Juniartha Semara Putra
PERAN
PERAWAT DALAM PEMBERIAN OBAT BRONKODILATOR PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM
PERNAFASAN
BRONKODILATOR
Bronkodilator adalah obat yang
mempunyai efek antibronkokonstriksi.1Bronkodilator dapat
mengembalikan obstruksi jalan nafas pada asma. Cara kerjanya adalah melalui
efek langsung obat pada otot polos saluran nafas. Bronkodilator
dapat diberikan secara enteral, parenteral, atau inhalasi. Obat-obat tersebut
mempunyai indeks terapeutik yang lebih baik bila diberikan sebagai aerosol
daripada parenteral atau enteral. Di klinik aerosol dapat diperoleh melalui
nebulizer (jets atau ultrasonik), metered dose inhaler (MDI), dan dry
powder inhaler (DPI).2
Ada tiga golongan bronkodilator yang biasa digunakan,
yaitu :
1.
Agonis
β-adrenergik
3.
Metilsantin
1. Agonis β-adrenergik
Epinefrin telah digunakan untuk pengobatan asma sejak awal
abad ke-20, berefek mengurangi pembengkakan mukosa bronkus. Epinefrin
menstimulasi baik reseptor a maupun β adrenergik.
Efek bronkodilatornya dimediasi oleh reseptor β.1
Isoproterenol merupakan agonis β yang kuat
dan kurang berpengaruh terhadap reseptor a adrenergik. Telah digunakan sejak tahun 1940-an
untuk pengobatan asma. Namun, isoproterenol merupakan agonis β nonselektif
sehingga obat ini menstimulasi baik reseptor β1 maupun β2. Pada tahun
1960-an kemudian diperkenalkan agonis β2 yang seklektif seperti albuterol atau salbutamol
dan terbutalin.1
1.1 Farmakologi
Agonis β adrenergik
menyebabkan bronkodilatasi melalui stimulasi langsung obat terhadap reseptor β adrenergik
pada otot polos jalan nafas yang menyebabkan relaksasi otot polos jalan nafas.
Reseptor β adrenergik pada
jalan nafas terdapat mulai trakea hingga bronkioli terminalis.1
Agonis β adrenergik
mempunyai beberapa efek. Selain mengurangi resistensi jalan nafas, agonis β adrenergik
mempunyai efek kuat untuk mencegah pelepasan mediator dari sejumlah sel
termasuk sel mast paru manusia secara invitro dan invivo. Dengan mekanisme
berbeda, agonis β-adrenergik
dapat mengurangileakage mikrovaskuler yang mendasari terjadinya
edema mukosa jalan nafas. Selain itu agonis β adrenergik juga meningkatkan sekresi
mukus kelenjar submukosa dan transportasi ion melalui epitel saluran nafas.1
1.2 Farmakodinamik
Epinefrin adalah obat yang paling sering digunakan untuk pengobatan reaksi
anafilaktik akut karena berefek terhadap reseptor a dan β adrenergik.
Namun, epinefrin merupakan pilihan obat lini kedua untuk asma karena kurang
selektif terhadap β2
( mengakibatkan perangsangan kardiak melalui stimulasi β 1),
durasi kerja yang singkat dan efeknya yang prominent terhadap reseptor a(mengakibatkan
vasokonstriksi). Pemberian subkutan dengan dosis 0,01mg
per kgBB menghasilkan bronkodilator cepat. Pemakaian efinefrin harus dibatasi
pada penderita tua terutama yang menderita penyakit jantung iskemik karena obat
ini dapat menimbulkan efek samping seperti iskemia miokard, aritmia dan
hipertensi sistemik.2
Isoproterenol juga merupakan agonis
β nonselektif, sehingga mempunyai efek perangsangan terhadap jantung. Sebagai
bronkodilator, isoproterenol mempunyai onset of action < 2 jam.
Telah diperkenalkan beberapa agonis β2 selektif dengan efek bronkodilatasi yang
sama dengan β agonis nonselektif. Obat-obat ini kurang memiliki efek stimulasi
jantung dibandingkan isoproterenol. Contoh obat yang digunakan di klinik antara
lain albuterol, terbutalin, fenoterol, bitolterol, metaproterenol, dan
isoetarin.Long acting β2 agonist lebih efektif pada pemberian
inhalasi. Efek bronkodilator formoterol dan salmeterol lebih dari 12 jam
sehingga cukup diberikan dua kali sehari.1,3
1.3 Indikasi
Agonis β adrenergik digunakan secara luas untuk penanganan
asma. Bila diinhalasi dengan metered-dose-aerosol disamping
mudah digunakan, onsetnya cepat dan tanpa efek samping yang signifikan.
Pemberian dengan nebulizer pada serangan asma akut sama efektifnya dengan
pemberian intravena dengan efek samping sistemik yang kurang.1,4
1.4 Efek samping dan kontra indikasi
Efek agonis β adrenergik yang tidak dinginkan bersifat dose-related dan
berhubungan dengan stimulasi reseptor β ekstrapulmoner antara lain :
- Tremor.
Disebabkan
oleh perangsangan reseptor β2 pada otot skeletal dan merupakan efek samping
yang paling sering dijumpai, lebih mudah terjadi pada usia lanjut.
- Kardiovskuler
Takikardia
dan palpitasi yang diakibatkan oleh refleks cardiac stimulationsekunder
terhadap vasodilatasi perifer disebabkann oleh stimulasi reseptor β di pembuluh
darah, dan stimulasi langsung reseptor β di atrium. Takikardi juga dapat
terjadi pada pemberian β2 selektif dengan dosis yang melebihi dosis lazim
karena terjadi perangsangan pada reseptor β1.
- Metabolik
Peningkatan asam lemak bebas, pelepasan insulin, glukosa,
piruvat dan laktat. Hipokalemia merupakan efek metabolik yang paling serius
karena dapat mencetuskan aritmia jantung. Hipokalemia terjadi karena
perangsangan reseptor β2 sehingga
menyebabkan masuknya ion kalium ke dalam sel otot skeletal.
- Hipoksemia
Agonis β adrenergik dapat meningkatkan mismatch ventilasi-perfusi
akibat vasodilatasi arteriol paru yang sebelumnya mengalami vasokonstriksi
akibat hipoksia. Hal ini menimbulkan terjadinya shunt aliran
darah ke daerah dengan ventilasi buruk sehingga mengakibatkan terjadinya
penurunan tekanan parsial oksigen. Hipoksemia dapat dicegah dengan
pemberian oksigen bersama-sama agonis adrenergik. Perlu dilakukan pemantauan
analisa gas darah untuk mengevaluasi PaO2, PaCO2 dan
pH.1
Contoh sediaan dan dosis obat β 2 agonis yang
umum digunakan di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Sediaan dan dosis obat β 2 agonis 4
Medikasi
|
Sediaan
obat
|
Dosis dewasa
|
Dosis
anak
|
Agonis β2
Kerja singkat
Terbutalin
Salbutamol
Fenoterol
Prokaterol
|
IDT 0,25mg/semprot
Turbuhaler 0,25 mg ;
0,5mg/hirup
Respule/solutio 5m/2ml
Tablet 2,5 mg
Sirup 1,5 ; 2,5 mg/ 5
IDT 100 mcg/semprot
Nebules / solutio
2,5 mg/2 ml, 5 mg / ml
Tablet 2 mg, 4 mg
Sirup 1 mg, 2 mg / 5 ml
IDT100,200mcg/semprot
Solutio 100 mcg / ml
IDT 10 mcg/semprot
Tablet 25, 50 mcg
Sirup 5 mcg / ml
|
Inhalasi
0,25 – 0,5 mg
3 – 4 x / hari
Oral 1,5 – 2,5 mg
3 – 4 x / hari
Inhalasi 200 mcg, 3 - 4 x / hari
Oral 1 – 2 mg, 3 – 4
x / hari
200 mcg, 3 -4 x / hari
10 – 20 mcg
2 – 4 x / hari
2 x 50 mcg / hari
2 x 5 ml / hari
|
Inhalasi 0,25 mg
3 – 4 x / hari
(> 12 tahun)
Oral 0,05
mg/kgBB/x
3 – 4 x / hari
Inhalasi 100 mcg, 3 - 4 x / hari
Oral 0,05mg / kg BB / x 3 – 4 x / hari
100 mcg, 3 - 4 x / hari
10 mcg
2 x / hari
2 x 25 mcg / hari
2 x 2,5 ml / hari
|
Agonis β 2 kerja lama
Salmeterol
Bambuterol
Prokaterol
Formoterol
|
IDT 25 mcg/semprot
Rotadisk 50 mcg
Tablet 10 mcg
Tablet 25, 50 mcg
Sirup 5 mcg / ml
IDT 4,5 ; 9 mcg/semprot
|
2 -4 semprot,
2 x / hari
1 x 10 mg / hari,
Malam
2 x 50 mcg / hari
2 x 5 ml / hari
4,5 – 9 mcg
1 – 2 x / hari
|
1 - 2 semprot,
2 x / hari
-
2 x 25 mcg / hari
2 x 2,5 ml / hari
2 x 1 semprot
( > 12 tahun )
|
Keterangan:- Agonis β 2 kerja
singkat digunakan sebagai pelega (reliever) pada
penatalaksanaan serangan akut asma. Sedangkan β 2 agonis
kerja lama digunakan untuk mengontrol gejala asma (controller) pada
asma persisten.
- IDT (Inhalasi dosis terukur) = MDI (Metered-dose inhaler)
2. Antikolinergik
Pada binatang dan manusia normal sebagian kecil tonus bronkomotor pada saat
istirahat berhubungan dengan impuls tonus vagal yang melepaskan asetilkolin
pada otot polos saluran nafas. Bronkokonstriksi melalui mekanisme ini
dapat diblok dengan obat-obat antikolinergik. Tidak seperti agonis β, antikolinergik
sedikit mempunyai efek terhadap sel mast.2,3
2.1 Farmakodinamik
Ipratroprium bromide merupakan antikolinergik yang paling luas digunakan.
Diberikan secara inhaler baik dengan metered-dose-inhaler (MDI)
maupun nebulizer. Onset bronkodilatasinya relatif lambat, biasanya 30-60 menit
setelah inhalasi,tetapi efikasinya dapat menetap hingga 8 jam. Obat ini
biasanya diberikan 4 kali sehari dengan MDI, atau dapat juga secara intermiten
untuk mengontrol gejala.3
Oksitroprium bromide merupakan antikolinergik
baru dengan efek kerja yang lebih panjang.
2.2 Indikasi
a. Asma
Antikolinergik kurang efektif sebagai
bronkodilator pada asma bila dibandingkan dengan agonis β.
Antikolinergik lebih efektif digunakan pada pasien tua. Pemberian dalam bentuk
nebulizer dapat digunakan pada penanganan serangan asma akut yang berat.
b. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
Pada COPD antikolinergik sama efektif atau mungkin lebih
superior bila dibandingkan dengan agonis β. Efek yang lebih baik pada pasien
COPD dibandingkan dengan pasien asma karena penghambatan efek tonus vagal oleh
antikolinergik.1
2.3 Efek samping
Pemberian secara inhalasi umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Bila pemberian
antikolinergik inhalasi dihentikan secara tiba-tiba dapat terjadi reboundbronkokonstriksi.
Efek samping dari atropin bersifat dose-related berhubungan
dengan antagonis kolinergik pada beberapa sistem organ selain paru. Efek
tersebut diantaranya mulut kering, pandangan kabur, dan retensio urine. Tetapi
efek samping ipratroprium sangat jarang karena obat ini tidak diabsorbsi dengan
baik dari paru-paru sehingga konsentrasinya yang beredar di sirkulasi sistemik
rendah. Ipratroprium bromide nebulizer dapat mencetuskan glaukoma pada pasien
tua karena efek midriatiknya pada mata.1
Bronkokonstriksi paradoksikal dapat terjadi pada pemberian ipratroprium bromide.
Komplikasi ini timbul bila obat diberikan dengan nebulizer dimana larutannya
bersifat hipotonisitas dan adanya tambahan antibakterial seperti benzalkonium
klorida dan EDTA. Kadang-kadang dapat terjadi bronkokostriksi setelah pemberian
ipratroprium bromide dengan MDI. Reaksi ini mungkin berhubungan dengan blok
reseptor prejungsional muskarinik pada saraf kolinergik.1
Sediaan obat antikolinergik yang sering digunakan untuk
penangan asma dan COPD di Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Sediaan dan dosis obat antikolinergik.4
Medikasi
|
Sediaan Obat
|
Dosis dewasa
|
Dosis anak
|
Ipratroprium bromid
|
IDT 20 mcg / semprot
Solutio 0,25 mg / ml
(0,025 % )
nebulisasi
|
40 mcg
3 – 4 x hari
0,25 mg
setiap 6 jam
|
20 mcg
3 – 4 x / hari
0,25 – 0,5 mg
setiap 6 jam
|
3. Metilsantin
3.1 Latar Belakang dan
Farmakologi
Efek
bronkodilator dari strong coffee pada mulanya digambarkan oleh
Hyde Salter. Metilsantin (teofilin) berhubungan dengan kafein dan telah
digunakan untuk mengobati asma sejak tahun 1930-an. Sejak saat itu teofilin
digunakan secara luas untuk pengobatan asma. Efek primer dari teofilin adalah relaksasi
otot polos jalan nafas. Teofilin juga menghambat pelepasan mediator dari sel
mast dan meningkatkan bersihan mukosilier. Namun, karena agonis β lebih
efektif dan steroid inhalasi memiliki efek antiinflamasi yang lebih baik
dibandingkan teofilin maka pemakaian teofilin menjadi berkurang.1
3.2 Struktur Kimia
Teofilin adalah
suatu metilsantin yang memiliki struktur kimia mirip dengan santin pada diet
umum, kafein dan teobromin. Aminofilin adalah garam etilendiamin yang
disintesis untuk meningkatkan kelarutan santin pada pH netral.
3.3 Cara Kerja
Walaupun
teofilin telah digunakan lebih dari 50 tahun namun cara kerjanya sebagai
bronkodilator belum dipahami dengan jelas. Ada beberapa teori yang disampaikan
antara lain:1
a. Penghambatan Fosfodiesterase
Efek bronkodilatasi dari teofilin
adalah dengan cara menghambat enzim fosfodiesterase, suatu enzim yang bekerja
menginaktifkan cAMP. Akumulasi konsentrasi cAMP intraseluler merupakan kunci
utama bronkodilatasi.
b. Antagonis Reseptor Adenosin
Pada konsentrasi terapeutik, teofilin merupakan penghambat yang poten terhadap
adenosin. Hambatan ini memberikan efek bronkodilatasi. Dapat
didemonstrasikan bahwa bronkokonstriksi yang diinduksi oleh adenosin dapat
dicegah dengan pemberian teofilin.
c. Pelepasan Katekolamin
Endogen
Teofilin meningkatkan sekresi epinefrin dari medula adrenal. Peningkatan
konsentrasi epinefrin di dalam darah menimbulkan efek bronkodilatasi.
d. Penghambatan Prostaglandin
Teofilin melawan efek prostaglandin pada otot polos vaskuler secara invitro,
tetapi belum ada bukti bahwa efek ini muncul pada konsentrasi terapeutik pada
jalan nafas.
e. Influks Kalsium
Teofilin mempengaruhi mobilisasi kalsium pada otot polos jalan nafas.
3.4 Farmakokinetik
Ada hubungan yang kuat antara perbaikan fungsi jalan nafas dengan
konsentrasi teofilin. Konsentrasi <10 mg / l efek terapeutiknya
kurang, sebaliknya >25 mg / l menimbulkan efek samping. Konsekuensinya,
dosis terapeutiknya adalah 10 – 20 mg/l.
Aminofilin IV ( 85 % teofilin) telah digunakan selama beberapa tahun untuk
penanganan serangan akut asma. Loading dosis yang direkomendasikan
adalah 6 mg / kg BB yang diberikan selama 20 – 30 menit diikuti oleh dosis
pemeliharaan 0,5 mg / kg BB per jam. Jika pasien telah menggunakan teofilin
sebelumnya maka dosisloading-nya dikurangi.3,5
Teofilin tablet atau eliksir cepat diabsorpsi dari saluran cerna. Aminofilin
dapat diberikan dalam bentuk supositoria tetapi mudah terjadi proktitis
sehingga tidak dianjurkan. Pemberian dengan cara inhalasi kurang efektif
disamping dapat menimbulkan iritasi. Sedangkan pemberian injeksi intramuskuler
menimbulkan nyeri sehingga tidak direkomendasikan.1,3
3.5 Indikasi
Pemberian aminofilin intravenus kurang efektif dibandingkan nebulizer agonis β untuk
pengobatan serangan akut asma. Aminofilin diberikan bila pemberian inhalasi
agonis β tidak berespon
dengan baik. Pemberian teofilin bersama-sama dengan agonis β mempunyai efek
aditif. Teofilin juga dapat digunakan pada COPD.
3.6 Efek Samping dan Kontra
Indikasi
Efek yang tidak diinginkan berhubungan dengan konsentrasi obat dalam plasma,
biasanya muncul pada konsentrasi > 20 mg/l. Efek samping yang paling sering
adalah sakit kepala, mual muntah, abdominal discomfort dan restlessness.
Dapat juga terjadi peningkatan sekresi asam lambung dan pengeluaran urin. Pada
dosis tinggi dapat menimbulkabn aritmia dan kejang-kejang. Beberapa efek
samping ( stimulai SSP, sekresi asam lambung, diuresis, dan aritmia) mungkin
disebabkan oleh antagonis reseptor adenosin. Hal ini dapat dicegah dengan
obat seperti enprofilline yang tidak memblok reseptor ini pada dosis
terapeutik. 1,5
Tabel 3. Sediaan dan dosis obat metilsantin 4
Medikasi
|
Sediaan
|
Dosis dewasa
|
Dosis anak
|
Teofilin
Aminofilin
Teofilin lepas lambat
Aminofilin lepas lambat
|
Tablet 130, 150 mg
Tablet 200 mg
Tablet 125, 250, 300 mg
400 mg
Tablet 225 mg
|
3 – 5 mg / kgBB / x
3 – 4 x / hari
2 x 125 – 300 mg
200 – 400 mg, 1 x / hari
2 x 1 tablet
|
3 – 5 mg / kgBB / x
3 – 4 x / hari
2 x 125 mg ( > 6 tahun)
½ - 1 tablet, 2 x ./ hari
( > 12 tahun)
|
Keterangan: Sediaan lepas lambat digunakan sebagai
pengontrol (controller)
Peran perawat dalam pemberian obat-obat bronkodilator
Perawat bertanggung jawab dalam
pemberian obat yang aman karena obat dapat menyembuhkan, namun sebaliknya obat
dapat pula merugikan pasien. Perawat harus mengetahui semua komponen dari
perintah pemberian obat dan menanyakan perintah tersebut jika tidak lengkap
atau tidak jelas atau dosis yang diberikan di luar batas yang direkomendasikan.
Hal-hal yang harus diperhatikan oleh perawat adalah
:
1. Sebelum obat diberikan
a. Kondisi pasien
secara umum (muntah, sukar menelan, tidak dapat minum obat tertentu, dll). Juga
harus diperhatikan faktor gangguan visual, pendengaran, intelektual, atau
motorik pada pasien yang berpengaruh saat minum obat.
b. Prinsip lima benar.
· Benar
pasien
· Benar
obat
· Benar
dosis
· Benar
cara atau rute pemberian obat
· Benar
waktu
c. Pendidikan
kesehatan yang diberikan kepada pasien sebelum memberikan obat.
2. Selama obat diberikan
a. Pantau dan awasi
pemberian obat, yakinkan bahwa obat sudah diminum oleh pasien.
b. Pada pemberian obat
selain oral, dimana harus perawat sendiri yang melakukan, obat tersebut
sesui dengan prosedur pemberian.
3. Setelah obat diberikan
a. Awasi
reaksi pasien setelah diberikan obat.
b. Kontrak waktu untuk
pemberian obat selanjutnya.
c. Dokumentasi obat
yang diberikan.
PENDIDIKAN KESEHATAN
Pendidikan kesehatan yang perlu diberikan pada pasien
dan keluarganya selain mengenai penyakitnya juga cara penggunaan obat
bronkodilator yang benar dan teknik pemberiannya, karena kegagalan seringkali
akibat teknik yang keliru. Jelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa asma
maupun COPD bukan merupakan penyakit yang dapat disembuhkan melainkan hanya
bisa dikontrol. Bila pasien anak, orang tuanya harus dilibatkan. Pasien harus
mengetahui obat mana untuk pelega (reliever) dan obat mana
pengontrol/pencegah (controller).
DAFTAR PUSTAKA
1.
Barnes PJ, 1992. Pulmonary Disorders.
In : Melmon KL, Morrelli HF, Hoffman BB, Nierenberg DW (editors). Clinical Pharmacology, Basic
Principles in Therapeutics, third edition. McGRAW-HILL,INC.p 186-218
2.
Alasagaff
H, Mukti HA, 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit Airlangga
University Press, Surabaya. Hal 292-95
3.
Arini
Setiati, 1995. Adrenergik. Dalam: Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna FD,
Purwantyastuti Nafrialdi (editor). Farmakologi dan Terapi, edisi 4. Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal 57-76
4.
Mangunnegoro H, Widjaja A, Kusumo D
dkk, 2004. Asma, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ( Tim Kelompok Kerja Asma). Balai Penerbit
FKUI, Jakarta. Hal 28-79
5.
Purwanto SL, Budipronoto G, Sembiring
SU, Effendie R, Kamil, Virginia, Slamet A, Widodo K, 1994. DOI, Data Obat di
Indonesia, edisi 9. Penerbit PT Grafidian Jaya, Jakarta. Hal 307-312, 374-378,
522-523
No comments:
Post a Comment