WHO AM I?

I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA POLTEKKES KEMENKES DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN

Friday, June 8, 2012

GAGAL GINJAL KRONIK (CRONIC RENAL FAILURE)

Juniartha Semara Putra


GAGAL GINJAL KRONIK (CRONIC RENAL FAILURE)
OLEH:
I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA
P07120011014
1.1 REGULER

POLTEKKES KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2012
GAGAL GINJAL KRONIK (CRONIC RENAL FAILURE)
A.   PENGERTIAN GAGAL GINJAL KRONIK
a.       Gagal ginjal kronik atau Cronic Renal Failure  (CRF) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Gagal ginjal kronis biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang dan berat. Azotemia adalah peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat.
b.      Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
c.       Gagal ginjal kronik merupakan gagal ginjal yang progresif dan lambat biasanya berlangsung beberapa tahun ( Lorrainem M. Wilson ).
d.      Gagal ginjal kronik adalah penurunan semua fungsi yang bertahap diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Mary E. Doengoes, 2000).
e.       Gagal ginjal kronik adalah suatu proses penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis dan transplantasi ginjal (Aru A. Sudoyo, 2006).
f.       Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia (Suzanne C.Smeltzer, 2001).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible, diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan uremia.
B.   PATOFISIOLOGI GAGAL GINJAL KRONIK
Terdapat dua pendekatan teoretis yang umumnya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi pada gagal ginjal kronik. Sudut pandang tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stdium yang berbeda-beda, dan bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya, lesi organikpada medulla akan merusak susunan asotomik pada lengkung Henle dan Vasa rekta, pompa klorida pada pars asendens lengkung Henle dan aliran balik penukar. Pendekatan kedua dikerjakan dengan nama hipotesis bricker atau hipotesis nefron yang utuh, yang berpendapat bahwa bila nefron serang penyakit, maka seluruh unitnya akan hancur namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan terjadi bila jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis nefron ynag utuh sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit gagal ginjal kronik, yaitu kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun.
Untuk peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal kronik dapat diuraikan dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun penyakit gagal ginjal kronik terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostatis tidaklah berubah, kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif.
Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respons terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFr untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal.
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun  akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban untuk terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus atau kesimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak akan lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR ( yang berarti makin sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron.
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm ( yaitu sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan rekturia. Sebagai contoh, seseorang dengan makanan normal mengekskresi zat terlarut sekitar 600 mOsm per hari. Kalu orang tersebut tidak dapat lagi memekatkan urinenya dari osmolalitas plasma normal sebesar 285 mOsm, maka tanpa memandang banyaknya asupan air akan terdapat kehilangan obligatorik 2 liter air untuk ekskresi zat terlarut 600 mOsm (285 mOsm/liter). Sebagai respons terhadap beban zat terlarut yang sama dan keadaan kekurangan cairan, orang normal dapat memekatkan urine sampai 4 kali lipat konsentrsi plasma dan dengan demikian hanya akan mengekskresi sedikit urine yang pekat. Bila GFR terus turun sampai akhirnya mencapai nol, maka semakin perlu mengatur asupan cairan dan zat terlarut secara tepat untuk mampu mengkomodasikan penurunan fleksibilitas fungsi ginjal.
Hipotesis nefron yang utuh ini didukung beberapa pengamatan eksperimental. Bricker dan Fine (1969) memperlihatkan bahwa pasien pielonitritis dan anjing- anjing yang ginjalnya rusak pada percobaan, nefron yang masih bertahan akan mengalami hipertrofi dan menjadi lebih aktif dari keadaan normal. Juga diketahui bahwa bila satu ginjal seorang yang normal dibuang, maka ginjal yang tersisa akan mengalami hipertrofi dan fungsi ginjal ini mendekati kemampuan yang sebelumnya dimiliki oleh kedua ginjal itu secara bersama-sama.
Juga terbukti bahwa ginjal normal dengan beban zat terlarut meningkat akan bertindak sama seperti ginjal yang mengalami gagal ginjal kronik. Hal ini mendukung hipotesis nefron yang utuh. Data eksperimental memperlihatkan bahwa dengan meningkatnya jumlah beban zat terlarut secara progresif, maka kemampuan pemekatan urine dalam keadaan kekurangan air atau kemampuan pengenceran urine dalam keadaan asupan air yang banyak akan menghilang secara progresif. Kedua kurva mendekati berat jenis 1,010 sampai urine menjadi isoosmotik dengan plasma pada 285 mosm sehingga terjadi berat jenis yang tetap.
Keadaan percobaan tersebut iatas ditimbulkan pada seorang normal dengan memberikan manitol (suatu diuretic osmotik). Dalam keadaan ini setiap nefron yang normal mengalami diuresis osmotik disertai kehilangan air obligatorik. Ginjal kehilangan fleksibilitas untuk memekatkan maupun mengencerkan urine dari osmolalitas plasma sebesar 285 mOsm.
Tercatat beberapa kali bahwa gagal ginjal kronik sering bersifat progresif, bahkan bial faktor pencetus cedera disingkirkan. Sebagai conto, pada anak-anak dengan pielonefritis kronik yang disebabkan oleh refluks vesikouretral dan infeksi traktus urinarius yang berulang akan timbul jaringan parut pielonefritis yang menyerang tubulus dan interstisium, namun, bila refluks tersebut dikoreksi secara bedah dan infeksi ginjal dihentikan dengan antibiotik, gagal ginjal kronik tetap akan berlanjut. Observasi ini telah memulai upaya penelitian utama baru-baru ini untuk mempelajari alasan perkembangan penyakit ginjal dan cara untuk menghentikan atau memperlambat perkembangan tersebut.
Penjelasan terbaru yang paling popular untuk gagal ginjal kronik tampa penyakit primer yang aktif adalah Hipotesis hiperfiltrasi. Menurut hiperfiltrasi tersebut, nefron yang utuh pada akhirnya akan cedera karena kenaikan aliran plasma dan GFr serta kenaikan tekanan hidrostatik intrakapiler glomerulus (misalnya, tekanan kapiler glomerulus). Walaupun kenaikan SNGFR dapat menyesuaikan diri dengan lari jangka pendek, namun tidak dapat menyesuaikan dengan lari jangka panjang.
Sebagian besar bukti teori hiperfiltrasi untuk cedera sekunder berasal dari model sisa ginjal pada tikus. Jika satu ginjal pada tikus diangkat dan dua pertiga dari ginjal yang lain rusak, terlihat bahwa binatang tersebut akan mengalami gagal ginjal stadium akhir dalam waktu 6 bulan, walaupun tidak ada penyakit ginjal primer. Tikus itu mengalami proteinuria, dan biopsi ginjal pada sisa glomerulus memperlihatkan glomerulosklerosis yang menyerupai lesi pada banyak penyakit ginjal primer. Satu penjelasan untuk lesi ginjal dan gagal ginjal kronik berdasarkan pada perubahan fungsi dari struktur yang timbul ketika jumlah nefron yang utuh menurun pada binatang percobaan.
Penyesuaian fungsi terhadap penurunan massa nefron menyebabkan hipertensi sistemik dan peningkatan SNGFR pada sisa nefron yang utuh. Peningkatan SNGFR sebagian besar dicapai melalui dilatasi ateriol aferen. Pada saat yang bersamaan, arteriol eferen berkontraksi karena pelepasan angiotensin II local. Sebagai akibatnya, aliran plasma ginjal meningkat, karena sebagian besar tekanan sistemik dipindahkan ke glomerulus.
Kompensasi fungsional ini berkaitan dengan perubahan structural yang bermakna. Volume rumbai glomerulus meningkat tanpa diiringi peningkatan jumlah sel epitel visera, dan mengakibatkan penurunan densitas dalam rumbai glomerulus yang membesar. Diyakini bahwa kombinasi hipertensi glomerulus dan hipertrofi merupakan perubahan yang signifikan yang menyebabkan cedera sekunder dari rumbai glomerulus dan merusak nefron dengan progresif. Penurunan densitas epiter visera menyebabkan penyatuan pedikulus dan hilangnya selektif terukur sehingga akan meningkatkan protein yang hilang dalam urine. Peningkatan permeabilitas dan hipertensi intraglomerulus juga membantu akumulasi dari protein besar (misalnya, immunoglobulin M (IgM) dalam subendotelial. Subendotelial ini menumpuk bersama prolefirasi matriks mesangial yang pada akhirnya menyebabkan penyempitan lumen kapiler akibat tertekan. Cedera sekunder lainya adalah pembentukan mikroaneurisma akibat disfungsi sel endotel. Akibat keseluruhan adalah kolapsnya kapiler glomerulus dan glomerulosklerosis, yang ditunjukkan dengan protenuria dan gagal ginjal kronik. Selain itu, rangkaian ini menyebabkan timbale balik positif dari lengkung henle dengan percepatan proses yang destruktif, sehingga semakin sedikit sisa nefron yang utuh. Perubahan struktur dan fungsional akan menyebabkan cedera sekunder pada glomerulus.
C.   ETIOLOGI GAGAL GINJAL KRONIK
Menurut Smeltzer, Suzanne, 2002 hal 1448, penyebab dari gagal ginjal kronik adalah:
v  Diabetus mellitus
v  Glumerulonefritis kronis
v  Pielonefritis
v  Hipertensi tak terkontrol
v  Obstruksi saluran kemih
v  Penyakit ginjal polikistik
v  Gangguan vaskuler
v  Lesi herediter
v  Agen toksik (timah, kadmium, dan merkuri)
Sedangkan penyebab dari gagal ginjal kronik menurut Lorrainem M. Wilson terbagi menjadi delapan kelas yaitu:
1        Infeksi Traktus Urinarius, Pielonefritis, Dan Nefropati Refluks
    Infeksi traktur urinarius, sring terjadi menyerang manusia tanpa memandang usia terutama perempuan. Infeksi traktus urinarius bertanggung jawab atas sekitar 7 juta kunjungan pasien kepada dokter setiap tahunnya di Amerika Serikat ( Stam, 1998). Secara mikrobiologi infeksi traktus urinarius dinyatakan ada jika terdapat bakteriuria yang ditemukan mikroorganisme pathogen 105/mL pada urine pancaran tengah yang dikumpulkan dengan cara yang benar abnormalnya dapat hanya berupa kolonisasi bakteri dari urine atau bakteriuria dapat disertai infeksi simtomatik dari struktur-struktur traktur urinarius. Infeksi traktur urinarius umumnya terbagi dalam subkategori besar: infeksi traktur urinarius bagian atas atau Pielonefritis Akut dan infeksi traktur urinarius bawah atau Sistitis akut.
     Sistitis akut (infeksi vesika urinaria) dan pielonefritis akut (infeksi pelvis dan interstisium ginjal) adalah infeksi yang paling berperan dalam menimbulkan morbiditas, tetapi jarang berakhir sebagai gagal ginjal kronik. Pielonefritis krinik adalah cedera ginjal kronik yang menunjukkan pembentukan jaringan parut parenkimal pada pemeriksaan IVP, disebabkan oleh infeksi berulang atau infeksi menetap pada ginjal.
2        Glomerulonefritis
     Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan pada hematuria. Meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal kronik. Penyakit ini mula-mula digambarkan oleh Richard Bright tahun 1827 sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respons imun menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.
  Pada beberapa tahun terakhir, penyakit tentang perubahan patologik penyakit ginjal kronik berkembang pesat melalui pemeriksaan biopsi dengan mikroskop cahaya, maka timbul kategori-kategori karena bertambahnya kemampuan untuk mendefinisikan sifat alamiah lesi ginjal. Berbagai usaha yang dilakukan untuk  memisahkan dan memilah berbagai jenis glomerulonefrritis dengan menghubungkan gambaran histologist dan klinisnya.
  Saying berbagai kategori tersebut tidak eksklusif dan dan dimengerti mengapa cirri-ciri tersebut tumpang tindih karena ginjal hanya mempunyai respons fungsional dan morfologik yang terbatas. Kebingungan semakin bertambah karena berbagai gangguan sitemik matabolik yang menyerang ginjal dan menimbulkan perubahan-perubahan pada glomerulus yang tidak dapat dibedakan dengan glomerulonefritis primer.
3        Nefrosklerosis Hipertensif
 Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang menetap di atas normal yang disepakati, yaitu diastolic 90 mmHg atau sistolik 140 mmHg. Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya, penyakit gagal ginjal kronik yang berat dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan dalam hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air, pengaruh vasopresor dari sistem renin-angitensin, dan mungkin pula melalui difisiensi prostaglandin. Kadang kadang sulit bagi seorang ahli nefrologi untuk menentukan mana yang primer.
   Nefrosklerosis atau pengerasan ginjal menunjukkan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal akibat hipertensi. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal kronik, terutama pada populasi bukan orang kulit putih.
4        Gangguan Jaringan Ikat
   Gangguan jaringan ikat atau penyakit kolagen merupakan penyakit sistemik yang manifestasinya terutama jaringan lunak tubuh. Kasus ini sangat menarik dalam nefrologi karena ginjal sering terserang. Sekitar dua pertiga pasien Lupus Eritematosus Sitemik ( penyakit multisistem yang tidak diketahui asalnya dan ditandai dengan autoantibodi dalam sirkulasi terhadap DNA) dan Sklerosis Sistemik Progresif ( penyakit sistemik yang jarang dijumpai dan ditandai dengan sklerosis dari kulit dan organ-organ lain).
5        Gangguan Kongenital Heriditer
   Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan gangguan heriditer yang terutama mengenai tubulus ginjal dan dapat berakhir pada gagal ginjal, walaupun gagal ginjal lebih sering dijumpai pada penyakit polikistik. Kedua penyakit ini mempunyai bentuk infantile dan bentuk dewasa yang manifestasinya sangat berbeda.
6        Gangguan Metabolik
   Gangguan metabolik yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik antara lain diabetes mellitus, hiperparatiroidisme, dan amiloidosis.
v  Diabetes Melitus
Nefropati diabetika atau penyakit ginjal pada pasien diabetes merupakan salah satu penyebab kematian terpenting pada diabetes melitus yang lama. Lebih dari sepertiga dari semua pasien baru yang masuk dalam program ESRD menderita gagal ginjal. Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 40% pasien diabetes tipe 1 berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam wantu 15 hingga 25 tahun setelah awitan diabetes. Individu dengan diabetes tipe 2 lebih sedikit yang berkembang menjadi gagal ginjal kronik dengan pengecualian pada orang Indian Pima dengan insidensi mendekati 50%. Diabetes melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terdapat di ginjal pada diabetes melitus. Glomerulosklerosis diabetik dapat merupakan lesi yang paling sering terjadi, trediri dari penebalan difus matriks mesangeal dengan eosinofilik disertai penebalan membran kapiler.
v  Hiperparatiroidisme Primer
Hiperparatiroidisme primer yang menyebabkan hiperskresi hormone paratiroid, merupakan penyakit yang relatif langka yang dapat mengakibatkan sefrokalsinosis dan selanjutnya dapat menyebabkan gagal ginjal. Hiperparatiroidisme sekunder merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada gagal ginjal kronik. Manifestasi penyakit ini sama walaupun bersifat primer maupun sekunder.
v  Amiloidosis
Amiloidosis merupakan suatu penyakit metabolik dengan penimbunan amiloid atau suatu protein ektraseluler yang abnormal pada berbagai jaringan. Timbunan amiloid ini dapat merusak ginjal, hepar, limpa, jantung, lidah, dan sistem saraf. Amiloid terdeteksi secara histologist sebagai bahan hialin berwarna merah muda terang, amiloid juga menangkap beberapa pewarna khusus seperti merah Congo. Amiloid dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat protein precursor dan berdasarkan apakah penimbunan amiloid terjadi secara sistemik (melibatkan banyak organ) atau hanya terbatas pada satu organ atau jaringan.
7        Nefropati Toksik
   Ginjal khususnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan, dan bahan-bahan kimia karena beberapa alasan, antara lain:
Ø  Ginjal menerima 25% dari curah jantung sehingga sring dan mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah besar.
Ø  Interstisium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia dikonsentrasikan pada daerah yang relative hipovaskuler.
Ø  Ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk sebagian besar obat, sehingga insufisiensi ginjal mengakibatkan konsentrasi dalam cairan tubulus.
  Nefrotoksin yang paling sering dijumpai menyebabkan timbulnya gagal ginjal akut. Gagal ginjal kronik dapat terjadi akibat penyalahgunaan analgetik dan panjanan timbal.
a.       Penyalahgunaan Analgetik
Secara umum bahwa penyalahgunaan analgetik dalam waktu lama dapat menyebabkan cedera ginjal. Gagal ginjal akibat kelebihan pemakaian analgetik merupakan permasalahan yang cukup sering dijumpai dan barangkali merupakan bentuk penyakit ginjal yang paling mudah dicegah. Insidennya bervariasi, bergantung pada perbedaan daerah tempat penyalahgunaan ini terjadi. Secara keseluruhan nefropati analgetik berjumlah sebanyak 9%, 3%, dan kurang dari 1% dapat pasien menjalani dialisis di Australiadan Amerika Serikat secara berurutan ( USDR, 1995).
b.      Panjanan Timbal
Pengaruh terhadap timbale terjadi pada beberapa jenis pekerjaan, dan timbale dapat pula tertelan oleh peminum Wisky yang terdestilasi secara tidak semestinya. Timbale yang masuk ke dalam tubuh akan bergabung dengan tulang dan secara perlahan-lahan akan dilepaskan kembali setelah selang waktu bertahun-tahun. Timbal juga akan terikat pada tubulus ginjal. Pasien dengan nefropati timbale secara khas menderita hiperurisemia. Artritis gout akut terjadi pada kira-kira setengah dari pasien nefropati timbale, sebaliknya, gout jarang terjadi pada bentuk gagal ginjal yang lain. Hepertensi sering terjadi. Lesi ginjal dasar adalah nefritis interstisial, dan dapat menyebabkan gagal ginjal yang berjalan progresif lambat.
D.   PERJALANAN KLINIS GAGAL GINJAL KRONIK
Tinjauan mengenai perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat diperoleh dengan melihat kreatinin dengan laju filtrasi glomerolus sebagai persentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah karena massa nefron dirusak secara progresif oleh penyakit ginjal krinik.
Perjalanan klinis umum gagal ginjal kronis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium I disebut Penurunan Cadangan Ginjal. Selama stadium ini kreatinim serum dan kadar BUN normal, dan pasien sintomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti tes pemekatan urine atau dengan mengadakan tes GFR yang teliti.
Stadium II perkembangan tersebut disebut Insufisiensi Ginjal, bila lebih dari75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat di atas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, bergantung pada kadar protein dalam makanan. Selain itu, pada stadium II kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Pada stadium II ini mulai timbul gejala-gejala Nokturia dan Poliuria yang merupakan akibat gangguan kemampuan pemekatan. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stres dan perubahan makanan dan minuman yang tiba-tiba. Pasien biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan yang teliti. Nokturia atau berkemih di malam hari merupakan gejala pengeluaran urine waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 mL atau pasien terbangun untuk berkemih beberapa kali waktu malam hari. Nokturia disebabkan oleh hilangnya pola pemekatan urine diurnal normal samapai tingkatan tertentudi malam hari.
Sedangkan Poliuria merupakan peningkatan volume urine yang terus menerus. Pengeluaran urine normal sekitar 1500 mL perhari dan berubah-ubah sesuai dengan jumlah cairan yang diminum. Poliuria akibat insufisiensi ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun biasanya Poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari.
Stadium III atau stadium akhir gagal ginjal kronik yang disebut Penyakit Ginjal Stadium Akhir (ESDR) atau Uremia. Uremia terjadi apabila 90% dari massa nefron telah hancur atau hanya sekitar 200.000 nefron yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 mL per menit atau kurang. Pada keadaan ini, kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap GFR yang mengalami sedikit penurunan.
Pada Uremia, pasien mulai merasakan gejala-gejal yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolis dalam tubuh. Urine menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar1,010. Pasien biasanya menjadi oligurik atau pengeluaran urine kurang dari 500 mL/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala dinamakan Sindrom Uremik memengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium III, pasien akan meninggal kecuali bila mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialysis.
Meskipun perjalanan klinis gagal ginjal kronik dibagi menjadi tiga stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut. Bentuk hiperbolik grafik azotemia yang dihasilkan terdapat nilai GFR menggambarkan penyakit yang lebih lanjut tetapi meningkat secara perlahan-lahan, makin lama makin cepat.
E.    TANDA DAN GEJALA
Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifestasi klinik mengenai dihampir semua sistem  tubuh manusia, seperti:
a.       Gangguan pada Gastrointestinal
Dapat berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan dengan terbentuknya zat toksik (amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu oleh bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif hampir dijumpai pada 90 % kasus Gagal Ginjal Kronik, bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik.


b.      Kulit
Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada  kulit.
c.       Hematologi
Anemia merupakan gejala yang hampr selalu ada pada Gagal Ginjal Kronik. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal tanpa disertai anemia perlu dipikirkan apakah suatu Gagal Ginjal Akut atau Gagal Ginjal Kronik dengan penyebab polikistik ginjal yang disertai polistemi. Hemolisis merupakan sering timbul anemi, selain anemi pada Gagal Ginjal Kronik sering disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga pada penderita Gagal Ginjal Kronik mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang menurun.
d.      Sistem Saraf Otot
Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau koma.
e.       Sistem Kardiovaskuler
Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme terjadinya hipertensi pada Gagal Ginjal Kronik oleh karena penimbunan garam dan air, atau sistem renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan elektrolit.
f.       Sistem Endokrin
Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai pada Gagal Ginjal Kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan menstruasi  sampai aminore. Toleransi glukosa sering tergangu paa Gagal Ginjal Kronik, juga gangguan metabolik vitamin D.
g.      Gangguan Lain
Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan elektrolit dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik, hiperkalemia, hiperforfatemi, hipokalsemia.
F.    PEMERIKSAAN PENUNJANG GAGAL GINJAL KRONIK
Menurut Rencana Asuhan Keperawatan, Marilyn E Doenges dkk, pemeriksaan penunjang untuk mengetahui bahwa seseorang menderita gagal ginjal kronik atau tidak, yaitu:
a.       Urine
ü Volume                  :     Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)
ü Warna                    :     Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.
ü Berat jenis             :     Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat).
ü Osmolalitas           :     Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio urine/serum sering 1:1
ü Klirens keratin       :     Mungkin agak menurun
ü Natrium                 :     Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium
ü Protein                   :     Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
b.      Darah
ü  BUN / Kreatin      :     Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi  kadar kreatinin 16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
ü  Hitung darah lengkap : Ht :  Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari 78 g/dL
ü  SDM                     :     Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
ü  GDA : pH             :     Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun,  PCO2 menurun .
ü  Natrium Serum      :     Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal (menunjukan status dilusi hipernatremia).
ü  Kalium                  :     Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
ü  Magnesium/Fosfat                :  Meningkat
ü  Kalsium                     :  Menurun.
ü  Protein (khususnya Albumin) :  Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
ü  Osmolalitas Serum  :   Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
ü  KUB fota                :   Menunujukkan ukuran ginjal / ureter /  kandung kemih dan adanya obstruksi (batu).
ü  Piolegram Retrograd   :  Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
ü  Arteriogram Ginjal      :  Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular massa.
ü  Sistouretrogram Berkemih   :  Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.
ü  Ultrasono Ginjal                 : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
ü  Biopsi Ginjal        :   Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histoligis.
ü  Endoskopi Ginjal, Nefroskopi :  Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
ü  EKG                     :  Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
ü  Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dn Tangan : Dapat menunjukan demineralisasi, klasifikasi.




G.   PENCEGAHAN GAGAL GINJAL KRONIK
Pemeliharaan kesehatan umum dapat menurunkan jumlah individu yang menjadi insufisiensi. Sampai menjadi kegagalan ginjal. Perawatan ditujukan kepada pengobatan masalah medis dengan sempurna dan mengawasi status kesehatan orang pada waktu mengalami stress, infeksi, dan kehamilan (Perawatan Medikal Bedah, Barbara C Long).
H.   PENGOBATAN/PENATALAKSANAAN GAGAL GINJAL KRONIK
Tujuan penatalaksaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Adapun penatalaksaannya sebagai berikut :
a.       Diet tinggi kalori dan rendah protein
Diet rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan gejala. Hindari masukan berlebihan dari kalium dan garam.
b.      Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
Biasanya diusahakan hingga tekanan vena juga harus sedikit meningkat dan terdapat edema betis ringan. Pada beberapa pasien, furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretic 100p (bumetanid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan, sementara pasien lain mungkin memerlukan suplemen natrium klorida atau natrium bikarbonat oral. Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine, dan pencatatan keseimbangan cairan (masukan melebihi keluaran sekitar 500 ml).
c.       Kontrol hipertensi
Bila tidak terkontrol dapat terakselerasi dengan hasil akhir gagal kiri pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung tekanan darah, sering diperlukan diuretik loop, selain obat anti hipertensi.
d.      Kontrol ketidaksemibangan elektrolit
Yang sering ditemukan adalah hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah hiperkalemia, dihindari masukan kalium yang besar (batasi hingga 60 mmol/hari), diuretik hemat kalium, obat-obatan yang berhubungan dengan eksresi kalium (misalnya penghambat ACE dan obat anti inflamasi non steroid), asidosis berat, atau kekurangan garam yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi melalui kadar kalium plasma dan EKG. Gejala-gejala asidosis baru jelas bila bikarbonat plasma kurang dari 15 mmol/liter biasanya terjadi pada pasien yang sangat kekurangan garam dan dapat diperbaiki secara spontan dengan dehidrasi. Namun perbaikan yang cepat dapat berbahaya.
e.       Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal
Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti alumunium hidroksida (300-1800 mg) atau kalsium karbonat (500-3000mg) pada setiap makan. Namun hati-hati dengan toksisitas obat tertentu. Diberikan supplemen vitamin D dan dilakukan paratiroidektomi atas indikasi.
f.       Deteksi dini dan terapi infeksi
Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imuosupresif dan diterapi lebih ketat.
g.      Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal
Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena metabolitnya toksik dan dikeluarkan oleh ginjal. Misalnya digoksin, aminoglikosid, analgesic opiat, amfoterisin dan alupurinol. Juga obat-obatan yang meningkatkan katabolisme dan ureum darah, misalnya tetrasiklin, kortikosteroid dan sitostatik.
h.      Deteksi dan terapi komplikasi
Awasi denagn ketat kemungkinan ensefelopati uremia, perikarditis, neurepati perifer, hiperkalemia yang meningkat, kelebihan cairan yang meningkat, infeksi yang mengancam jiwa, kegagalan untuk bertahan, sehingga diperlukan dialysis.
i.        Persiapan dialysis dan program transplantasi
Segera dipersiapkan setelah gagal ginjal kronik dideteksi. Indikasi dilakukan dialysis biasanya adalah gagal ginjal dengan klinis yang jelas meski telah dilakukan terapi konservatif atau terjadi komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA :
Corwin, E. J. (2000). Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC.
Ganong, W. F. (1998). Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 17. Jakarta: EGC.
Guyton, A. C. (1995). Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Guyton, A. C. & Hall, J. E. (1997). Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.
http://www.google.com



No comments: