Sejarah
Perkembangan Keperawatan di Indonesia
Zaman
Belanda I dan Belanda II
A. Pengertian
Sejarah adalah setiap peristiwa atau kejadian di
masa lampau yang menyenangkan maupun memilukan. Sejarah bukan sebatas cerita
untuk generasi mendatang yang ditulis sekadar untuk dihafalkan. Setiap manusia
memiliki sejarah masing-masing, baik yang bersifat individual, komunal, maupun
nasional. Sama halnya dengan sejarah perjuangan bangsa. Kemerdekaan yang diraih
bukan hanya melibatkan tentara, tetapi juga seluruh elemen bangsa. Mulai dari
pemimpin sampai rakyat jelata, orang tua sampai anak-anak. Semuanya
bahu-membahu berjuang dengan semangat patriotisme.
Seperti hal perkembangan keperawatan di dunia pada umumnya,
perkembangan di Indonesia juga di pengaruhi kondisi sosial dan ekonomi khususnya
penjajahan pemerintah kolonial Belanda.
B. Keperawatan di Masa
Penjajahan Belanda
Setelah keperawaatan masa kuno,
barulah memasuki perkembangan keperawatan pada masa penjajahan bangsa-bangsa,
salah satunya adalah bangsa belanda. Sejarah perkembangan keperawatan pada
zaman belanda dibagi menjadi 2, yaitu :
1.
Keperawatan
pada Zaman VOC (1602-1799) dan Zaman Penjajahan Belanda I (1799-1811)
Di masa penjajahan, perkembangan keperawatan di Indonesia
mengalami kemajuan. Perkembangan keperawatan banyak dipengaruhi oleh
konsep-konsep keperawatan dari Negeri Belanda. Hal ini tidak terlepas dari
peranan pemerintah Belanda yang mendirikan dinas kesehatan khusus tentara (saat
itu disebut MGD/Militaire Gezondsheids Dients)
dan dinas kesehatan rakyat (saat itu disebut BGD/(Burgrlijke
Gezondsheids Dients). Melalui kedua dinas tersebut
pemerintah Belanda merekrut perawat dari penduduk pribumi.
Perawat yang dalam bahasa Belanda disebut Velpleeger
menjalankan tugasnya sebagai perawat dengan dibantu oleh penjaga orang sakit
yang disebut Zieken Opposer. Tugas penjaga orang sakit meliputi kegiatan
domestik, seperti membersihkan bangsal dan memasak, mengontrol pasien, mencegah
agar pasien tidak melarikan diri, dan menjaga pasien yang mengalami gangguan
jiwa. Perawat pada masa ini bukan merupakan suatu pekerjaan yang bersifat
sukarela atau yang memilki kemampuan intelektual, melainkan dianggap sebagai
pekerjaan yang hanya pantas dilakukan oleh individu yang memiliki derajat
sosial rendah, sedangkan tugas pelayanan kesehatan sendiri dilakukan oleh
seorang dokter bedah dan pelayanan ini hanya diberikan kepada awak kapal,
pegawai, dan orang-orang Belanda.
Para perawat dan penjaga orang sakit ini difasilitasi untuk
membentuk organisasi profesi. Organisasi profesi perawat pertama dibentuk di
Surabaya pada tahun 1799, organisasi tersebut bernama Perkoempoelan Zieken
Velpleeger / Velpleester Boemi Poetra (disingkat PZVB Boemi Poetra).
Para perawat ini bekerja di Binnen Hospital di Surabaya untuk merawat
staf dan tentara Belanda.
Untuk meningkatkan kemampuan para perawat ini agar dapat
memberikan pelayanan keperawatan yang profesional, maka para perawat ini
melalui organisasinya diberikan semacam pendidikan dan pelatihan oleh
pemerintah Belanda. Ilmu keperawatan pada masa Belanda disebut Verpleegkunde.
Sejak saat itu banyak sekali istilah-istilah keperawatan Indonesia yang
mengadopsi bahasa Belanda. Sampai sekarang masih sering kita dengar istilah
Belanda tersebut, misalnya nierbeken (bengkok), laken (sprei), bovenlaken
(kain penutup), warm-water zak (buli-buli hangat), Iiskap (buli-buli
dingin), scheren (gunting/cukur), dan lain-lain.
Usaha lain dari pemerintah kolonial Belanda di bidang
kesehatan pada masa ini antara lain : membentuk Dinas Kesehatan Tentara yang
dalam bahasa Belanda disebut Militiary Gezondherdes Diesnt dan
Dinas Kesehatan Rakyat atau Burgerlijke Gezondherds Diesnt.
Pendirian rumah sakit ini termasuk usaha Daendels mendirikan rumah
sakit di Jakarta, Semarang dan Surabaya, ternyata tidak diikuti perkembangan
profesi keperwatan yang berarti karena tujuannya semata-mata untuk kepentingan
tentara Belanda.
2.
Keperawatan di Masa Penjajahan Belanda II
Setelah pemerintah kolonial Belanda kembali ke tangan
Belanda, usaha-usaha peningkatan kesehatan penduduk mengalami kemajuan. Di
Jakarta, tahun 1819 didirikan beberapa rumah sakit. Salah satu diantaranya
adalah Rumah Sakit Stadverband berlokasi di Glodok-Jakarta Barat. Pada tahun
1919 rumah sakit ini dipindahkan di Salemba dan sekarang bernama Rumah Sakit
Cipto Mangkusumo (RSCM). Saat ini RSCM menjadi rumah sakit pusat rujukan
nasional dan pendidikan nasional. Dalam kurun waktu ini (1816-1942), berdiri
pula beberapa rumah sakit swasta miliki misionaris katolik dan zending
protestan. Misalnya : RS Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Cikini-Jakarta Pusat,
RS St.Carolus Selemba-Jakarta Pusat, RS St. Bromeus di Bandung dan RS Elizabeth
di Semarang. Bersamaan dengan berdirinya rumah sakit di atas, didirikan sekolah
perawat. RS PGI Cikini tahun 1906 menyelenggarakan pendidikan juru perawat
tahun 1912.
Ketika kekuasaan beralih ke masa Pemerintahan Jepang
(1942-1945), keperawatan Indonesia
mengalami masa kegelapan. Bila renaisance berakibat buruk pada perkembangan
keperawatan di Inggris sehingga disebut zaman kegelapan dunia keperawatan
di Inggris, maka penjajahan Jepang merupakan zaman kegelapan dunia keperawatan
di Indonesia .
Pekerjaan perawat yang pada masa Belanda dan Inggris sudah dikerjakan oleh
perawat yang telah dididik, maka pada masa Jepang tugas perawat dilakukan oleh
mereka yang tidak dididik untuk menjadi perawat. Demikian pula pimpinan rumah
sakit yang sebelumnya orang-orang Belanda kemudian di ambil alih oleh
orang-orang Jepang. Wabah penyakit menyebar di mana-mana, jumlah orang sakit
meningkat, sementara bahan-bahan yang dibutuhkan seperti balutan dan
obat-obatan dalam kondisi kekurangan. Bahkan, daun pisang dan pelepah pisang
digunakan sebagai bahan balutan.
Pendidikan keperawatan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda
terhenti. Banyak perawat yang berhenti bekerja sebagai perawat dikarenakan
ketakutan dan kecemasan. Selanjutnya tidak ada catatan perkembangan sampai
akhirnya Indonesia
mendapatkan kemerdekaan.
C. Dampak Sejarah Keperawatan Terhadap Profil Perawat Indonesia
Sejarah
akan mewarnai masa depan. Apa yang terjadi di masa sekarang dipengaruhi oleh
sejarah pada masa sebelumnya. Kesuksesan yang diraih seseorang dalam hidupnya
merupakan hasil atau buah dari keuletan dan perjuangannya di masa lalu.
Contohnya adalah negara Jepang. Negara tersebut menjadi salah satu negara yang
pesat perekonomiannya. Keberhasilan ini salah satunya dipengaruhi oleh semangat
bangsa ini untuk terus maju dan meningkatkan produktivitasnya. Teori yang sama
berlaku pula di negara kita. Keterpurukan yang dialami bangsa Indonesia di hampir segala bidang
disebabkan oleh perilaku korup yang telah mendarah daging di negara ini sejak
dulu.
Sistem hegemoni yang diterapkan oleh bangsa Eropa selama menjajahIndonesia telah memberi dampak yang
sangat besar pada seluruh lini kehidupan, termasuk profesi perawat. Posisi Indonesia
sebagai negara yang terjajah (subaltern) menyebabkan kita selalu berada pada
kondisi yang tertekan, lemah, dan tidak berdaya. Kita cenderung menuruti apa
saja yang menjadi keinginan penjajah. Situasi ini terus berlanjut dalam kurun
waktu yang lama sehingga terbentuk suatu formasi kultural. Kultur di dalamnya
mencakup pola perilaku, pola pikir, dan pola bertindak. Formasi kultural ini
terus terpelihara dari generasi ke generasi sehingga menjadi sesuatu yang
superorganic.
Kali ini, penulis mencoba menganalisis mengapa masyarakat menganggap perawat sebagai pembantu profesi kesehatan lain, dalam hal ini profesidokter. Ini ada kaitannya dengan konsep hegemoni. Seperti dijelaskan di awal, perawat awalnya direkrut dari Boemi Putera yang tidak lain adalah kaum terjajah, sedangkan dokter didatangkan dari negara Belanda—sebab pada saat itu diIndonesia belum ada sekolah
kedokteran. Sesuai dengan konsep hegemoni, posisi perawat di sini adalah
sebagai subaltern yang terus-menerus berada dalam cengkeraman kekuasaan dokter
Belanda (penjajah). Kondisi ini menyebabkan perawat berada pada posisi yang
termarjinalkan. Keadaan ini berlangsung selama berabad-abad sampai akhirnya
terbentuk formasi kultural pada tubuh perawat.
Posisi perawat sebagai subaltern yang tunduk dan patuh mengikuti apa keinginan penjajah lama-kelamaan menjadi bagian dari karakter pribadi perawat. Akibatnya, muncul stigma di masyarakat yang menyebut perawat sebagai pembantu dokter. Karena stigma tersebut, peran dan posisi perawat di masyarakat semakin termarjinalkan. Kondisi semacam ini telah membentuk karakter dalam diri perawat yang pada akhirnya berpengaruh pada profesi keperawatan secara umum. Perawat menjadi sosok tenaga kesehatan yang tidak mempunyai kejelasan wewenang atau ruang lingkup. Orientasi tugas perawat dalam hal ini bukan untuk membantu klien mencapai derajat kesehatan yang optimal, melainkan membantu pekerjaan dokter.
Sistem hegemoni yang diterapkan oleh bangsa Eropa selama menjajah
Kali ini, penulis mencoba menganalisis mengapa masyarakat menganggap perawat sebagai pembantu profesi kesehatan lain, dalam hal ini profesidokter. Ini ada kaitannya dengan konsep hegemoni. Seperti dijelaskan di awal, perawat awalnya direkrut dari Boemi Putera yang tidak lain adalah kaum terjajah, sedangkan dokter didatangkan dari negara Belanda—sebab pada saat itu di
Posisi perawat sebagai subaltern yang tunduk dan patuh mengikuti apa keinginan penjajah lama-kelamaan menjadi bagian dari karakter pribadi perawat. Akibatnya, muncul stigma di masyarakat yang menyebut perawat sebagai pembantu dokter. Karena stigma tersebut, peran dan posisi perawat di masyarakat semakin termarjinalkan. Kondisi semacam ini telah membentuk karakter dalam diri perawat yang pada akhirnya berpengaruh pada profesi keperawatan secara umum. Perawat menjadi sosok tenaga kesehatan yang tidak mempunyai kejelasan wewenang atau ruang lingkup. Orientasi tugas perawat dalam hal ini bukan untuk membantu klien mencapai derajat kesehatan yang optimal, melainkan membantu pekerjaan dokter.
Perawat
tidak diakui sebagai suatu profesi, melainkan pekerjaan di bidang kesehatan
yang aktivitasnya bukan didasarkan atas ilmu, tetapi atas perintah/instruksi
dokter—sebuah rutinitas belaka. Pada akhirnya, timbul sikap ma-nut perawat
terhadap dokter. Dampak lain yang tidak kalah penting adalah berkembangnya
perilaku profesional yang keliru dari diri perawat. Ada sebagian perawat yang menjalankan praktik
pengobatan yang sebenarnya merupakan kewenangan dokter. Realitas seperti ini
sering kita temui di masyarakat. Uniknya, sebutan untuk perawat pun beragam.
Perawat laki-laki biasa disebut mantri, sedangkan perawat perempuan disebut
suster. Ketimpangan ini terjadi karena perawat sering kali diposisikan sebagai
pembantu dokter. Akibatnya, perawat terbiasa bekerja layaknya seorang dokter,
padahal lingkup kewenangan kedua profesi ini berbeda. Tidak menutup
kemungkinan, fenomena seperti ini masih terus berlangsung hingga kini. Hal ini
tentunya akan menghambat upaya pengembangan keperawatan menjadi profesi
kesehatan yang profesional. Seperti kita ketahui, kultur yang sudah
terinternalisasi akan sulit untuk diubah.
Dibutuhkan
persamaan persepsi dan cita-cita antar-perawat serta kemauan profesi lain untuk
menerima dan mengakui perawat sebagai sebuah profesi kesehatan yang
profesional.Tentunya kita berharap pengakuan ini bukan sekedar wacana, tetapi
harus terealisasikan dalam kehidupan profesional.Paradigma yang kemudian
terbentuk karena kondisi ini adalah pandangan bahwa perawat merupakan bagian
dari dokter. Dengan demikian, dokter berhak "mengendalikan" aktivitas
perawat terhadap klien. Perawat menjadi perpanjangan tangan dokter dan berada
pada posisi submisif. Kondisi seperti ini sering kali temui dalam pelayanan
kesehatan di rumah sakit.
Salah
satu penyebabnya adalah masih belum berfungsinya sistem kolaborasi antara
dokter dan perawat dengan benar. Jika kita cermati lebih jauh, hal yang berlaku
justru sebaliknya. Dokter seharusnya merupakan bagian dari perawatan klien.
Seperti kita ketahui, perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling sering dan
paling lama berinteraksi dengan klien. Asuhan keperawatan yang diberikan pun
sepanjang rentang sehat-sakit. Dengan demikian, perawat adalah pihak yang
paling mengetahui perkembangan kondisi kesehatan klien secara menyeluruh dan
bertanggung jawab atas klien. Sudah selayaknya jika profesi kesehatan lain
meminta "izin" terlebih dahulu kepada perawat sebelum berinteraksi
dengan klien. Hal yang sama juga berlaku untuk keputusan memulangkan klien.
Klien baru boleh pulang setelah perawat menyatakan kondisinya memungkinkan.
Walaupun program terapi sudah dianggap selesai, program perawatan masih terus
berlanjut karena lingkup keperawatan bukan hanya pada saat klien sakit, tetapi
juga setelah kondisi klien sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. .Konsep
Dasar Keperawatan.EGC: Jakarta
Simamora, Raymond H. .Buku
Ajar Pendidikan dan Keperawatan.EGC: Jakarta
http://mustikadwiagustin.blogspot.com/2010/11/sejarah-keperawatan.html
No comments:
Post a Comment