpa ada kerja sama yang baik, tujuan itu tak akan pernah terwujud. Gerakan 3R (reduce, reuse dan recycle) harus terus diajarkan dan diterapkan di seluruh wilayah.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik telah menyatakan, menjadikan Bali lokomotif utama pariwisata Indonesia. Turis mancanegara yang datang ke Bali umumnya berasal dari negara maju yang umumnya mereka sangat peduli pada kebersihan lingkungan. Meski Bali memiliki pemandangan yang sangat indah dan kebudayaan yang khas, kebersihan adalah salah satu faktor mutlak yang menyebabkan turis betah tinggal di Bali. Turis mancanegara umumnya sangat peka terhadap soal kebersihan mengingat kebersihan sangat erat terkait dengan kesehatan. Lingkungan yang bersih membawa dampak yang positif terhadap ketenangan, kenyamanan dan keasrian lingkungan. Selain itu, dalam penerapan ISO 1400, untuk memperoleh rekomendasi daerah wisata yang ramah lingkungan, kebersihan dan higienis menjadi syarat mutlak. Jika kebersihan lingkungan tak diperhatikan, sampah bisa menjadi bom kedua bagi Bali. Akhirnya, tak hanya warga Denpasar, masyarakat Bali secara menyeluruh merasakan dampak buruknya. Bahkan, jika pariwisata Bali sebagai lokomotif utamanya merosot, bagaimana dengan “gerbong-gerbong”-nya?
Ternyata, tindakan kecil dari rumah kita, mempengaruhi perekonomian seluruh wilayah Indonesia. Think globally, act locally.

KASUS 2
Pencemaran lingkungan yang mengancam Denpasar mulai dibahas secara
serius. Termasuk limbah mercuri yang diakibatkan sampah medis dan sampah
elektronik, mulai mengancam. Untuk mengantisipasi hal itu, Dinas
Lingkungan Hidup Kota Denpasar mulai bersikap tegas dengan melarang rumah
sakit dan klinik kesehatan membuang limbah medisnya ke TPA Suwung ataupun
tempat pembuangan sampah lainnya.
Kadis Lingkungan Hidup (LH) Kota Denpasar A.A. Bagus Sudharsana yang
ditemui di kantornya, Jumat (6/8) mengatakan dampak limbah
mercuri yang diakibatkan oleh limbah medis dan limbah elektronik lainnya
mulai mengancam warga dan lingkungan. “Limbah ini banyak berasal dari
sampah medis dan sampah elektronik mulai meningkat di Kota Denpasar,”
katanya.
Untuk mengantisipasi hal ini, Dinas LH akan segera mengeluarkan regulasi
baru terkait sampah medis ini. Sudarsana mengatakan saat ini pihaknya
mulai mewajibkan rumah sakit ataupun klinik kesehatan yang ada di
Denpasar untuk membakar limbah medisnya di beberapa insenerator yang ada
di beberapa rumah sakit yang ada. “Yang pasti kami melarang sampah medis
ini dibuang ke TPA karena akan berdampak buruk pada lingkungan nantinya
terutama pada air tanah dan air laut,” ungkapnya ketika ditemui usai
menggelar pertemuan dengan utusan UNEP.
Diakuinya, pihaknya sampai saat ini masih sering menemukan sampah medis
yang dibuang di beberapa lokasi termasuk di TPA Suwung. Padahal jika
dibiarkan sampah seperti jarum suntik, termometer, tensimeter dan sampah
medis lainnya bisa membahayakan warga dan lingkungan. “Untuk rumah sakit
dan klinik kesehatan akan kami masukkan aturan ini dalam UPL dan UKL.
Sehingga nantinya jika masih ada yang melanggar bisa dikenakan sanksi,”
paparnya.
Disebutkannya, saat ini baru ada 3 rumah sakit yaitu RS Sanglah, RS
Wangaya dan RSAD yang sudah melakukan pembakaran sampah medisnya di mesin
insenerator. Sedangkan rumah sakit lainnya akan kami fasilitasi untuk mau
bekerjasama melakukan pembakaran sampah medis ini. “Selain itu kami akan
segera berkonsultasi dengan IDI untuk menerapkan aturan ini,” katanya.
Alternatif Pemecahan
Diharapkan agar setiap Rumah Sakit maupun klinik memperhatikan pengelolaan serta bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah sampah medis, agar bahaya penularan dari sampah medis tersebut dapat dicegah. Selain itu, kerjasama dengan Rumah Sakit yang memiliki incenerator hendaknya dimaksimalkan seefektif mungkin sebagai upaya pemecahan dari masalah yang tengah dihadapi.
Untuk sampah elektronik, sebaiknya di daur ulang menjadi barang yang lebih bermanfaat. Dan apabila para pelaku industry kreatif jeli melihat peluang ini, maka ini merupakan salah satu alternatif terbukanya lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.


BAB III
                                                                  PENUTUP            
3.1  SIMPULAN
1.      Faktor lingkungan yang berhubungan dengan keberadaan vektor DBD di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan adalah : kepadatan penduduk dengan hubungan yang kurang kuat, mobilitas penduduk dengan hubungan yang lemah, keberadaan tempat ibadah dengan hubungan yang kurang kuat, keberadaan pot tanaman hias dengan hubungan yang lemah, keberadaan saluran air hujan, dengan hubungan yang kurang kuat dan keberadaan kontainer, dengan hubungan yang lemah.
2.      Faktor perilaku masyarakat yang berhubungan dengan keberadaan vektor DBD di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan adalah : tindakan dengan hubungan yang cukup kuat dan kebiasaan menggantung pakaian dengan hubungan yang kurang kuat.

3.2       SARAN
Saran yang dapat diberikan kepada masyarakat maupun instansi terkait adalah :
1.      Perlu dilakukan pengawasan terhadap faktor lingkungan yang berhubungan dengan keberadaan vektor DBD di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan.
2.      Perilaku masyarakat tentang hidup sehat dan peduli lingkungan perlu disadarkan kembali dengan mekanisme penyampaian informasi dan pendidikan/penyuluhan tentang penanggulangan penyakit DBD melalui media televisi, radio, media cetak maupun brosur.
3.      Diperlukan tindakan yang bersifat preventif melalui pemakaian kasa dan menghindari kebiasaan mengantung pakaian yang biasanya dijadikan sebagai tempat peristirahatan nyamuk.

DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2010.Pencemaran Lingkungan. Availlable: http://www.google.co.id.Pencemaran Lingkungan.html.(accessed: 24 Maret 2012)
Anggara, Ani. 2009.Macam – macam Pencemaran Lingkungan. Availlable: http://www.anianggara.blogspot.com. macam-macam-pencemaran-lingkungan-upaya.html. (accessed: 24 Maret 2012)
Mauyy, Karis. 2011.Cara Memelihara Lingkungan Buatan.Availlable: http://www.karis-mauyy.wordpress.com.Cara Memelihara Lingkungan Buatan (KLH Series) « karis mauyy.html. (accessed: 25 Maret 2012)
Pemerintah Provinsi Bali. 2008.Laporan Status Lingkungan Hidup Kota Denpasar. Availlable: Laporan-sldh-kota-denpasar-2008.pdf. (accessed: 25 Maret 2012)

No comments: