Juniartha Semara Putra
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
KEBUDAYAAN
MASYARAKAT KOTA DENPASAR
Interaksi manusia dengan
lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak
manusia itu dilahirkan sampai akhir hidupnya. Hal ini membutuhkan daya dukung
lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Masalah
lingkungan hidup sebenarnya sudah ada sejak dahulu, masalah lingkungan hidup
bukanlah masalah yang hanya dimiliki atau dihadapi oleh negara-negara maju
ataupun negara-negara miskin, tapi masalah lingkungan hidup adalah sudah merupakan
masalah dunia dan masalah kita semua.
Masalah lingkungan hidup
merupakan kenyataan yang harus dihadapi, kegiatan pembangunan terutama di
bidang industri yang banyak menimbulkan dampak negatif merugikan masyarakat.
Masalah lingkungan hidup adalah merupakan masalah yang komplek dan harus
diselesaikan dengan berbagai pendekatan multidisipliner.
Keadaan ini ternyata
menyebabkan kita berpikir bahwa pengetahuan tentang hubungan antara jenis
lingkungan ini sangat penting agar dapat menanggulangi permasalahan lingkungan
secara terpadu dan tuntas. Pengetahuan tentang hubungan antara jenis lingkungan
sangat penting agar dapat menanggulangi permasalahan lingkungan secara tuntas.
Dewasa ini lingkungan hidup sedang menjadi perhatian utama masyarakat Indonesia
dan masyarakat dunia umumnya.
Meningkatnya perhatian
masyarakat mulai menyadari akibat-akibat yang ditimbulkan dan kerusakan
lingkungan hidup. Sebagai contoh apabila ada penumpukan sampah di kota maka
permasalahan ini diselesaikan dengan cara mengangkut dan membuangnya ke lembah
yang jauh dari pusat kota, maka hal ini tidak memecahkan permasalahan melainkan
menimbulkan permasalahan seperti pencemaran air tanah, udara, bertambahnya
jumlah lalat, tikus dan bau yang merusak, pemandangan yang tidak mengenakan. Akibatnya
menderita interaksi antara lingkungan dan manusia yang akhirnya menderita
kesehatan.
Industrialisasi merupakan
conditio sine quanon keberhasilan pembangunan untuk memacu laju pertumbuhan
ekonomi, akan tetapi industrialisasi juga mengandung risiko lingkungan. Oleh
karena itu munculnya aktivitas industri disuatu kawasan mengundang kritik dan
sorotan masyarakat. Yang dipermasalahkan adalah dampak negatif limbahnya yang
diantisipasikan mengganggu kesehatan lingkungan.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD)
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia dan
sering menimbulkan suatu kejadian luar biasa dengan kematian yang besar.Di
Indonesia nyamuk penular penyakit DBD yang penting adalah Aedes aegypti.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Denpasar pada tahun 2006 kasus demam
berdarah dengue di wilayah kerja puskesmas I Denpasar selatan paling tinggi
dibandingkan dengan wilayah kerja puskesmas lain di Kota Denpasar yaitu
puskesmas I Denpasar Selatan sebanyak 330 orang, puskesmas II Denpasar Selatan
sebanyak 253 orang, puskesmas III Denpasar Selatan sebanyak 186 orang,
puskesmas I Denpasar Timur sebanyak 320 orang, puskesmas II Denpasar Timur
sebanyak 241 orang, puskesmas I Denpasar Utara sebanyak 289 orang, puskesmas II
Denpasar Utara sebanyak 290 orang dan puskesmas III Denpasar Utara sebanyak 206
orang. Tempat potensial untuk perindukan nyamuk Aedes aegypti adalah tempat
Penampungan Air (TPA) yang digunakan sehari-hari, yaitu drum, bak mandi, bak
WC, gentong, ember dan lain-lain. Tempat perindukan lainnya yang non TPA adalah
vas bunga, ban bekas, botol bekas, tempat minum burung, tempat sampah dan
lain-lain, serta TPA alamiah, yaitu lubang pohon, daun pisang, pelepah daun
keladi, lubang batu, dan lain-lain.
Adanya kontainer di tempat ibadah, pasar
dan saluran air hujan yang tidak lancar di sekitar rumah juga merupakan tempat perkembangbiakan
yang baik (Soegijanto, 2004).Pengetahuan, sikap, perilaku masyarakat tentang pencegahan
pada umumnya masih kurang. Menurut pengertian dasar, perilaku masyarakat bisa
dijelaskan merupakan suatu respon seseorang
terhadap stimulus atau rangsangan yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Respon atau
reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap), maupun
bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice).Keberadaan jentik yang
digambarkan dengan angka bebas jentik pada tahun 2007 pada masing-masing desa
di wilayah kerja puskesmas I Denpasar Selatan sebagai berikut Desa Panjer
90,5%, Desa Sesetan 89,51% dan Desa Sidakarya 91,82%. Angka bebas jentik masing
– masing desa tersebut masih di bawah 95%. Dengan angka bebas jentik lebih atau
samadengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Faktor mobilitas penduduk, kepadatan penduduk
maupun perilaku masyarakat yang berhubungan dengan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) juga berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa/wabah. Kondisi di atas merupakan
alasan utama dijadikan desa/kelurahan di wilayah kerja puskesmas I Denpasar selatan
sebagai studi kasus untuk penelitian faktor lingkungan dan prilaku masyarakat
yangberhubungan dengan keberadaan jentik DBD di wilayah kerja puskesmas I
Denpasar Selatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 KONSEP TRANSCULTURE
Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya
pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan
pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan
untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya
kepada manusia (Leininger, 2002). Perawatan transkultural adalah berkaitan dengan praktik budaya yang ditujukan untuk pemujaan dan pengobatan rakyat (tradisional). Caring practices adalah kegiatan perlindungan dan bantuan yang berkaitan dengan kesehatan. Menurut Dr.Madelaine Leininger, studi praktik pelayanan kesehatan transkultural adalah berfungsi untuk meningkatkan pemahaman atas tingkah laku manusia dalam kaitan dengan kesehatannya. Dengan mengidentifikasi praktik kesehatan dalam berbagai budaya ( kultur ), baik di masa lampau maupun zaman sekarang akan terkumpul persamaan – persamaan. Leininger berpendapat, kombinasi pengetahuan tentang pola praktik transkultural dengan kemajuan teknologi dapat menyebabkan makin sempurnanya pelayanan perawatan dan kesehatan orang banyak dan berbagai kultur.
proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan
pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan
untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya
kepada manusia (Leininger, 2002). Perawatan transkultural adalah berkaitan dengan praktik budaya yang ditujukan untuk pemujaan dan pengobatan rakyat (tradisional). Caring practices adalah kegiatan perlindungan dan bantuan yang berkaitan dengan kesehatan. Menurut Dr.Madelaine Leininger, studi praktik pelayanan kesehatan transkultural adalah berfungsi untuk meningkatkan pemahaman atas tingkah laku manusia dalam kaitan dengan kesehatannya. Dengan mengidentifikasi praktik kesehatan dalam berbagai budaya ( kultur ), baik di masa lampau maupun zaman sekarang akan terkumpul persamaan – persamaan. Leininger berpendapat, kombinasi pengetahuan tentang pola praktik transkultural dengan kemajuan teknologi dapat menyebabkan makin sempurnanya pelayanan perawatan dan kesehatan orang banyak dan berbagai kultur.
Kazier Barabara ( 1983 ) dalam bukuya yang berjudul Fundamentals of
Nursing Concept and Procedures mengatakan bahwa konsep keperawatan adalah
tindakan perawatan yang merupakan konfigurasi dari ilmu kesehatan dan seni
merawat yang meliputi pengetahuan ilmu humanistik, filosofi perawatan, praktik
klinis keperawatan, komunikasi dan ilmu sosial. Konsep ini ingin memberikan penegasan
bahwa sifat seorang manusia yang menjadi target pelayanan dalam perawatan
adalah bersifat bio – psiko – sosial – spiritual. Oleh karenanya, tindakan
perawatan harus didasarkan pada tindakan yang komprehensif sekaligus holistik.
Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang
nyata sebagai manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma , adat
istiadat menjadi acuan perilaku manusia dalam kehidupan dengan yang lain . Pola
kehidupan yang berlangsung lama dalam suatu tempat , selalu diulangi , membuat
manusia terikat dalam proses yang dijalaninya . Keberlangsungaan terus –
menerus dan lama merupakan proses internalisasi dari suatu nilai – nilai yang
mempengaruhi pembentukan karakter , pola pikir , pola interaksi perilaku yang
kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh pada pendekatan intervensi keperawatan
(cultural nursing approach).
·
Peran dan
Fungsi Transcultural Nursing
Budaya mempunyai pengaruh luas terhadap kehidupan individu. Oleh sebab
itu, penting bagi perawat mengenal latar belakang budaya orang yang dirawat
(Pasien). Misalnya kebiasaan hidup sehari – hari, seperti tidur, makan,
kebersihan diri, pekerjaan, pergaulan sosial, praktik kesehatan, pendidikan
anak, ekspresi perasaan, hubungan kekeluargaaan, peranan masing – masing orang
menurut umur. Kultur juga terbagi dalam sub – kultur . Subkultur adalah
kelompok pada suatu kultur yang tidak seluruhnya menganut pandangan kelompok
kultur yang lebih besar atau memberi makna yang berbeda. Kebiasaan hidup juga
saling berkaitan dengan kebiasaan.
Nilai – nilai budaya Timur, menyebabkan sulitnya wanita yang hamil
mendapat pelayanan dari dokter pria. Dalam beberapa setting, lebih mudah
menerima pelayanan kesehatan pre-natal dari dokter wanita dan bidan. Hal ini
menunjukkan bahwa budaya Timur masih kental dengan hal–hal yang dianggap tabu.
Dalam tahun – tahun terakhir ini, makin ditekankan pentingnya pengaruh
kultur terhadap pelayanan perawatan. Perawatan Transkultural merupakan bidang
yang relative baru; ia berfokus pada studi perbandingan nilai – nilai dan
praktik budaya tentang kesehatan dan hubungannya dengan perawatannya. Leininger
( 1991 ) mengatakan bahwa transcultural nursing merupakan suatu area kajian
ilmiah yang berkaitan dengan perbedaan maupun kesamaan nilai – nilai budaya (
nilai budaya yang berbeda ras, yang mempengaruhi pada seseorang perawat saat
melakukan asuhan keperawatan kepada pasien.
2.2 KEBUDAYAAN MASYARAKAT KOTA DENPASAR
MENGENAI PEMELIHARAAN LINGKUNGAN DAN DHF
1.
Kepadatan
Penduduk
Berdasarkan hasil wawancara berbasis
kuesioner terhadap kepadatan penduduk di wilayah kerja puskesmas I Denpasar
Selatan, dari 20 responden yang diteliti, diketahui 12 responden tinggal di daerah
yang tidak padat dan 8 responden tinggal di daerah yang padat. Menurut
penelitian, ditemukan hubungan antara kepadatan
penduduk dengan keberadaan vektor DBD.Hasil penelitian inididukung oleh
pendapat Antonius (2005) yang menyatakan bahwa daerah yang terjangkit demam
berdarah dengue pada umumnya adalah kota/wilayah yang padat penduduk. Rumah-rumah
yang saling berdekatan memudahkan penularan penyakit ini, mengingat nyamuk
Aedes aegypti jarak terbangnya maksimal 200 meter. Hubungan yang baik antar
daerah memudahkan penyebaran penyakit ini ke daerah lain. Tingkat kepadatan
penduduk di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan yang terus
bertambah dan transportasi yang semakin
baik serta perilaku masyarakat dalam penampungan air sangat rawan berkembangnya
jentik nyamuk Aedes aegypti, maka masalah penyakit DBD akan semakin besar bila
tidak dilakukan upaya pemberantasan secara intensif. Pencegahan berkembangnya
nyamuk Aedes aegypti sebagai penular DBD menjadi mutlak dilakukan
2.
Mobilitas
Penduduk
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mobilitas penduduk di wilayah kerja puskesmas I Denpasar Selatan, dari 20 responden
yang diteliti, diketahui 16 responden termasuk mobilitas yang tinggi dan 4
responden termasuk mobilitas yang rendah
hasil tersebut menunjukkan ada hubungan antara mobilitas penduduk dengan
keberadaan vektor DBD. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Sunaryo (1988)
yang menyebutkan bahwa, mobilitas penduduk memudahkan penularan dari satu
tempat ke tempat lainnya dan biasanya penyakit menjalar dimulai dari suatu
pusat sumber penularan kemudian mengikuti lalu lintas penduduk. Makin ramai
lalu lintas itu, makin besar kemungkinan penyebaran. Menurut Antonius (2005),
Penyebaran penyakit DBD secara pesat sejak tahun 1968 di Indonesia dikarenakan oleh
virus semakin mudah penyebarannya menulari lebih banyak manusia karena di
dukung oleh meningkatnya mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk di wilayah
kerja puskesmas I Denpasar Selatan mempunyai mobilitas yang tinggi, hendaknya menjadi
perhatian dari masyarakat dan pemerintah dalam hal pemberantasan penyakit DBD. Dengan
mobilitas penduduk yang tinggi dan didukung oleh transportasi yang baik
memudahkan terjadinya penyebaran penyakit
DBD baik disebabkan oleh terbawa kendaraan maupun karena penduduk yang telah terinfeksi
salah satu jenis virus yang ditularkan nyamuk
Aedes aegypti.
3.
Keberadaan
Pasar
Berdasarkan hasil observasi di wilayah
kerja Puskesmas I Denpasar Selatan, dari 20 responden yang diteliti, diketahui 11
tidak terdapat pasar di sekitar responden dan 9 terdapat pasar di sekitar
responden. Hasil penelitian dari 11
responden yang tidak terdapat pasar di sekitar rumah, diketahui tidak ada
jentik DBD sebanyak 7 dan ada jentik DBD sebanyak 4 . Sebanyak 9 responden yang
terdapat pasar di sekitar rumah, tidak ada jentik DBD sebanyak 4 dan ada jentik
DBD sebanyak 5 . Tidak ada hubungan antara keberadaan pasar di sekitar rumah
responden dengan keberadaan vektor DBD karena sanitasi pasar cukup baik,
timbunan sampah tidak lebih dari tiga hari, adanya beberapa tong sampah di
los-los pasar, pengangkutan sampah di pasar berjalan lancar, tidak ada saluran air hujan yang tergenang,
sedikit ditemukan kaleng-kaleng bekas yang memungkinkan berkembangbiaknya
nyamuk Aedes aegypti. Masyarakat harus tetap waspada terhadap penyakit DBD,
karena pasar merupakan tempat umum yang apabila sanitasinya kurang baik
memungkinkan adanya TPA seperti botol-botol bekas, kaleng-kaleng bekas yang merupakan
tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti.
4.
Keberadaan
Tempat Sampah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
keberadaan tempat sampah di sekitar rumah responden di wilayah kerja puskesmas
I Denpasar Selatan, dari 20 responden yang diteliti, diketahui 3 responden tidak
memiliki tempat sampah dan 17 responden memiliki tempat sampah. Hasil observasi
menunjukkan bahwa dari 17 responden yang memiliki tempat sampah, tidak terdapat
jentik DBD sebanyak 9 responden dan ada
jentik DBD sebanyak 8 responden . Sebanyak 3 responden yang tidak memiliki
tempat sampah, tidak terdapat jentik DBD sebanyak 2 responden dan ada jentik DBD sebanyak 1 responden .
Tidak ada hubungan antara keberadaan tempat sampah di sekitar rumah responden
dengan keberadaan vektor DBD karena beberapa tempat sampah telah mempunyai
tutup dan tidak ditemukannya buangan kaleng-kaleng bekas atau gelas plastik
yang memungkinkan untuk tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti serta proses
pengumpulan dan pengangkutan sampah dari rumah tangga yang dilaksanakan oleh
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar berjalan lancar. Masyarakat harus
tetap memperhatikan kemungkinan tempat sampah sebagai tempat perindukan dari nyamuk
Aedes aegypti. Tempat sampah jangan dibiarkan terbuka dan pengangkutan sampah
harus berjalan dengan baik.
5.
Keberadaan
Tempat Ibadah
Hasil observasi di wilayah kerja
Puskesmas I DenpasarSelatan menunjukkan bahwa dari 20 responden yang diteliti, diketahui
11 tidak terdapat tempat ibadah di
sekitar responden dan 9 terdapat tempat ibadah di sekitar responden menurut penelitian ada hubungan antara
keberadaan tempat ibadah dengan keberadaan vektor DBD . Hasil penelitian ini
didukung oleh hasil penelitian Nuidja et al. (1997) yang menyatakan bahwa di
tempat penyimpanan tirta dari jun tandeg yang bahan bakunya dari tanah
ditemukan larva Aedesaegypti sejumlah 39 larva, di tempat tirta dari aluminium ditemukan
larva Aedes aegypti sejumlah 3 larva dan di tempat tirta dari toples tidak
ditemukan larva Aedes aegypti. Hasil penelitian Mochammadi et al. (2002)
tentang Keberadaan Densitas Aedes aegypti pada Daerah Endemis Demam Berdarah di
Kecamatan Sawahan Kotamadya Surabaya, juga mendukung hasil penelitian ini.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tempat perindukkan nyamuk Aedes
Aegypti yang paling banyak berupa bak mandi, kemudian diikuti gentong, bak WC, tempayan,
ember dan tempat wudhu. Kontainer yang berada di tempat ibadah menjadi tempat yang
potensial untuk berkembangnya vektor DBD. Masyarakat hendaknya memperhatikan
dan melakukan kegiatan gotong royong terhadap tempat-tempat ibadah yang berada
di sekitar rumah mereka.Memperhatikan tempat penyimpanan tirta yang berpotensi
menjadi sarang nyamuk setelah dilaksanakan upacara piodalan di pura. Untuk pura
yang mempunyai kolam sebagai taman hendaknya memelihara ikan dalam kolam supaya
jentik nyamuk tidak bisa tumbuh. Dengan
terjaganya kebersihan lingkungan tempat ibadah akan bisa mengurangi populasi
vektor DBD, sehingga kasus DBD semakin berkurang.
6.
Keberadaan
Pot Tanaman Hias
Hasil observasi di wilayah kerja
Puskesmas I Denpasar Selatan menunjukkan bahwa dari 20 responden yang diteliti,
diketahui 5 tidak terdapat pot tanaman hias di sekitar responden dan 15 terdapat
pot tanaman hias di sekitar responden. Menurut hasil penelitian, ada hubungan
antara keberadaan pot tanaman hias dengan keberadaan vektor DBD. Hal ini sesuai
dengan pendapat Saniambara et al. (2003) yang menyatakan bahwa nyamuk Aedes
aegypti dapat berkembang biak di tempat penampungan air bersih dan yang tidak
beralaskan tanah, seperti: bak mandi/wc, drum dan kaleng bekas, tempat minum
burung dan pot tanaman hias. Kadang-kadang ditemukan juga di pelepah daun,
lubang pagar/bambu dan lubang tiang
bendera. Keberadaan pot tanaman hias di rumah responden khususnya tanaman hias
yang menggunakan media air sebagai pertumbuhan pada kenyataannya terdapat
genangan air.Genangan air ini dijadikan
sebagai breeding place nyamuk Aedes aegypti. Upaya PSN dengan memperhatikan kebersihan
pot tanaman hias hendaknya terus dilakukan oleh masyarakat.Tindakan ini akan
dapat mengurangi kemungkinan pot tanaman hias menjadi sarang nyamuk. Dengan
upaya PSN yang dilakukan oleh masyarakat diharapkan dapat mengurangi kasus dan penularan
penyakit DBD.
7.
Keberadaan
Saluran Air Hujan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
keberadaan saluran air hujan di wilayah kerja puskesmas I Denpasar Selatan, dari
20 responden yang diteliti, diketahui 7 responden tidak terdapat saluran air
hujan di sekitar rumah dan 13 responden terdapat saluran air hujan di sekitar
rumah. Menurut penelitian ada hubungan antara keberadaan saluran air hujan
dengan keberadaan vektor DBD. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil
penelitian Arman (2005) yang menunjukkan adanya hubungan antara keberadaan
saluran air hujan dengan endemisitas demam berdarah dengue. Perubahan musim dari
kemarau ke penghujan menjadi titik rawan ledakan kasus demam berdarah, apalagi
didukung oleh keberadaan saluran air hujan yang dapat menampung genangan air. Kegiatan
gotong royong untuk membersihkan lingkungan
terutama saluran got menjadi mutlak dilakukan. Upaya ini dapat menekan populasi
nyamuk DBD pada saat musim puncak, sehingga wabah atau kejadian luar biasa
penyakit DBD dapat dihindari.
8.
Keberadaan
Kontainer
Hasil observasi di wilayah kerja
Puskesmas I Denpasar Selatan menunjukkan bahwa dari 20 responden yang diteliti,
diketahui 18 terdapat 1 sampai dengan 3 kontainer di sekitar responden dan 2 terdapat
1 kontainer di sekitar responden. Menurut penelitian ada hubungan antara keberadaan
kontainer dengan keberadaan vektor DBD. Hasil penelitian sesuai dengan
pernyataan Soegijanto (2004) yang menyebutkan bahwa telur, larva, dan pupa
nyamuk Aedes aegypti tumbuh dan berkembang di dalam air. Genangan yang disukai
sebagai tempat perindukkan nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung di suatu
wadah yang biasa disebut kontainer atau tempat penampungan air bukan genangan air
di tanah.Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Ririh dan Anny
(2005) yang menemukan adanya hubungan yang bermakna antara jenis kontainer
dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo.Kegiatan
PSN dengan menguras dan menyikat TPA seperti bak mandi/wc, drum seminggu
sekali, menutup rapat-rapat TPA seperti gentong air/tempayan, mengubur atau menyingkirkan
barang-barang bekas yang dapat menampung
air hujan serta mengganti air vas bunga, tempat minum burung seminggu sekali
merupakan upaya untuk melakukan PSN DBD. Masyarakat diharapkan rutin melakukan
kegiatan tersebut dan pihak pemerintah melakukan pemeriksaan jentik berkala, sehingga
pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD dapat berjalan dengan baik.
9.
Tindakan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tindakan responden di wilayah kerja puskesmas I Denpasar Selatan, dari 20
responden yang diteliti, diketahui 10 responden memiliki tindakan yang baik,
sebanyak 8 responden memiliki tindakan yang sedang dan 2 responden dengan
tindakan yang buruk hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara tindakan
responden dengan keberadaan vektor DBD. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian
Sumekar (2007) yang menemukan adanya hubungan antara pelaksanaan PSN dengan
keberadaan jentik DBD.Mengingat vaksin untuk mencegah penyakit DBD hingga saat
ini belum tersedia, maka upaya pemberantasan penyakit DBD harus dititikberatkan
pada PSN penularnya (Aedes aegypti), di samping kewaspadaan dini terhadap kasus
DBD untuk membatasi angka kesakitan dan kematian. Walaupun penyemprotandengan
menggunakan insektisida dilakukan tetapi bila jentik nyamuk masih dibiarkan
hidup, makaakan tumbuh nyamuk baru yang selanjutnya dapat menularkan penyakit
DBD.
10. Kebiasaan Menggantung Pakaian
Hasil observasi di wilayah kerja
Puskesmas I Denpasar Selatan menunjukkan bahwa dari 20 responden yang diteliti,
diketahui 8 responden tidak mempunyai kebiasaan menggantung pakaian dan 12 responden
(55,6%) mempunyai kebiasaan menggantung pakaian. Hasil penelitian menunjukkan
adanya hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan keberadaan vektor
DBD. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Perich et al. (2000) dari hasil
penelitiannya di Panama seperti dikutip oleh Widjana (2003), bahwa ada 4 tipe
permukaan yang disukai sebagai tempat beristirahat nyamuk yakni permukaan
semen, kayu, pakaian, dan logam. Nyamuk jantan lebih banyak dijumpai
beristirahat pada permukaan logam, sementara nyamuk betina lebih banyak dijumpai
pada permukaan kayu dan pakaian.Hasil penelitian Arman (2005) juga menunjukkan
adanya hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan endemisitas demam berdarah
dengue. Kegiatan PSN dengan cara 3M ditambah dengan cara menghindari kebiasaan
menggantung pakaian di dalam kamar merupakan kegiatan yang mesti dilakukan
untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehinggapenularan penyakit
DBD dapat dicegah dan dikurangi.
2.3 PENYAKIT AKIBAT PEMELIHARAAN
LINGKUNGAN DAN DHF
Melihat
perilaku masyarakat di kota Denpasar yang kurang memperhatikan lingkungan
sekitar, maka hal tersebutlah yang mendorong timbulnya penyakit demam berdarah
( DHF ).
a. Pengertian DHF
DHF atau dikenal dengan istilah demam
berdarah adalah penyakit yang disebabkan oleh Arbovirus ( arthro podborn virus
) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dan Aedes
Aegepty )
Menurut beberapa ahli pengertian DHF
sebagai berikut:
·
Dengue
haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita
melalui gigitan nyamuk aedes aegepty (Christantie Efendy,1995 ).
·
Dengue
haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang
dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau
tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh
penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegepty (betina) (Seoparman , 1990).
·
DHF
adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegepty dan
beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik.
(Sir,Patrick manson,2001).
·
Dengue
haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus
yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegepty (Seoparman, 1996).
b. Penyebab DHF
Penyebab DHF adalah Arbovirus ( Arthropodborn
Virus ) melalui gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty )
c. Tanda dan Gejala DHF
Tanda dan gejala penyakit DHF adalah
:
·
Meningkatnya
suhu tubuh
·
Nyeri
pada otot seluruh tubuh
·
Nyeri kepala menyeluruh atau berpusat pada
supra orbita, retroorbita
·
Suara
serak
·
Batuk
·
Epistaksis
·
Disuria
·
Nafsu
makan menurun
·
Muntah
·
Petechie
·
Ekimosis
·
Perdarahan
gusi
·
Muntah
darah
·
Hematuria
massif
·
Melena
d. Pencegahan
Demam Berdarah / Dengue Hemoragic Fever (DHF)
Menghindari atau mencegah berkembangnya nyamuk Aedes Aegepty
dengan cara:
1.
Rumah
selalu terang
2.
Tidak
menggantung pakaian
3.
Bak
/ tempat penampungan air sering dibersihkan dan diganti airnya minimal 4 hari
sekali
4.
Kubur
barang – barang bekas yang memungkinkan sebagai tempat terkumpulnya air hujan
5.
Tutup
tempat penampungan air
Perencanaan pemulangan dan Pendidikan Kesehatan
1.
Berikan
informasi tentang kebutuhan melakukan aktifitas sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kondisi fisik anak
2.
Jelaskan
terapi yang diberikan, dosis, efek samping
3.
Menjelaskan
gejala – gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk
mengatasi gejala
4.
Tekankan
untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan
BAB III
KASUS DAN PEMECAHAN
KASUS 1
Sampah, meski klasik, tetap saja
menjadi masalah. Sampah tak akan pernah hilang dari kehidupan ini karena hampir
tiap aktivitas manusia menghasilkan sampah. Tingginya volume sampah tergantung
pada jumlah penduduk dan gaya hidup. Makin modern gaya hidup manusia, makin
beragam sampah yang dihasilkan.
Menurut studi PPP-SWM, sumber sampah
rumah tangga di Denpasar, berada dalam kisaran 2,75 – 3,25 liter/orang/hari,
atau sebesar 2,17 liter/orang/hari berdasarkan SK SNI.S.04-1993-03.¹ Pada tahun
2002, volume sampah rumah tangga di Denpasar mencapai 1.904 m³/hari.² Tahun
2004, volume sampah rumah tangga di Denpasar menembus angka 2.200 m³/hari.
Artinya, selama dua tahun, kenaikan volume sampah rumah tangga di Denpasar
mencapai 15,5%, berjumlah hingga 550 ton per hari.
Dari jumlah tersebut, Dinas
Kebersihan dan Pertamanan (DKP) setempat menangani produksi sampah sebesar 75%.
Penanganan sisanya dilakukan secara swakelola (16%), oleh PD Pasar (7%) dan
swasta (2%). Sampah yang terkumpul, diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Suwung. Hingga kini, timbunan sampah di TPA Suwung mencapai luas areal 24 hektar.
Gunungan sampah itu menimbulkan masalah yang harus segera ditangani.
Pertama, lokasi TPA Suwung yang
merupakan perambahan hutan bakau milik negara sudah penuh. Di kabupaten lain,
seperti Badung, pemerintah daerah membeli tanah seluas dua hektar yang diperuntukkan
sebagai TPA. Sayangnya, TPA di Canggu tersebut penuh dalam waktu singkat.
Akhirnya, Badung pun ikut membuang sampah di TPA Suwung. Sesuai aturan “Tri
Mandala” di Bali, bagian hilir merupakan tempat membuang yang kotor dan hulu
merupakan tempat suci. Tak mungkin jika membuat TPA ke arah Bali Utara, karena
merupakan bagian hulu. Sedangkan TPA Suwung, merupakan hilir dan berbatasan
dengan laut yang dipercaya sebagai tempat pembersihan dari leteh (sesuatu
yang kotor).
Kedua, timbunan sampah di TPA Suwung
menghasilkan air lindi (cairan rembesan sampah) yang mencemari laut. Selain
itu, tak jarang sampah berterbangan ke laut. Sampah plastik sangat mengganggu
biota laut, terutama terumbu karang. Berbagai organisme laut termasuk ikan bisa
mati sehingga beberapa jenis ikan bisa lenyap. Padahal, sembilan dari 15 objek
wisata di Bali merupakan wisata bahari. Jika hal tersebut terus berlangsung,
dapat memberi pengaruh buruk pada pariwisata.
Ketiga, bau tak sedap dari timbunan
sampah di TPA Suwung mengganggu warga sekitar. Jika arah angin ke timur, udara
di Pulau Serangan yang berdekatan dengan TPA berbau busuk, khas sampah.
Sebaliknya, jika angin bertiup ke arah barat, wilayah Pesanggaran dan
sekitarnya merasakan hal yang sama. Hal ini memberi dampak buruk bagi kesehatan
dalam jangka pendek dan panjang.
Keempat, masyarakat belum memiliki
kesadaran dalam pengelolaan sampah yang baik. Pasalnya, sampah yang dibuang tak
dipisahkan; sampah organik dan anorganik. Nilai dari material yang masih
bermanfaat dapat rusak dan berkurang jika sampah dibuang tercampur. Bahan
organik mencemari bahan yang bisa didaur ulang dan racun dapat menghancurkan
kegunaan keduanya. Alam juga perlu waktu untuk untuk mencerna sampah.
Contohnya, perlu waktu satu bulan untuk mengurai kertas koran atau tisu, perlu
waktu satu tahun untuk mengurai tali sumbu dan perlu waktu 20 sampai 40 tahun
untuk mengurai kayu yang dicat.
Alternatif Pemecahan
Menyelesaikan masalah sampah perlu
tindakan holistik. Sampah tak hanya berhubungan dengan lingkungan, namun juga
kesehatan, pendidikan, keadaan sosial dan ekonomi. Ada beberapa alternatif yang
bisa memecahkan permasalahan tersebut.
Pertama, alternatif pemecahan dalam
jangka pendek. Masalah sampah timbul karena kurangnya kepedulian masyarakat
dalam menjaga kebersihan lingkungan. Masih banyak anggota masyarakat yang
membuang sampah sembarangan, baik di sekolah, kantor atau tempat-tempat umum.
Selain itu, masyarakat juga tak terbiasa mengurangi jumlah material yang
digunakan. Makin banyak barang yang digunakan, makin banyak sampah yang
dihasilkan. Sudah sewajarnya, siapa yang menghasilkan sampah, merekalah yang
bertanggung jawab.
Pemerintah
harus merumuskan tindakan tegas yang dituangkan dalam peraturan daerah yang
memberi sanksi kepada anggota masyarakat yang membuang sampah sembarangan.
Memberlakukan restribusi kebersihan, jangan setengah-setengah. Selama ini,
tidak jelas, daerah mana saja yang dikenai restribusi. Besarannya pun flat,
tak berdasarkan jumlah sampah yang dibuang. Masyarakat tak akan menghiraukan
ajakan mengurangi sampah jika perlakuannya seperti itu. Ibarat biaya listrik,
masyarakat akan berusaha meminimalisir penggunaan jika merasakan dampaknya
secara langsung. Kalau itu diberlakukan, pastikan telah dibuat sistem yang
tepat agar bebas dari KKN.
Tindakan jangka pendek lainnya,
menyerahkan sistem penanganan sampah kepada desa pekraman. Di Bali, hal
ini sangat efektif. Seperti yang dilakukan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup
(PPLH) Bali di Jalan Hang Tuah, Gang Mawar dan Gang Nuri, Sanur. PPLH masuk
melalui kegiatan arisan yang diadakan kelompok ibu-ibu di daerah tersebut.
Sebagai pilot project yang disponsori AusAID, PPLH memberikan 100 pasang
tong sampah kepada 100 kepala keluarga. Tong sampah tersebut terdiri atas dua
warna; merah dan biru. Merah untuk sampah organik dan biru untuk sampah
anorganik. Masing-masing keluarga diminta memilah sampah berdasarkan jenisnya.
Sampah-sampah tersebut diangkut seorang petugas kebersihan yang ditunjuk guna
dibawa ke depo yang berada di Gang Nuri.
Sesampainya di depo, sampah
anorganik dipisahkan lagi berdasarkan bahan bakunya, seperti kaleng, kaca,
plastik, kertas dan logam. Sisanya berupa residu sampah seperti pampers,
pembalut wanita dan lainnya, dikirim ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS).
Sedangkan sampah organik, diolah menjadi kompos. Sampah anorganik yang bisa
dijual tersebut selama enam bulan telah menghasilkan lebih kurang Rp 2 juta.
Kompos yang dibuat, dikembalikan kepada masyarakat. Dalam jangka panjang,
masyarakat diberikan pendidikan pemanfaatan lahan sempit dengan menanam tanaman
obat sehingga kompos bisa digunakan langsung.
Kondisi ini jika diterapkan di semua
desa, akan memberikan banyak manfaat. Pertama, nilai ekonomis. Sampah yang
dianggap tak berguna dapat menjadi salah satu sumber dana desa. Kedua, kalau
tak dimasukkan kas desa, kegiatan itu bernilai sosial. Desa bisa meminta
kelompok pemulung untuk mengurus pengangkutan dari rumah-rumah sampai ke depo.
Hasil yang diperoleh, menjadi hak mereka. Ketiga, nilai pendidikan. Masyarakat
memperoleh wawasan pentingnya membuang sampah secara benar. Mereka juga bisa
merasakan nilai ekonomis dengan pemanfaatan lahan sempit. Dengan menanam cabai,
tomat dan tanaman lainnya, mereka tak perlu membeli lagi. Lingkungan pun
terjaga.
Jika masyarakat sudah biasa membedakan
jenis sampah, pemerintah harus menyiapkan TPS dan truk pengangkut sampah
berdasarkan jenis sampah. Pemilahan sampah yang dilakukan masyarakat tak akan
banyak artinya tanpa dukungan pemerintah.
Kedua, alternatif pemecahan jangka
menengah. Saat ini pemerintah telah berusaha mengatasi masalah sampah di TPA
Suwung dengan menerapkan sistem pengelolaan persampahan secara regional
(wilayah Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan) dan terpusat dengan aplikasi
teknologi pengolahan sampah terpadu (disebut IPST, Instalasi Pengelohan Sampah
Terpadu).
Alternatif ini tentu memiliki
manfaat. Dari pengolahannya, diharapkan menghasilkan biogas. Biogas ini
dimasukkan dulu ke dalam fasilitas gas treatment sebelum menjadi bahan
bakar bagi mesin pembangkit listrik. Pada dasar tumpukan sampah lama yang telah
mencapai luas areal 24 hektar tersebut dipasang sistem jaringan pipa untuk
menangkap gas metan yang dihasilkan dari proses pembusukan tanah. Dalam waktu
10 sampai 20 tahun, sampah tersebut akan membusuk, menyusut dan membaur dengan
tanah. Tindakan ini mencegah perambahan hutan bakau dalam jangka panjang dan
mencegah pencemaran laut serta polusi udara yang dirasakan masyarakat sekitar.
Dari pengolahan sampah baru akan dihasilkan gas metan dan kompos (sebagai
produk sampingan) setelah memilah barang-barang yang bisa didaur ulang.
Alternatif ini dapat mengurangi
perluasan landfill, meminimalisir dampak dan merehabilitir lahan TPA,
memberi peluang kerja bagi masyarakat dan menambah ketersediaan kapasitas
listrik di Bali. Hasil produksi pupuk organik digunakan untuk memulihkan
kondisi fisik-kimia tanah guna meningkatkan produksi pertanian sekaligus
mewujudkan pertanian organik. Meski demikian, sebagai pilot project
(mengingat Indonesia belum mempunyai pengalaman dalam sektor ini, khususnya
dalam skala kota), efek samping dari teknologi perlu dicermati.
Ketiga, alternatif pemecahan jangka
panjang. Jerman memerlukan waktu hingga 25 tahun mendidik warganya menjaga
kebersihan dan membuang sampah secara benar. Jepang perlu waktu 50 tahun untuk
itu. Edukasi terus menerus harus dilakukan segenap komponen masyarakat dan
pemerintah agar tercipta Denpasar yang bersih. Tanpa ada kerja sama yang baik,
tujuan itu tak akan pernah terwujud. Gerakan 3R (reduce, reuse dan recycle)
harus terus diajarkan dan diterapkan di seluruh wilayah.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Jero Wacik telah menyatakan, menjadikan Bali lokomotif utama pariwisata
Indonesia. Turis mancanegara yang datang ke Bali umumnya berasal dari negara
maju yang umumnya mereka sangat peduli pada kebersihan lingkungan. Meski Bali
memiliki pemandangan yang sangat indah dan kebudayaan yang khas, kebersihan
adalah salah satu faktor mutlak yang menyebabkan turis betah tinggal di Bali.
Turis mancanegara umumnya sangat peka terhadap soal kebersihan mengingat
kebersihan sangat erat terkait dengan kesehatan. Lingkungan yang bersih membawa
dampak yang positif terhadap ketenangan, kenyamanan dan keasrian lingkungan.
Selain itu, dalam penerapan ISO 1400, untuk memperoleh rekomendasi daerah
wisata yang ramah lingkungan, kebersihan dan higienis menjadi syarat mutlak.
Jika kebersihan lingkungan tak diperhatikan, sampah bisa menjadi bom kedua bagi
Bali. Akhirnya, tak hanya warga Denpasar, masyarakat Bali secara menyeluruh
merasakan dampak buruknya. Bahkan, jika pariwisata Bali sebagai lokomotif
utamanya merosot, bagaimana dengan “gerbong-gerbong”-nya?
Ternyata, tindakan kecil dari rumah
kita, mempengaruhi perekonomian seluruh wilayah Indonesia. Think globally,
act locally.
KASUS 2
Pencemaran lingkungan yang mengancam Denpasar mulai
dibahas secara
serius. Termasuk limbah mercuri yang diakibatkan sampah medis dan sampah
elektronik, mulai mengancam. Untuk mengantisipasi hal itu, Dinas
Lingkungan Hidup Kota Denpasar mulai bersikap tegas dengan melarang rumah
sakit dan klinik kesehatan membuang limbah medisnya ke TPA Suwung ataupun
tempat pembuangan sampah lainnya.
serius. Termasuk limbah mercuri yang diakibatkan sampah medis dan sampah
elektronik, mulai mengancam. Untuk mengantisipasi hal itu, Dinas
Lingkungan Hidup Kota Denpasar mulai bersikap tegas dengan melarang rumah
sakit dan klinik kesehatan membuang limbah medisnya ke TPA Suwung ataupun
tempat pembuangan sampah lainnya.
Kadis Lingkungan Hidup (LH) Kota Denpasar A.A. Bagus
Sudharsana yang
ditemui di kantornya, Jumat (6/8) mengatakan dampak limbah
mercuri yang diakibatkan oleh limbah medis dan limbah elektronik lainnya
mulai mengancam warga dan lingkungan. “Limbah ini banyak berasal dari
sampah medis dan sampah elektronik mulai meningkat di Kota Denpasar,”
katanya.
ditemui di kantornya, Jumat (6/8) mengatakan dampak limbah
mercuri yang diakibatkan oleh limbah medis dan limbah elektronik lainnya
mulai mengancam warga dan lingkungan. “Limbah ini banyak berasal dari
sampah medis dan sampah elektronik mulai meningkat di Kota Denpasar,”
katanya.
Untuk mengantisipasi hal ini, Dinas LH akan segera
mengeluarkan regulasi
baru terkait sampah medis ini. Sudarsana mengatakan saat ini pihaknya
mulai mewajibkan rumah sakit ataupun klinik kesehatan yang ada di
Denpasar untuk membakar limbah medisnya di beberapa insenerator yang ada
di beberapa rumah sakit yang ada. “Yang pasti kami melarang sampah medis
ini dibuang ke TPA karena akan berdampak buruk pada lingkungan nantinya
terutama pada air tanah dan air laut,” ungkapnya ketika ditemui usai
menggelar pertemuan dengan utusan UNEP.
baru terkait sampah medis ini. Sudarsana mengatakan saat ini pihaknya
mulai mewajibkan rumah sakit ataupun klinik kesehatan yang ada di
Denpasar untuk membakar limbah medisnya di beberapa insenerator yang ada
di beberapa rumah sakit yang ada. “Yang pasti kami melarang sampah medis
ini dibuang ke TPA karena akan berdampak buruk pada lingkungan nantinya
terutama pada air tanah dan air laut,” ungkapnya ketika ditemui usai
menggelar pertemuan dengan utusan UNEP.
Diakuinya, pihaknya sampai saat ini masih sering
menemukan sampah medis
yang dibuang di beberapa lokasi termasuk di TPA Suwung. Padahal jika
dibiarkan sampah seperti jarum suntik, termometer, tensimeter dan sampah
medis lainnya bisa membahayakan warga dan lingkungan. “Untuk rumah sakit
dan klinik kesehatan akan kami masukkan aturan ini dalam UPL dan UKL.
Sehingga nantinya jika masih ada yang melanggar bisa dikenakan sanksi,”
paparnya.
yang dibuang di beberapa lokasi termasuk di TPA Suwung. Padahal jika
dibiarkan sampah seperti jarum suntik, termometer, tensimeter dan sampah
medis lainnya bisa membahayakan warga dan lingkungan. “Untuk rumah sakit
dan klinik kesehatan akan kami masukkan aturan ini dalam UPL dan UKL.
Sehingga nantinya jika masih ada yang melanggar bisa dikenakan sanksi,”
paparnya.
Disebutkannya, saat ini baru ada 3 rumah sakit yaitu
RS Sanglah, RS
Wangaya dan RSAD yang sudah melakukan pembakaran sampah medisnya di mesin
insenerator. Sedangkan rumah sakit lainnya akan kami fasilitasi untuk mau
bekerjasama melakukan pembakaran sampah medis ini. “Selain itu kami akan
segera berkonsultasi dengan IDI untuk menerapkan aturan ini,” katanya.
Wangaya dan RSAD yang sudah melakukan pembakaran sampah medisnya di mesin
insenerator. Sedangkan rumah sakit lainnya akan kami fasilitasi untuk mau
bekerjasama melakukan pembakaran sampah medis ini. “Selain itu kami akan
segera berkonsultasi dengan IDI untuk menerapkan aturan ini,” katanya.
Alternatif Pemecahan
Diharapkan
agar setiap Rumah Sakit maupun klinik memperhatikan pengelolaan serta
bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah sampah medis, agar bahaya
penularan dari sampah medis tersebut dapat dicegah. Selain itu, kerjasama
dengan Rumah Sakit yang memiliki incenerator hendaknya dimaksimalkan seefektif
mungkin sebagai upaya pemecahan dari masalah yang tengah dihadapi.
Untuk
sampah elektronik, sebaiknya di daur ulang menjadi barang yang lebih
bermanfaat. Dan apabila para pelaku industry kreatif jeli melihat peluang ini,
maka ini merupakan salah satu alternatif terbukanya lapangan pekerjaan yang
dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.
BAB
III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
1. Faktor
lingkungan yang berhubungan dengan keberadaan vektor DBD di wilayah kerja
Puskesmas I Denpasar Selatan adalah : kepadatan penduduk dengan hubungan yang
kurang kuat, mobilitas penduduk dengan hubungan yang lemah, keberadaan tempat
ibadah dengan hubungan yang kurang kuat, keberadaan pot tanaman hias dengan
hubungan yang lemah, keberadaan saluran air hujan, dengan hubungan yang kurang
kuat dan keberadaan kontainer, dengan hubungan yang lemah.
2. Faktor
perilaku masyarakat yang berhubungan dengan keberadaan vektor DBD di wilayah
kerja Puskesmas I Denpasar Selatan adalah : tindakan dengan hubungan yang cukup
kuat dan kebiasaan menggantung pakaian dengan hubungan yang kurang kuat.
3.2 SARAN
Saran
yang dapat diberikan kepada masyarakat maupun instansi terkait adalah :
1. Perlu
dilakukan pengawasan terhadap faktor lingkungan yang berhubungan dengan
keberadaan vektor DBD di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan.
2. Perilaku
masyarakat tentang hidup sehat dan peduli lingkungan perlu disadarkan kembali
dengan mekanisme penyampaian informasi dan pendidikan/penyuluhan tentang penanggulangan
penyakit DBD melalui media televisi, radio, media cetak maupun brosur.
3. Diperlukan
tindakan yang bersifat preventif melalui pemakaian kasa dan menghindari
kebiasaan mengantung pakaian yang biasanya dijadikan sebagai tempat
peristirahatan nyamuk.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2010.Pencemaran
Lingkungan. Availlable: http://www.google.co.id.Pencemaran
Lingkungan.html.(accessed: 24 Maret 2012)
Anggara, Ani. 2009.Macam – macam Pencemaran Lingkungan. Availlable:
http://www.anianggara.blogspot.com. macam-macam-pencemaran-lingkungan-upaya.html.
(accessed: 24 Maret 2012)
Mauyy, Karis. 2011.Cara Memelihara Lingkungan Buatan.Availlable:
http://www.karis-mauyy.wordpress.com.Cara Memelihara Lingkungan Buatan (KLH
Series) « karis mauyy.html. (accessed: 25 Maret 2012)
Pemerintah Provinsi Bali. 2008.Laporan Status Lingkungan Hidup Kota Denpasar. Availlable:
Laporan-sldh-kota-denpasar-2008.pdf. (accessed: 25 Maret 2012)
No comments:
Post a Comment