Juniartha Semara Putra
ASUHAN
KEPERAWATAN (ASKEP) KONSTIPASI
2.1 Definisi
Pada umumnya
konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan
terdapat variasi yang berlainan antara individu. Penggunaan istilah konstipasi
secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih
kaburnya hal ini. Biasanya konstipasi berdasarkan laporan pasien sendiri atau
konstipasi anamnestik dipakai sebagai data pada penelitian-penelitian. Batasan
dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar
feses memenuhi ampul rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada
kolon, rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut.
Studi
epidemiologis menunjukkan kenaikan pesat dari konstipasi terkait dengan usia
terutama berdasarkan keluhan pasien dan bukan karena konstipasi klinis. Banyak
orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar (BAB) tiap hari
sehingga sering terdapat perbedaan pandang antara dokter dan pasien tentang
arti konstipasi itu sendiri.
Frekuensi
BAB bervariasi dari 3 kali per hari sampai 3 kali per minggu. Secara umum, bila
3 hari belum BAB, massa feses akan mengeras dan ada kesulitan samapi rasa sakit
saat BAB. Konstipasi sering diartikan sebagai. kurangnya frekuensi BAB,
biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras,
serta kadangkal disertai kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Orang usia
lanjut seringkali terpancang dengan kebiasaan BABnya. Hal ini mungkin merupakan
kelanjutan dari pola hidup semasa kanak-kanak dan saat masih muda, dimana
setiap usaha dikerahkan untuk BAB teratur tiap hari, kalau perlu dengan
menggunakan pencahar untuk mendapatkan perasaan sudah bersih. Ada anggapan umum
yang salah bahwa kotoran yang tertimbun dalam usus besar akan diserap lagi,
berbahaya untuk kesehatan, dan dapat memperpendek usia. Ada pula yang
mengkhawatirkan keracunan dari fesesnya sendiri bila dalam jangka waktu
tertentu tidak dikeluarkan.
Suatu
batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari
keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
a.
konsistensi feses yang keras;
b. mengejan
dengan keras saat BAB;
c. rasa
tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB;
d. frekuensi
BAB 2 kali seminggu atau kurang.
International
Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi.
Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan : 1)
konstipasi fungsional, 2) konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada
muara rektisigmoid.
Konstipasi
fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan
penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang
terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.
Tabel 1.
Definisi Konstipasi sesuai international workshop on constipation
|
||
No
|
Tipe
|
Kriteria
|
1.
|
Konstipasi
Fungsional
|
Dua atau
lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan :
|
2.
|
Penundaan
pada muara rektum
|
|
Model tinja
atau feses 1 (konstipasi kronis), 2 (konstipasi sedang) dan 3 (konstipasi
ringan) dari Bristol Stool Chart yang menunjukkan tingkat konstipasi atau
sembelit.
2.2
Patofisiologi
Defekasi
seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan
kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,
koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk
mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah
karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal. Gangguan dari
salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi.
Defekasi
dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantakan feses ke rektum
untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti
relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang
spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot
dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang
keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi,
sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding
perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan
otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam
proses BAB.
Patogenesis
dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang
tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia
lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua
yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna.
perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena
bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian
dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak
mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas
motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda
radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan.
Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi
menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang
dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14
hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon
sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid.
Pemeriksaan
elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan
konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat
berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan
juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat
menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu di
atas usia 60 tahun jug aterbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang
meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus.
Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat
menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks
gaster-kolon.
Selain itu,
terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos
berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. pasien dengan konstipasi
mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras
sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat
penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan
tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada
mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami 3 perubahan patologis pada
rektum :
- Diskesia
Rektum
Ditandai
dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan
peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk
menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok
dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak
disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga
dapat diakibatkan karena tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB
seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah
anus dan rektum
- Dis-sinergis
Pelvis
Terdapatnya
kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat
BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran
anus saat mengejan.
- Peningkatan
Tonus Rektum
Terjadi
kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon
yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana
konstipasi merupakan hal yang dominan.
2.3 Faktor-
faktor risiko konstipasi pada usia lanjut
Dibutuhkan
pengenalan faktor-faktor resiko yang berkaitan dengan konstipasi pada usia
lanjut untuk memahami masalah ini. Sebagai contoh, polifarmasi dapat
menyebabkan konstipasi karena beberapa golongan obat mempunyai potensi untuk
hal ini. Beberapa kelainan neurologis dan endokrin-metabolik juga dapat
mengakibatkan konstipasi yang berat.
Faktor-faktor
resiko konstipasi pada usia lanjut :
- Obat-obatan
yaitu
golongan obat-obatan :
- Antikolinergik
- Narkotik
- Analgesik
- Diuretik
- NSAID
- Kalsium
antagonis
- Preparat
kalsium
- Preparat
besi
- Antasida
alumunium
- Penyalahgunaan
pencahar
- Kondisi
neurologis
- Stroke
- Penyakit
Parkinson
- Traauma
medulla spinalis
- Neorupati
diabetik
- Gangguan
metabolik
- Hiperkalsemia
- Hipokalemia
- Hipotiroid
- Kausa
Psikologis
- Psikosis
depresi
- Demensia
- Kurang
privasi untuk BAB
- mengabaikan
dorongan BAB
- konstipasi
imajiner
- Penyakit-penyakit
saluran cerna
- Kanker
kolon
- Divertikel
- Illeus
- Hernia
- Volvulus
- Irritable
Bowel Syndrome
- Rektokel
- Wasir
- Fistula
atau Fissura ani
- Inersia
kolon
- Lain-lain
- Diet
rendah serat
- Kurang
cairan
- Imobilitas
atau kurang olahraga
- Bepergian
jauh
- Pasca
tindakan bedah perut
2.4
Manifestasi klinis
Anamnesis
yang terperinci merupakan hal terpenting untuk mengungkapkan adakah konstipasi
dan faktor resiko penyebabnya. Konstipasi merupakan suatu keluhan klinis yang
umum dengan berbagai tanda dan keluhan lain yang berhubungan.
Pasien yang
mengeluh konstipasi tidak selalu sesuai dengan patokan-patokan yang obyektif.
Misalnya jika dalam 24 jam belum BAB atau ada kesulitan dan harus mengejan
serta perasaan tidak tuntas untuk BAB sudah mengira dirinya menderita
konstipasi.
Beberapa
keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah :
- Kesulitan
memulai dan menyelesaikan BAB
- mengejan
keras saat BAB
- Massa
feses yang keras dan sulit keluar
- Perasaan
tidak tuntas saat BAB
- Sakit
pada daerah rektum saat BAB
- Rasa
sakit pada perut saat BAB
- Adanya
perembesen feses cair pada pakaian dalam
- Menggunakan
jari-jari untuk mengeluarkan feses
- Menggunakan
obat-obatan pencahar untuk bisa BAB
Pemeriksaan
fisis pada konstipasi sebagian besar tidak didapatkan kelainan yang jelas.
Walaupun demikian, pemeriksaan fisis yang teliti dan menyeluruh diperlukan
untuk menemukan kelainan-kelainan yang berpotensi mempengaruhi khususnya fungsi
usus besar. Diawali dengan pemerikssaan rongga mulut meliputi gigi gerigi,
adanya lesi selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap
dan proses menelan.
Pemeriksaan
daerah perut dimulai dengan inspeksi adakah pembesaran abdomen, peregangan atau
tonjolan. Selanjutnya palpasi pada permukaan perut untuk menilai kekuatan
otot-otot perut. Palpasi lebih dalam dapat meraba massa feses di kolon, adanya
tumor atau aneurisma aorta. Pada perkusi dicari antara lain pengumpulan gas
berlebihan, pembesaran organ, asietes, atau adanya massa feses. Auskultasi
antara lain untuk mendengarkan suara gerakan usus besar, normal atau berlebihan
misalnya pada jembatan usus. Pemeriksaan daerah anus memberikan petunjuk
penting, misalnya adakah wasir, prolaps, fisur, fistula, dan massa tumor di
daerah anus dapat mengganggu proses BAB.
Pemeriksaan
colok dubur harus dikerjakan antara lain untuk mengetahui ukuran dan kondisi
rektum serta besar dan konsistensi feses.
Colok dubur
dapat memberikan informasi tentang :
- Tonus
rektum
- Tonus
dan kekuatan sfingter
- Kekuatan
otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis
- Adakah
timbunan massa feses
- Adakah
massa lain (misalnya hemoroid)
- Adakah
darah
- Adakah
perlukaan di anus
Pemeriksaan
laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor-faktor resiko penyebab
konstipasi, misalnya glukosa darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia
yang berhubungan dengan keluarnya darah dari rektum, dan sebagainya. Prosedur
lain misalnya anuskopi dianjurkan dikerjakan secara rutin pada semua pasien
dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus, wasir dan keganasan.
Foto polos
perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi, terutama yang terjadinya
akut. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adakah impaksi feses dan adanya massa
feses yang keras yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon. Bila
diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium Enema untuk
memastikan tempat dan sifat sumbatan. Pemeriksaan intensif ini dikerjakan
secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil dan
dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu.
Uji yang
dikerjakan dapat bersifat anatomik (enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi)
atau fisiologik (waktu singgah di kolon, cinedefecografi, menometri, dan
elektromiografi). Proktosigmoidoskopi bisanya dikerjakan pada konstipasi yang
baru tejadi sebagai pprosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada
penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari rektum atau adanya riwayat
keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi.
Waktu
persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan
pemeriksaan radioologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini
terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan
bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
Sinedefecografi
adalah pemeriksaan radiologis daerah anaorektal untuk menilai evakuasi feses
secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi
serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya
mirip feses, dimasukkan ke dalam rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet
yang diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita diminta mengejan untuk
mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses
berlangsung.
Uji
manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat
istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal.
pemerikasaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan
fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respon
sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan
anatomik maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut sebagai
non-spesifik.
2.5
Komplikasi Konstipasi Pada Usia Lanjut
Walaupun
untuk kebanyakan orang usia lanjut, konstipasi hanya sekedar mengganggu, tetapi
untuk untuk sebagian kecil dapat berakibat komplikasi yang serius, misalnya
impaksi feses. Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya
penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan. Feses dapat menjadi
sekeras batu, di rektum (70%), sigmoid(20%), dan kolon bagian proksimal(10%).
Impaksi
feses penyebab penting dari morbiditas pada usia lanjut, menigkatkan resiko
perawatan di rumah sakit dan mempunyai potensi terjadinya komplikasi yang
fatal. penampilannya sering hanya berupa kemunduran klinis yang tidak spesifik.
kadang-kadang dari pemeriksaan fisis didapatkan panas sampai 39,5 o,
delirium perut yang tegang, suara usus melemah, aritmia serta takipnia karena
karena peregangan dari diafragma. pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis. peristiwa ini dapat disebabkan ulserasi sterkoraseus dari suatu
fecaloma yang keras menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang.
dapat terjadi perforasi dan penderita datang dengan sakit perut berat yang
mendadak.
Impaksi
feses yang berat pada daerah rektosigmoid dapat menekan leher kandung kemih
menyebabkan retensio urin, hidronefrosis bilateral, dan kadangh-kadang gagal
ginjal yang membaik setelah impaksi dihilangkan titik. Inkontinensia alvi juga
sering didapatkan, karena impaksi feses di daerah kolorektal.
Volvulus
daerah sigmoid juga sering terjadi sebagai komplikasi dari konstipasi. Mengejan
berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat
berakibat prolaps dari rektum.
2.6
Penatalaksanaan
Banyaknya
macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi, merangsang upaya
untuk memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila mungkin,
pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat
pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus,
harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi :
1. Pengobatan
non-farmakologis
- Latihan
usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang
disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya.
Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk
memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit
setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB.
Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap
tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda
dorongan untuk BAB ini.
- Diet :
peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia
lanjut. data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak
serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit
gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat
meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di
usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan
sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan
cairan.
- Olahraga
: cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi
konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan
umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk
memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni
pada otot perut
2.
Pengobatan farmakologis
Jika
modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan
biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat
pencahar :
- memperbesar
dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl
selulose, Psilium.
- melunakkan
dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak
kastor, golongan dochusate.
- golongan
osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya
pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose,
gliserin
- merangsang
peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang
banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa
dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan
berakibat dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila
dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara
tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi
sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada
konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui
penyebabnya serta tidak ada respons dengan pengobatan yang diberikan.
Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus,
tidak dilakukan tindakan pembedahan.
No comments:
Post a Comment