Juniartha Semara Putra
GAGAL GINJAL KRONIK (CRONIC RENAL
FAILURE)
OLEH:
I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA
P07120011014
1.1 REGULER
POLTEKKES KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2012
GAGAL GINJAL KRONIK (CRONIC RENAL FAILURE)
A.
PENGERTIAN
GAGAL GINJAL KRONIK
a.
Gagal
ginjal kronik atau Cronic Renal Failure (CRF) merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Gagal ginjal
kronis terjadi dengan lambat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan
penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan bertahap dalam
gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Gagal ginjal
kronis biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara
bertahap. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang
dapat digolongkan ringan, sedang dan berat. Azotemia adalah peningkatan
nitrogen urea darah (BUN) dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma
meningkat.
b.
Gagal
ginjal kronik merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible,
yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
c.
Gagal
ginjal kronik merupakan gagal ginjal yang progresif dan lambat biasanya
berlangsung beberapa tahun ( Lorrainem M. Wilson ).
d.
Gagal ginjal kronik adalah penurunan
semua fungsi yang bertahap diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit (Mary E. Doengoes, 2000).
e.
Gagal ginjal kronik adalah suatu proses
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya pada suatu derajat
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis dan transplantasi
ginjal (Aru A. Sudoyo, 2006).
f.
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang
progresif dan reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia
(Suzanne C.Smeltzer, 2001).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible, diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan uremia.
B.
PATOFISIOLOGI
GAGAL GINJAL KRONIK
Terdapat dua pendekatan teoretis
yang umumnya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi pada gagal ginjal
kronik. Sudut pandang tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron telah
terserang penyakit namun dalam stdium yang berbeda-beda, dan bagian-bagian
spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja
benar-benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya, lesi organikpada medulla
akan merusak susunan asotomik pada lengkung Henle dan Vasa rekta, pompa klorida
pada pars asendens lengkung Henle dan aliran balik penukar. Pendekatan kedua
dikerjakan dengan nama hipotesis bricker atau hipotesis nefron yang utuh, yang
berpendapat bahwa bila nefron serang penyakit, maka seluruh unitnya akan hancur
namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan terjadi bila
jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan
elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis nefron ynag utuh sangat
berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit gagal ginjal
kronik, yaitu kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit
tubuh kendati GFR sangat menurun.
Untuk peristiwa dalam patofisiologi
gagal ginjal kronik dapat diuraikan dari segi hipotesis nefron yang utuh.
Meskipun penyakit gagal ginjal kronik terus berlanjut, namun jumlah zat
terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostatis
tidaklah berubah, kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut
sudah menurun secara progresif.
Dua adaptasi penting dilakukan oleh
ginjal sebagai respons terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk
melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. terjadi peningkatan kecepatan
filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun
GFr untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai
normal.
Mekanisme adaptasi ini cukup
berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit hingga tingkat
fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya,
kalau sekitar 75% massa nefron hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban untuk
terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan
glomerulus-tubulus atau kesimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan
reabsorpsi oleh tubulus tidak akan lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada
proses ekskresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi
berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan yang
rawan tersebut, karena makin rendah GFR ( yang berarti makin sedikit nefron
yang ada) semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron.
Hilangnya kemampuan memekatkan atau
mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau
285 mOsm ( yaitu sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala
poliuria dan rekturia. Sebagai contoh, seseorang dengan makanan normal
mengekskresi zat terlarut sekitar 600 mOsm per hari. Kalu orang tersebut tidak
dapat lagi memekatkan urinenya dari osmolalitas plasma normal sebesar 285 mOsm,
maka tanpa memandang banyaknya asupan air akan terdapat kehilangan obligatorik
2 liter air untuk ekskresi zat terlarut 600 mOsm (285 mOsm/liter). Sebagai
respons terhadap beban zat terlarut yang sama dan keadaan kekurangan cairan,
orang normal dapat memekatkan urine sampai 4 kali lipat konsentrsi plasma dan
dengan demikian hanya akan mengekskresi sedikit urine yang pekat. Bila GFR
terus turun sampai akhirnya mencapai nol, maka semakin perlu mengatur asupan
cairan dan zat terlarut secara tepat untuk mampu mengkomodasikan penurunan
fleksibilitas fungsi ginjal.
Hipotesis nefron yang utuh ini
didukung beberapa pengamatan eksperimental. Bricker dan Fine (1969)
memperlihatkan bahwa pasien pielonitritis dan anjing- anjing yang ginjalnya
rusak pada percobaan, nefron yang masih bertahan akan mengalami hipertrofi dan
menjadi lebih aktif dari keadaan normal. Juga diketahui bahwa bila satu ginjal
seorang yang normal dibuang, maka ginjal yang tersisa akan mengalami hipertrofi
dan fungsi ginjal ini mendekati kemampuan yang sebelumnya dimiliki oleh kedua
ginjal itu secara bersama-sama.
Juga terbukti bahwa ginjal normal
dengan beban zat terlarut meningkat akan bertindak sama seperti ginjal yang
mengalami gagal ginjal kronik. Hal ini mendukung hipotesis nefron yang utuh.
Data eksperimental memperlihatkan bahwa dengan meningkatnya jumlah beban zat
terlarut secara progresif, maka kemampuan pemekatan urine dalam keadaan
kekurangan air atau kemampuan pengenceran urine dalam keadaan asupan air yang
banyak akan menghilang secara progresif. Kedua kurva mendekati berat jenis
1,010 sampai urine menjadi isoosmotik dengan plasma pada 285 mosm sehingga
terjadi berat jenis yang tetap.
Keadaan percobaan tersebut iatas
ditimbulkan pada seorang normal dengan memberikan manitol (suatu diuretic osmotik).
Dalam keadaan ini setiap nefron yang normal mengalami diuresis osmotik disertai
kehilangan air obligatorik. Ginjal kehilangan fleksibilitas untuk memekatkan
maupun mengencerkan urine dari osmolalitas plasma sebesar 285 mOsm.
Tercatat beberapa kali bahwa gagal
ginjal kronik sering bersifat progresif, bahkan bial faktor pencetus cedera
disingkirkan. Sebagai conto, pada anak-anak dengan pielonefritis kronik yang
disebabkan oleh refluks vesikouretral dan infeksi traktus urinarius yang
berulang akan timbul jaringan parut pielonefritis yang menyerang tubulus dan
interstisium, namun, bila refluks tersebut dikoreksi secara bedah dan infeksi
ginjal dihentikan dengan antibiotik, gagal ginjal kronik tetap akan berlanjut.
Observasi ini telah memulai upaya penelitian utama baru-baru ini untuk
mempelajari alasan perkembangan penyakit ginjal dan cara untuk menghentikan
atau memperlambat perkembangan tersebut.
Penjelasan terbaru yang paling
popular untuk gagal ginjal kronik tampa penyakit primer yang aktif adalah Hipotesis hiperfiltrasi. Menurut
hiperfiltrasi tersebut, nefron yang utuh pada akhirnya akan cedera karena
kenaikan aliran plasma dan GFr serta kenaikan tekanan hidrostatik intrakapiler
glomerulus (misalnya, tekanan kapiler glomerulus). Walaupun kenaikan SNGFR
dapat menyesuaikan diri dengan lari jangka pendek, namun tidak dapat
menyesuaikan dengan lari jangka panjang.
Sebagian besar bukti teori
hiperfiltrasi untuk cedera sekunder berasal dari model sisa ginjal pada tikus.
Jika satu ginjal pada tikus diangkat dan dua pertiga dari ginjal yang lain
rusak, terlihat bahwa binatang tersebut akan mengalami gagal ginjal stadium
akhir dalam waktu 6 bulan, walaupun tidak ada penyakit ginjal primer. Tikus itu
mengalami proteinuria, dan biopsi ginjal pada sisa glomerulus memperlihatkan
glomerulosklerosis yang menyerupai lesi pada banyak penyakit ginjal primer.
Satu penjelasan untuk lesi ginjal dan gagal ginjal kronik berdasarkan pada
perubahan fungsi dari struktur yang timbul ketika jumlah nefron yang utuh
menurun pada binatang percobaan.
Penyesuaian fungsi terhadap penurunan
massa nefron menyebabkan hipertensi sistemik dan peningkatan SNGFR pada sisa
nefron yang utuh. Peningkatan SNGFR sebagian besar dicapai melalui dilatasi
ateriol aferen. Pada saat yang bersamaan, arteriol eferen berkontraksi karena
pelepasan angiotensin II local. Sebagai akibatnya, aliran plasma ginjal
meningkat, karena sebagian besar tekanan sistemik dipindahkan ke glomerulus.
Kompensasi fungsional ini berkaitan
dengan perubahan structural yang bermakna. Volume rumbai glomerulus meningkat
tanpa diiringi peningkatan jumlah sel epitel visera, dan mengakibatkan
penurunan densitas dalam rumbai glomerulus yang membesar. Diyakini bahwa
kombinasi hipertensi glomerulus dan hipertrofi merupakan perubahan yang
signifikan yang menyebabkan cedera sekunder dari rumbai glomerulus dan merusak
nefron dengan progresif. Penurunan densitas epiter visera menyebabkan penyatuan
pedikulus dan hilangnya selektif terukur sehingga akan meningkatkan protein yang
hilang dalam urine. Peningkatan permeabilitas dan hipertensi intraglomerulus
juga membantu akumulasi dari protein besar (misalnya, immunoglobulin M (IgM)
dalam subendotelial. Subendotelial ini menumpuk bersama prolefirasi matriks
mesangial yang pada akhirnya menyebabkan penyempitan lumen kapiler akibat
tertekan. Cedera sekunder lainya adalah pembentukan mikroaneurisma akibat
disfungsi sel endotel. Akibat keseluruhan adalah kolapsnya kapiler glomerulus
dan glomerulosklerosis, yang ditunjukkan dengan protenuria dan gagal ginjal
kronik. Selain itu, rangkaian ini menyebabkan timbale balik positif dari
lengkung henle dengan percepatan proses yang destruktif, sehingga semakin
sedikit sisa nefron yang utuh. Perubahan struktur dan fungsional akan
menyebabkan cedera sekunder pada glomerulus.
C.
ETIOLOGI
GAGAL GINJAL KRONIK
Menurut Smeltzer, Suzanne, 2002 hal
1448, penyebab dari gagal ginjal kronik adalah:
v
Diabetus mellitus
v
Glumerulonefritis kronis
v
Pielonefritis
v
Hipertensi tak terkontrol
v
Obstruksi saluran kemih
v
Penyakit ginjal polikistik
v
Gangguan vaskuler
v
Lesi herediter
v
Agen toksik (timah, kadmium, dan
merkuri)
Sedangkan penyebab dari gagal ginjal kronik menurut
Lorrainem M. Wilson terbagi menjadi delapan kelas yaitu:
1
Infeksi
Traktus Urinarius, Pielonefritis, Dan Nefropati Refluks
Infeksi traktur urinarius, sring terjadi menyerang manusia tanpa
memandang usia terutama perempuan. Infeksi traktus urinarius bertanggung jawab
atas sekitar 7 juta kunjungan pasien kepada dokter setiap tahunnya di Amerika
Serikat ( Stam, 1998). Secara mikrobiologi infeksi traktus urinarius dinyatakan
ada jika terdapat bakteriuria yang ditemukan mikroorganisme pathogen 105/mL
pada urine pancaran tengah yang dikumpulkan dengan cara yang benar abnormalnya
dapat hanya berupa kolonisasi bakteri dari urine atau bakteriuria dapat
disertai infeksi simtomatik dari struktur-struktur traktur urinarius. Infeksi
traktur urinarius umumnya terbagi dalam subkategori besar: infeksi traktur urinarius
bagian atas atau Pielonefritis Akut dan
infeksi traktur urinarius bawah atau Sistitis
akut.
Sistitis akut (infeksi vesika urinaria) dan pielonefritis akut (infeksi
pelvis dan interstisium ginjal) adalah infeksi yang paling berperan dalam
menimbulkan morbiditas, tetapi jarang berakhir sebagai gagal ginjal kronik.
Pielonefritis krinik adalah cedera ginjal kronik yang menunjukkan pembentukan
jaringan parut parenkimal pada pemeriksaan IVP, disebabkan oleh infeksi
berulang atau infeksi menetap pada ginjal.
2
Glomerulonefritis
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.
Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan
pada hematuria. Meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tetapi
seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal
ginjal kronik. Penyakit ini mula-mula digambarkan oleh Richard Bright tahun 1827 sekarang diketahui merupakan kumpulan
banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respons imun menimbulkan
beberapa bentuk glomerulonefritis.
Pada beberapa tahun terakhir, penyakit tentang perubahan patologik
penyakit ginjal kronik berkembang pesat melalui pemeriksaan biopsi dengan
mikroskop cahaya, maka timbul kategori-kategori karena bertambahnya kemampuan
untuk mendefinisikan sifat alamiah lesi ginjal. Berbagai usaha yang dilakukan
untuk memisahkan dan memilah berbagai
jenis glomerulonefrritis dengan menghubungkan gambaran histologist dan
klinisnya.
Saying berbagai kategori tersebut tidak eksklusif dan dan dimengerti
mengapa cirri-ciri tersebut tumpang tindih karena ginjal hanya mempunyai
respons fungsional dan morfologik yang terbatas. Kebingungan semakin bertambah
karena berbagai gangguan sitemik matabolik yang menyerang ginjal dan
menimbulkan perubahan-perubahan pada glomerulus yang tidak dapat dibedakan
dengan glomerulonefritis primer.
3
Nefrosklerosis
Hipertensif
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah
yang menetap di atas normal yang disepakati, yaitu diastolic 90 mmHg atau
sistolik 140 mmHg. Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang
erat. Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan
pada ginjal. Sebaliknya, penyakit gagal ginjal kronik yang berat dapat
menyebabkan hipertensi atau ikut berperan dalam hipertensi melalui mekanisme
retensi natrium dan air, pengaruh vasopresor dari sistem renin-angitensin, dan
mungkin pula melalui difisiensi prostaglandin. Kadang kadang sulit bagi seorang
ahli nefrologi untuk menentukan mana yang primer.
Nefrosklerosis atau pengerasan ginjal menunjukkan adanya perubahan
patologis pada pembuluh darah ginjal akibat hipertensi. Keadaan ini merupakan
salah satu penyebab utama gagal ginjal kronik, terutama pada populasi bukan
orang kulit putih.
4
Gangguan
Jaringan Ikat
Gangguan jaringan ikat atau penyakit kolagen merupakan penyakit sistemik
yang manifestasinya terutama jaringan lunak tubuh. Kasus ini sangat menarik
dalam nefrologi karena ginjal sering terserang. Sekitar dua pertiga pasien
Lupus Eritematosus Sitemik ( penyakit multisistem yang tidak diketahui asalnya
dan ditandai dengan autoantibodi dalam sirkulasi terhadap DNA) dan Sklerosis
Sistemik Progresif ( penyakit sistemik yang jarang dijumpai dan ditandai dengan
sklerosis dari kulit dan organ-organ lain).
5
Gangguan
Kongenital Heriditer
Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan
gangguan heriditer yang terutama mengenai tubulus ginjal dan dapat berakhir
pada gagal ginjal, walaupun gagal ginjal lebih sering dijumpai pada penyakit
polikistik. Kedua penyakit ini mempunyai bentuk infantile dan bentuk dewasa
yang manifestasinya sangat berbeda.
6
Gangguan
Metabolik
Gangguan metabolik yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik antara
lain diabetes mellitus, hiperparatiroidisme, dan amiloidosis.
v Diabetes Melitus
Nefropati diabetika atau penyakit
ginjal pada pasien diabetes merupakan salah satu penyebab kematian terpenting
pada diabetes melitus yang lama. Lebih dari sepertiga dari semua pasien baru
yang masuk dalam program ESRD menderita gagal ginjal. Telah diperkirakan bahwa
sekitar 35% hingga 40% pasien diabetes tipe 1 berkembang menjadi gagal ginjal
kronik dalam wantu 15 hingga 25 tahun setelah awitan diabetes. Individu dengan
diabetes tipe 2 lebih sedikit yang berkembang menjadi gagal ginjal kronik
dengan pengecualian pada orang Indian Pima dengan insidensi mendekati 50%.
Diabetes melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk.
Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terdapat di
ginjal pada diabetes melitus. Glomerulosklerosis diabetik dapat merupakan lesi
yang paling sering terjadi, trediri dari penebalan difus matriks mesangeal
dengan eosinofilik disertai penebalan membran kapiler.
v Hiperparatiroidisme Primer
Hiperparatiroidisme primer yang
menyebabkan hiperskresi hormone paratiroid, merupakan penyakit yang relatif
langka yang dapat mengakibatkan sefrokalsinosis dan selanjutnya dapat
menyebabkan gagal ginjal. Hiperparatiroidisme sekunder merupakan komplikasi
yang sering dijumpai pada gagal ginjal kronik. Manifestasi penyakit ini sama
walaupun bersifat primer maupun sekunder.
v Amiloidosis
Amiloidosis merupakan suatu penyakit
metabolik dengan penimbunan amiloid atau suatu protein ektraseluler yang
abnormal pada berbagai jaringan. Timbunan amiloid ini dapat merusak ginjal,
hepar, limpa, jantung, lidah, dan sistem saraf. Amiloid terdeteksi secara
histologist sebagai bahan hialin berwarna merah muda terang, amiloid juga
menangkap beberapa pewarna khusus seperti merah Congo. Amiloid dapat
diklasifikasikan berdasarkan sifat protein precursor dan berdasarkan apakah
penimbunan amiloid terjadi secara sistemik (melibatkan banyak organ) atau hanya
terbatas pada satu organ atau jaringan.
7
Nefropati
Toksik
Ginjal khususnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan, dan
bahan-bahan kimia karena beberapa alasan, antara lain:
Ø Ginjal menerima 25% dari curah
jantung sehingga sring dan mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah besar.
Ø Interstisium yang hiperosmotik
memungkinkan zat kimia dikonsentrasikan pada daerah yang relative hipovaskuler.
Ø Ginjal merupakan jalur ekskresi
obligatorik untuk sebagian besar obat, sehingga insufisiensi ginjal
mengakibatkan konsentrasi dalam cairan tubulus.
Nefrotoksin yang
paling sering dijumpai menyebabkan timbulnya gagal ginjal akut. Gagal ginjal
kronik dapat terjadi akibat penyalahgunaan analgetik dan panjanan timbal.
a.
Penyalahgunaan
Analgetik
Secara umum bahwa penyalahgunaan
analgetik dalam waktu lama dapat menyebabkan cedera ginjal. Gagal ginjal akibat
kelebihan pemakaian analgetik merupakan permasalahan yang cukup sering dijumpai
dan barangkali merupakan bentuk penyakit ginjal yang paling mudah dicegah.
Insidennya bervariasi, bergantung pada perbedaan daerah tempat penyalahgunaan
ini terjadi. Secara keseluruhan nefropati analgetik berjumlah sebanyak 9%, 3%,
dan kurang dari 1% dapat pasien menjalani dialisis di Australiadan Amerika
Serikat secara berurutan ( USDR, 1995).
b.
Panjanan
Timbal
Pengaruh terhadap timbale terjadi
pada beberapa jenis pekerjaan, dan timbale dapat pula tertelan oleh peminum
Wisky yang terdestilasi secara tidak semestinya. Timbale yang masuk ke dalam
tubuh akan bergabung dengan tulang dan secara perlahan-lahan akan dilepaskan
kembali setelah selang waktu bertahun-tahun. Timbal juga akan terikat pada
tubulus ginjal. Pasien dengan nefropati timbale secara khas menderita
hiperurisemia. Artritis gout akut terjadi pada kira-kira setengah dari pasien
nefropati timbale, sebaliknya, gout jarang terjadi pada bentuk gagal ginjal
yang lain. Hepertensi sering terjadi. Lesi ginjal dasar adalah nefritis
interstisial, dan dapat menyebabkan gagal ginjal yang berjalan progresif
lambat.
D.
PERJALANAN
KLINIS GAGAL GINJAL KRONIK
Tinjauan mengenai perjalanan umum
gagal ginjal kronik dapat diperoleh dengan melihat kreatinin dengan laju
filtrasi glomerolus sebagai persentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin
serum dan kadar nitrogen urea darah karena massa nefron dirusak secara
progresif oleh penyakit ginjal krinik.
Perjalanan klinis umum gagal ginjal
kronis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium I disebut Penurunan Cadangan Ginjal. Selama
stadium ini kreatinim serum dan kadar BUN normal, dan pasien sintomatik. Gangguan
fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan memberi beban kerja yang berat pada
ginjal tersebut, seperti tes pemekatan urine atau dengan mengadakan tes GFR
yang teliti.
Stadium II perkembangan tersebut
disebut Insufisiensi Ginjal, bila
lebih dari75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Pada tahap ini kadar BUN
baru mulai meningkat di atas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini
berbeda-beda, bergantung pada kadar protein dalam makanan. Selain itu, pada
stadium II kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal.
Pada stadium II ini mulai timbul gejala-gejala Nokturia dan Poliuria
yang merupakan akibat gangguan kemampuan pemekatan. Gejala-gejala ini timbul
sebagai respons terhadap stres dan perubahan makanan dan minuman yang
tiba-tiba. Pasien biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini,
sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan yang
teliti. Nokturia atau berkemih di
malam hari merupakan gejala pengeluaran urine waktu malam hari yang menetap
sampai sebanyak 700 mL atau pasien terbangun untuk berkemih beberapa kali waktu
malam hari. Nokturia disebabkan oleh
hilangnya pola pemekatan urine diurnal normal samapai tingkatan tertentudi
malam hari.
Sedangkan Poliuria merupakan peningkatan volume urine yang terus menerus.
Pengeluaran urine normal sekitar 1500 mL perhari dan berubah-ubah sesuai dengan
jumlah cairan yang diminum. Poliuria
akibat insufisiensi ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama
menyerang tubulus, meskipun biasanya Poliuria
bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari.
Stadium III atau stadium akhir gagal
ginjal kronik yang disebut Penyakit
Ginjal Stadium Akhir (ESDR) atau Uremia.
Uremia terjadi apabila 90% dari massa
nefron telah hancur atau hanya sekitar 200.000 nefron yang masih utuh. Nilai
GFR hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10
mL per menit atau kurang. Pada keadaan ini, kreatinin serum dan kadar BUN akan
meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap GFR yang mengalami
sedikit penurunan.
Pada Uremia, pasien mulai merasakan gejala-gejal yang cukup parah,
karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan
elektrolis dalam tubuh. Urine menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis
yang tetap sebesar1,010. Pasien biasanya menjadi oligurik atau pengeluaran
urine kurang dari 500 mL/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses
penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan
gejala-gejala dinamakan Sindrom Uremik
memengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium III, pasien akan meninggal
kecuali bila mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau
dialysis.
Meskipun perjalanan klinis gagal
ginjal kronik dibagi menjadi tiga stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada
batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut. Bentuk hiperbolik grafik
azotemia yang dihasilkan terdapat nilai GFR menggambarkan penyakit yang lebih
lanjut tetapi meningkat secara perlahan-lahan, makin lama makin cepat.
E.
TANDA
DAN GEJALA
Penurunan fungsi ginjal akan
mengakibatkan berbagai manifestasi klinik mengenai dihampir semua sistem
tubuh manusia, seperti:
a.
Gangguan
pada Gastrointestinal
Dapat berupa anoreksia, nausea,
muntah yang dihubungkan dengan terbentuknya zat toksik (amoniak, metal
guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu oleh bakteri usus sering
pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul
stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif
hampir dijumpai pada 90 % kasus Gagal Ginjal Kronik, bahkan kemungkinan terjadi
ulkus peptikum dan kolitis uremik.
b.
Kulit
Kulit berwarna pucat, mudah lecet,
rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan gatal akibat uremik atau
pengendapan kalsium pada kulit.
c.
Hematologi
Anemia merupakan gejala yang hampr
selalu ada pada Gagal Ginjal Kronik. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal
tanpa disertai anemia perlu dipikirkan apakah suatu Gagal Ginjal Akut atau
Gagal Ginjal Kronik dengan penyebab polikistik ginjal yang disertai polistemi.
Hemolisis merupakan sering timbul anemi, selain anemi pada Gagal Ginjal Kronik
sering disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula
disertai trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu
sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga pada penderita Gagal Ginjal
Kronik mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang menurun.
d.
Sistem
Saraf Otot
Penderita sering mengeluh tungkai
bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg syndrome), kadang tersa terbakar
pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan tidur, gangguan
konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau koma.
e.
Sistem
Kardiovaskuler
Pada gagal ginjal kronik hampir
selalu disertai hipertensi, mekanisme terjadinya hipertensi pada Gagal Ginjal
Kronik oleh karena penimbunan garam dan air, atau sistem renin angiostensin
aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat
kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi
perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan elektrolit.
f.
Sistem
Endokrin
Gangguan seksual seperti penurunan
libido, ion fertilitas sering dijumpai pada Gagal Ginjal Kronik, pada wanita
dapat pula terjadi gangguan menstruasi sampai aminore. Toleransi glukosa
sering tergangu paa Gagal Ginjal Kronik, juga gangguan metabolik vitamin D.
g.
Gangguan
Lain
Akibat hipertiroid sering terjadi
osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan elektrolit dan asam basa hampir
selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik, hiperkalemia, hiperforfatemi,
hipokalsemia.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG GAGAL GINJAL
KRONIK
Menurut Rencana Asuhan Keperawatan, Marilyn E Doenges dkk,
pemeriksaan penunjang untuk mengetahui bahwa seseorang menderita gagal ginjal
kronik atau tidak, yaitu:
a.
Urine
ü
Volume
: Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau
urine tak keluar (anuria)
ü
Warna
: Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh
pus bakteri, lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor,
kecoklatan menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.
ü
Berat
jenis
: Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan
kerusakan ginjal berat).
ü
Osmolalitas
: Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular,
dan rasio urine/serum sering 1:1
ü
Klirens
keratin : Mungkin
agak menurun
ü
Natrium
: Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
ü
Protein
: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat
menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
b.
Darah
ü BUN /
Kreatin : Meningkat,
biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16 mg/dL diduga tahap
akhir (mungkin rendah yaitu 5)
ü Hitung darah lengkap : Ht :
Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari 78 g/dL
ü SDM
: Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin
seperti pada azotemia.
ü GDA :
pH
: Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2)
terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan
amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2
menurun .
ü Natrium
Serum : Mungkin rendah
(bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal (menunjukan status dilusi
hipernatremia).
ü Kalium
: Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir,
perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
ü Magnesium/Fosfat
: Meningkat
ü Kalsium
: Menurun.
ü Protein (khususnya Albumin) :
Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine,
perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang
asam amino esensial.
ü Osmolalitas Serum :
Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
ü KUB fota
:
Menunujukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan
adanya obstruksi (batu).
ü Piolegram Retrograd :
Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
ü Arteriogram Ginjal
: Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular massa.
ü Sistouretrogram Berkemih
: Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter,
terensi.
ü Ultrasono Ginjal
:
Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
ü Biopsi Ginjal
: Mungkin dilakukan
secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histoligis.
ü Endoskopi Ginjal, Nefroskopi :
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif.
ü EKG
:
Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
ü Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral
dn Tangan : Dapat menunjukan demineralisasi, klasifikasi.
G. PENCEGAHAN GAGAL GINJAL KRONIK
Pemeliharaan kesehatan umum dapat
menurunkan jumlah individu yang menjadi insufisiensi. Sampai menjadi kegagalan
ginjal. Perawatan ditujukan kepada pengobatan masalah medis dengan sempurna dan
mengawasi status kesehatan orang pada waktu mengalami stress, infeksi, dan
kehamilan (Perawatan Medikal Bedah, Barbara C Long).
H. PENGOBATAN/PENATALAKSANAAN GAGAL
GINJAL KRONIK
Tujuan
penatalaksaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama
mungkin. Adapun penatalaksaannya sebagai berikut :
a.
Diet
tinggi kalori dan rendah protein
Diet rendah protein (20-40 g/hari)
dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari uremia,
menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan gejala. Hindari masukan berlebihan
dari kalium dan garam.
b.
Optimalisasi
dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
Biasanya diusahakan hingga tekanan
vena juga harus sedikit meningkat dan terdapat edema betis ringan. Pada
beberapa pasien, furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretic 100p
(bumetanid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan,
sementara pasien lain mungkin memerlukan suplemen natrium klorida atau natrium
bikarbonat oral. Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine, dan
pencatatan keseimbangan cairan (masukan melebihi keluaran sekitar 500 ml).
c.
Kontrol
hipertensi
Bila tidak terkontrol dapat
terakselerasi dengan hasil akhir gagal kiri pada pasien hipertensi dengan
penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa
tergantung tekanan darah, sering diperlukan diuretik loop, selain obat anti hipertensi.
d.
Kontrol
ketidaksemibangan elektrolit
Yang sering ditemukan adalah
hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah hiperkalemia, dihindari masukan
kalium yang besar (batasi hingga 60 mmol/hari), diuretik hemat kalium,
obat-obatan yang berhubungan dengan eksresi kalium (misalnya penghambat ACE dan
obat anti inflamasi non steroid), asidosis berat, atau kekurangan garam yang
menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi
melalui kadar kalium plasma dan EKG. Gejala-gejala asidosis baru jelas bila
bikarbonat plasma kurang dari 15 mmol/liter biasanya terjadi pada pasien yang
sangat kekurangan garam dan dapat diperbaiki secara spontan dengan dehidrasi.
Namun perbaikan yang cepat dapat berbahaya.
e.
Mencegah
dan tatalaksana penyakit tulang ginjal
Hiperfosfatemia dikontrol dengan
obat yang mengikat fosfat seperti alumunium hidroksida (300-1800 mg) atau
kalsium karbonat (500-3000mg) pada setiap makan. Namun hati-hati dengan
toksisitas obat tertentu. Diberikan supplemen vitamin D dan dilakukan
paratiroidektomi atas indikasi.
f.
Deteksi
dini dan terapi infeksi
Pasien uremia harus diterapi sebagai
pasien imuosupresif dan diterapi lebih ketat.
g.
Modifikasi
terapi obat dengan fungsi ginjal
Banyak obat-obatan yang harus
diturunkan dosisnya karena metabolitnya toksik dan dikeluarkan oleh ginjal.
Misalnya digoksin, aminoglikosid, analgesic opiat, amfoterisin dan alupurinol.
Juga obat-obatan yang meningkatkan katabolisme dan ureum darah, misalnya
tetrasiklin, kortikosteroid dan sitostatik.
h.
Deteksi
dan terapi komplikasi
Awasi denagn ketat kemungkinan
ensefelopati uremia, perikarditis, neurepati perifer, hiperkalemia yang
meningkat, kelebihan cairan yang meningkat, infeksi yang mengancam jiwa,
kegagalan untuk bertahan, sehingga diperlukan dialysis.
i.
Persiapan
dialysis dan program transplantasi
Segera dipersiapkan setelah gagal
ginjal kronik dideteksi. Indikasi dilakukan dialysis biasanya adalah gagal
ginjal dengan klinis yang jelas meski telah dilakukan terapi konservatif atau
terjadi komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA :
Corwin, E. J. (2000). Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC.
Ganong, W. F. (1998). Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 17.
Jakarta: EGC.
Guyton, A. C. (1995). Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 7.
Jakarta: EGC.
Guyton, A. C. & Hall, J. E. (1997). Buku ajar: Fisiologi kedokteran.
Edisi 9. Jakarta: EGC.
http://www.google.com
No comments:
Post a Comment