Juniartha Semara Putra
KARYA TULIS ILMIAH
KEPERAWATAN JIWA : HALUSINASI
A. KONSEP
HALUSINASI
Bab ini memaparkan tentang tinjauan pustaka
salah satu gejala positif dari penyakit Skizofrenia yaitu halusinasi yang
terdiri dari pengertian halusinasi, proses terjadinya masalah halusinasi dan
penatalaksanaan pada klien dengan halusinasi.
1. Pengertian
Halusinasi
Halusinasi adalah gangguan persepsi panca
indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem
penginderaan dimana terjadinya pada saat kesadaran individu itu penuh/baik
(Stuart dan Sundeen, 2005).
Halusinasi adalah persepsi yang salah
(misalnya tanpa stimulus eksternal) atau persepsi sensori yang tidak sesuai
dengan realita/kenyataan seperti melihat bayangan atau suara-suara yang
sebenarnya tidak ada (Johnson, 1995). Menurut Maramis (2005) halusinasi adalah
pencerapan tanpa ada rangsang apapun dari panca indera, dimana orang tersebut
sadar dan dalam keadaan terbangun yang dapat disebabkan oleh psikotik, gangguan
fungsional, organik atau histerik.
Halusinasi adalah suatu keadaan dimana
seorang mengalami perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulus yang mendekat
yang mendekat (yang diprakarsai secara internal atau eksternal) disertai dengan
suatu pengurangan, berlebih-lebihan, distorsi atau kelainan berespon terhadap
stimulus (Townsend, 2003).
Halusinasi merupakan pengalaman mempersepsi
yang terjadi tanpa adanya stimulus sensori eksternal yang meliputi
(penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, perabaan), akan tetapi yang
paling umum adalah halusinasi pendengaran (Rawlins, 1998). Menurut Carpenito
(1998) Perubahan persepsi sensori : halusianasi merupakan keadaan dimana
individu atau kelompok mengalami atau berisiko mengalami suatu perubahan dalam
jumlah, pola atau interprestasi stimulus yang datang.
Halusinasi adalah pengalaman panca indera
tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara,
bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari,
2001).
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang
keliru dan melibatkan panca indera (Isaacs, 2002). Menurut Cook dan
Fotaine (2001), halusinasi
adalah persepsi sensorik tentang suatu objek, gambaran dan pikiran yang sering
terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem
penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan atau pengecapan).
2. Proses
Terjadinya masalah
Menurut Stuart dan Laraia (2005) pada model
stress dan adaptasi dalam keperawatan jiwa terjadinya halusinasi disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain faktor predisposisi, stressor presipitasi,
penilaian terhadap stressor, sumber koping, mekanisme koping, dan rentang
respon.
a. Faktor
predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor
resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh
inidvidu untuk mengatasi stress baik secara biologis, psikologis, dan
sosiokultural dilingkungannya. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan
terjadinya halusinasi meliputi aspek biologi, psikososial, dan sosiokultural
(Yosep, 2009).
1) Biologis
Abnormalitas otak yang menyebabkan respons
neurobiologi yang maladaptif yang baru mulai dipahami. Ini termasuk hal-hal
berikut:
a) Terdapat
lesi pada area frontal, temporal dan limbic paling berhubungan dengan perilaku
psikotik
b) Beberapa
kimia otak dikaitkan dengan Skizofrenia. Hasil penelitian menunjukan hal-hal
berikut :
(1) Dopamin
neurotransmitter yang berlebihan. Dopamin merupakan suatu neurotransmitter yang
terlibat dalam pengontrolan gerakan yang kompleks sehingga seseorang yang
mengalami halusinasi cenderung banyak bergerak dan sering jalan mondar mandir.
(2) Ketidakseimbangan
antara dopamin dan neurotransmitter. Hal tersebut disebabkan karena adanya
stres berlebihan yang dialami seseorang yang dapat menghasilkan suatu zat yang
bersifat halusinogenik neurokimia di dalam tubuh sepertiBuffenon dan Dimetytranferase sehingga
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
(3) Masalah-masalah
pada sistem reseptor dopamin
2) Psikologis
Pada teori psikodinamika untuk terjadinya
respons neurobiologik yang maladaptif belum didukung oleh peneliti. Teori psikologik
terdahulu menyalahkan keluarga sebagai penyebab gangguan halusinasi.
3) Sosio-kultural
Pada sosiokultural yang banyak menunjang
terjadinya Skizofrenia dan gangguan psikotik adalah stress yang menumpuk tetapi
hal ini tidak menjadi penyebab utama gangguan.
4) Faktor
perkembangan
Menurut Erikson, tahap perkembangan
psikososial memiliki tugas perkembangan bardasarkan usia (Yosep, 2009) yaitu :
a) Bayi
(percaya versus tidak percaya)
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah
memandang dunia aman dan dapat dipercaya, hubungan sebagai pengasuhan, stabil
dan dapat diandalkan.
b) Todler
(otonomi versus rasa malu dan ragu)
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah
mencapai rasa kontrol dan bebas berkeinginan.
c) Prasekolah
(inisiatif versus rasa bersalah)
Tugas perkembangan pada tahap ini yaitu
memulai perkembangan suara hati, belajar menatalaksana konflik dan ansietas.
d) Usia
sekolah (industri versus inferioritas)
Tugas tahap perkembangannya yaitu
memunculkan kepercayaan diri terhadap kemampuan dan merasa senang akan
prestasi.
e) Remaja
(identitas versus bingung peran)
Memiliki tugas membentuk rasa diri dan rasa
memiliki.
f) Dewasa
muda (intimasi versus isolasi)
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah
membina hubungan orang dewasa, cinta dan kasih sayang yang bermakna bagi orang
lain.
g) Dewasa
menengah (generativitas versus stagnasi)
Tugas pada tahap ini yaitu bersikap kreatif
dan produktif serta membangun generasi berikutnya.
h) Maturitas
(integritas ego versus putus asa)
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah
menerima tanggung jawab diri dan kehidupan.
Berdasarkan tugas perkembangan di atas, ada
tahapan di mana seseorang dengan halusinasi memiliki tugas perkembangan yang
tidak terpenuhi secara optimal khususnya pada tahap bayi, todler dan sekolah
misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga sehingga menyebabkan klien
tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih
rentan terhadap stres. Hal ini cenderung dapat membuat seorang individu lebih
senang sendiri dan dapat menyebabkan individu tersebut mendengarkan informasi
yang sebenarnya tidak ada (Yosep, 2009).
b. Faktor
presipitasi
Stressor presipitasi adalah stimulasi yang
dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan
energi ekstra untuk koping yaitu meningkatkan stress dan kecemasan. Secara umum
klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang
bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak
berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart dan Laraia (2005), faktor
presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1) Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan
respons neurobiologist yang maladaptif termasuk gangguan dalam putaran umpan
balik otak yang mengatur proses informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu
masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi rangsangan.
2) Stress
lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi
terhadap stress yang berinteraksi dengan stress lingkungan untuk menentukan
terjadinya perilaku.
3) Perilaku
Respon seorang individu terhadap halusinasi
dapat berupa curiga, ketakutan, gelisah, bingung, perilaku merusak diri serta
tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan
Heacock (1993) masalah halusinasi dapat dipecahkan berlandaskan pada hakikat
keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar
unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima
dimensi (Yosep, 2009) yaitu :
a) Dimensi
fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b) Dimensi
emosional
Perasaan cemas yang berat karena masalah
yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi.
c) Dimensi
intelektual
Seorang individu dengan halusinasi akan
memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego walaupun pada awalnya halusinasi
merupakan usaha dari ego itu sendiri untuk melawan impuls yang menekan. Namun
hal tersebut menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian
individu dan tidak jarang akan mengontrol semua perilakunya.
d) Dimensi
sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial
dalam fase awal dan comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di
alam nyata sangat membahayakan sehingga klien asyik dengan halusinasinya. Oleh
karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan yaitu
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal
bagi klien sehingga halusinasi tidak berlangsung.
e) Dimensi
spiritual
Secara spiritual, individu yang mengalami
halusinasi mulai merasakan kehampaan hidup dan merasakan asyik dengan
halusinasinya. Sehingga hal ini dapat menimbulkan suatu kondisi dimana
halusinasi tersebut menguasai dirinya dan individu kehilangan kontrol
kehidupan.
4) Pemicu
gejala
Pemicu yang biasanya terdapat pada respons
neurobiologist yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap
dan perilaku individu.
5) Sumber
koping
Sumber koping yaitu suatu evaluasi terhadap
pilihan cara yang digunakan dan strategi seseorang untuk menyelesaikan suatu
masalah. Individu dapat mengatasi stres dan ansietas dengan menggunakan sumber
koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan
masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang
mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi
koping yang berhasil.
6) Mekanisme
koping
Mekanisme koping adalah upaya atau cara
untuk menyelesaikan masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri. Mekanisme koping terbagi menjadi 2 yaitu adaptif dan
maladaptif.
Adapun mekanisme koping yang adaptif pada
halusinasi yaitu :
a) Pemahaman
terhadap pengaruh gangguan otak pada perilaku
b) Kekuatan
dapat meliputi seperti modal inteligensia atau kreativitas yang tinggi
c) Dukungan
keluarga
Adapun mekanisme koping yang maladaptif
pada halusinasi yaitu :
a) Regresi
berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi
ansietas
b) Proyeksi
sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
c) Menarik
diri
7) Rentang
respon
Penilaian terhadap stressor yaitu respon
klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak
nyaman, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan
nyata dan tidak nyata. Menurut Stuart dan Larai (2001), halusinasi
merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang
respon neurobiologi.
B. PENATALAKSANAAN
HALUSINASI
Penatalaksanaan pada klien dengan
halusinasi terdiri dari penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan medis.
1. Penatalaksanaan
Keperawatan
Menurut Carpenito (2001) pemberian asuhan
keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama
antara perawat dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat
kesehatan yang optimal. Asuhan keperawatan juga menggunakan pendekatan proses
keperawatan yang terdiri dari pengkajian menentukan masalah atau diagnosa,
menyusun rencana tindakan keperawatan, implementasi dan evaluasi (Keliat,
2006). Penatalaksanaan keperawatan pada klien dengan halusinasi meliputi :
a. Pengkajian
Menurut Doenges (2006), hal-hal yang perlu
dikaji pada klien dengan halusinasi adalah :
1) Aktivitas
atau istirahat
Gangguan tidur karena halusinasi dan
pikiran delusi, bangun lebih awal, insomnia dan hiperaktivitas (misalnya
berjalan terus).
2) Higiene
Kebersihan personal kurang, terlihat kusut
/ tidak terpelihara
3) Neurosensori
a) Riwayat
perubahan fungsi neurosensori selama paling sedikit 6 bulan termasuk fase aktif
dari gejala psikotik paling sedikit selama 2 minggu
b) Laporan
keluarga tentang gejala psikologis (terutama pada pikiran dan persepsi) dan
semakin buruk dari gejala fungsi sebelumnya
c) Status
mental :
(1) Pikiran
Delusi, hilangnya kemampuan
untuk menghubungkan
sesuatu
(2) Persepsi Halusinasi,
ilusi
(3) Afek
Tumpul, datar, tidak sesuai, tidak tepat
(4) Kemauan,
Tidak dapat memulai sesuatu sendiri atau berpartisipasi dalam aktivitas
berorientasi
(5) Kapasitas
untuk berhubungan dengan lingkungan Kemunduran mental / emosi dan isolasi
dan / atau aktivitas psikomotor dengan rentang peredaran yang khas sampai
aktivitas tidak bertujuan
(6) Wicara,
Sering kali dapat terjadi inkoheren, ekolalia mungkin dapat terlihat, alogia
(tidak mampu untuk berbicara)
(7) Delusi
Tipe
disorganisasi : delusi fragmentasi atau halusinasi tidak disorganisasi, umumnya
tanpa tema, tidak ada delusi sistematis
Tipe
paranoid : satu atau lebih delusi sistematis dengan isi utama berupa ide aniaya
atau waham, delusi kecemburuan juga dapat terjadi
Tipe
tanpa diferensiasi : delusi nyata
(8) Perilaku
Wajah meringis, terlalu sopan, mengeluhkannya kesehatan, menarik diri dari
sosial secara drastis dan perilaku aneh
(9) Negativisme,
Menolak semua petunjuk atau usaha untuk melakukan sesuatu tanpa motif yang
jelas.
(10) Rigiditas,
Postur tubuh dipertahankan kaku meskipun usaha menggerakkan klien dilakukan
(11) Kegembiraan
Aktivitas motorik tanpa tujuan yang bukan disebabkan oleh stimulus eksternal
(12) Sikap
tubuh Sikap tubuh yang ganjil atau tidak pada tempatnya
(13) Emosi
Kecemasan, marah, argumentative dan kekerasan yang tidak berfokus
4) Tanda
dan gejala halusinasi
Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang
terkait dengan halusinasi adalah sebagai berikut:
a) Bicara
sendiri
b) Senyum
sendiri
c) Ketawa
sendiri
d) Menggerakkan
bibir tanpa suara
e) Pergerakan
mata yang cepat
f) Respon
verbal yang lambat
g) Menarik
diri dari orang lain
h) Berusaha
untuk menghindari orang lain
i) Tidak
dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata
j) Terjadi
peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah
k) Perhatian
dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik
l) Berkonsentrasi
dengan pengalaman sensori
m) Sulit
berhubungan dengan orang lain
n) Ekspresi
muka tegang
5) Tahapan-tahapan
Halusinasi
Ada beberapa tahapan-tahapan pada klien
dengan halusinasi antara lain (Yosep, 2009) yaitu :
a) Stage
I : Sleep Disorder (fase awal seseorang sebelum muncul
halusinasi)
Klien merasa banyak masalah, ingin
menghindari dari lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak
masalah. Masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi,
misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dihianati kekasih, masalah dikampus,
diPHK ditempat kerja, penyakit, utang, nilai dikampus, drop out, dan
sebagainya. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan support sistem
kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung
terus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap lamunan-lamunan
awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
b) Stage
II : Comforting Moderate level of anxiety (halusinasi secara
umum diterima sebagai sesuatu yang alami)
Klien mengalami emosi yang berlanjut
seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaa berdosa, ketakutan dan mencoba
memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman
pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahap
ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinasinya.
c) Stage
III : Condemning Severe level of anxiety (secara umum
halusinasi sering mendatangi klien)
Pengalaman sensori klien menjadi sering
datang dan mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya
dan mulai berupayah menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang
dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain dengan intensitas waktu
yang lama.
d) Stage
IV : Controlling Severe level of anxiety (fungsi sensori
menjadi tidak relevan dengan kenyataan)
Klien mencoba melawan suara-suara atau
sensori abnormal yang datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya
berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguanPsychotic.
e) Stage
V : Conquering Panic level of anxiety (klien mengalami
gangguan dalam menilai lingkungannya)
Pengalaman sensorinya terganggu, klien
mulai merasa terancam dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak
dapat menuruti ancaman atau perintah yang di dengar dari halusinasinya.
Halusinasi dapat berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila klien
tidak mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat.
6) Jenis-jenis
Halusinasi
Menurut Sunaryo (2004)
halusinasi terbagi beberapa jenis antara lain:
a) Halusinasi
penglihatan (Halusinasi Optik) adalah apa yang
dilihat seolah-olah berbentuk orang, binatang, barang, atau benda. Apa yang
dilihat seolah-olah tidak berbentuk sinar, kilatan atau pola cahaya. Apa yang
dilihat seolah-olah berwarna atau tidak berwarna.
b) Halusinasi
pendengaran (Halusinasi
akustik) adalah
halusinasi yang seolah-olah mendengar suara manusia, suara hewan, suara barang,
suara mesin, suara musik, dan suara kejadian alami.
c) Halusinasi
penciuman (Halusinasi
olfaktori) adalah
halusinasi yang seolah-olah mencium suatu bau tertentu.
d) Halusinasi
pengecap (Halusinasi gustatorik) adalah
halusinasi yang seolah-olah mengecap suatu zat atau rasa tentang sesuatu yang
dimakan.
No comments:
Post a Comment