Juniartha Semara Putra
LAPORAN
PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN
FRAKTUR
A.
PENGERTIAN
·
Fraktur
adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma. Fraktur digolongkan
sesuai jenis dan arah garis fraktur.
·
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur dapat terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorbsi .
·
Fraktur
adalah terputusnya hubungan atau kontinuitas tulang karena stress pada tulang
yang berlebihan (Luckmann and Sorensens, 1993 : 1915)
·
Fraktur
adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak
disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap. (Price and Wilson, 1995 : 1183)
·
Fraktur
menurut Rasjad (1998 : 338) adalah hilangnya konstinuitas tulang, tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial.
B.
ETIOLOGI
Menurut Apley dan Salomon (1995), tulang bersifat relative
rapuh namun cukup mempunyai kekuatan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur
dapat disebabkan oleh:
1. Cedera dan benturan seperti pukulan
langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, kontraksi otot ekstrim.
2. Letih karena otot tidak dapat
mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh.
3. Kelemahan tulang akibat penyakit
kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis.
Etiologi patah tulang menurut
Barbara C. Long adalah
1. Fraktur akibat peristiwa trauma
Jika kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat terjadi patah
pada tempat yang terkena, hal ini juga mengakibatkan kerusakan pada jaringan
lunak disekitarnya. Jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka dapat
terjadi fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan
jaringan lunak ditempat fraktur mungkin tidak ada.
Fraktur dapat disebabkan oleh trauma, antara lain :
a. Trauma langsung
Bila
fraktur terjadi ditempat dimana bagian tersebut terdapat ruda paksa, misalnya :
benturan atau pukulan pada tulang yang mengakibatkan fraktur.
b. Trauma tidak langsung
Misalnya
pasien jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi, dapat terjadi fraktur pada
pergelangan tangan, suprakondiskuler, klavikula.
c. Trauma ringan
Dapat
menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh.Selain itu fraktur juga
disebabkan olehkarena metastase dari tumor, infeksi, osteoporosis, atau karena
tarikan spontan otot yang kuat.
2. Fraktur akibat kecelakaan atau
tekanan
Tulang jika bisa mengalami otot-otot yang berada disekitar
tulang tersebut tidak mampu mengabsobsi energi atau kekuatan yang menimapnya.
3. Fraktur Patologis
Adalah suatu fraktur yang secara primer terjadi karena
adanya proses pelemahan tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang
bermetastase atau ostepororsis.
C.
PATOFISIOLOGI
1. Barbara C. Long menguraikan bahwa
ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks, sumsum
tulang dan jaringan lunak didekatnya (otot) cidera pembuluh darah ini merupakan
keadaan derajat yang memerlukan pembedahan segera sebab dapat menimbulkan syok
hipovolemik. Pendarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan
sekitar daerah cidera yang apabila ditekan atau digerakkan dapat timbul rasa
nyeri yang hebat yang mengakibatkan syok neurogenik. Sedangkan kerusakan pada system persarafan,
akan menimbulkan kehilangan sensasi yang dapat berakibat paralysis yang menetap
pada fraktur juga terjadi keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerah
yang cidera. Kerusakan pada kulit dan
jaringan lainnya dapat timbul oleh karena trauma atau mecuatnya fragmen tulang
yang patah. Apabila kulit robek an luka memiliki hubungan dengan tulang yang
patah maka dapat mengakibatkan kontaminasi sehingga resiko infeksi akan sangat
besar.
2. Tulang bersifat rapuh namun cukup
mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham,
1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya
atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
3. Menurut Black
dan Mtassarin ( 1993 ) serta Patridk dan Woods ( 1989 ) ketika patah tulang
terjasi akan timbul kerusakan pada korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan
jaringan linak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan, kerusakan
tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal
medulla antara tepi tulang dibawah periostium dengan jaringan tulang yang
mengalami fraktur. Terjadi respon inflamasi akibat adanya jaringan nekrotik
yang di tandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leokosit. Hematom yang
terbentuk menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan
kapiler.
D.
KLASIFIKASI
Menurut
Hardiyani (1998), fraktur dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.
Berdasarkan tempat (Fraktur humerus,
tibia, clavicula, dan cruris dst).
2.
Berdasarkan luas dan garis fraktur
terdiri dari :
a. Fraktur komplit (garis patah melalui
seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis
patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a.
Fraktur kominit (garis patah lebih
dari satu dan saling berhubungan).
b.
Fraktur segmental (garis patah lebih
dari satu tapi tidak berhubungan).
c.
Fraktur Multipel ( garis patah lebih
dari satu tapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus,
fraktur femur dan sebagainya).
4.
Berdasarkan posisi fragmen :
a. Undisplaced (tidak bergeser) / garis
patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
b. Displaced (bergeser) / terjadi
pergeseran fragmen fraktur
5.
Berdasarkan hubungan fraktur dengan
dunia luar :
a.
Tertutup
b.
Terbuka (adanya perlukaan dikulit).
6.
Berdasar bentuk garis fraktur dan
hubungan dengan mekanisme trauma :
a.
Garis patah melintang.
b.
Oblik / miring.
c.
Spiral / melingkari tulang.
d.
Kompresi
e.
Avulsi / trauma tarikan atau insersi
otot pada insersinya. Missal pada patela.
7.
Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a.
Tidak adanya dislokasi.
b.
Adanya dislokasi
·
At
axim : membentuk sudut.
·
At
lotus : fragmen tulang berjauhan.
·
At
longitudinal : berjauhan memanjang.
·
At
lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
E.
MANIFESTASI
KLINIS
1.
Nyeri
terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai
fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan
gerakan antar fragmen tulang.
2.
Deformitas
dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melengketnya obat.
3.
Pemendekan
tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4.
Krepitasi
yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5.
Pembengkakan
dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang
mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa
hari setelah cedera.
F.
KOMPLIKASI
1.
Malunion,
adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang
tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring
2.
Delayed
union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan kecepatan
yang lebih lambat dari keadaan normal.
3.
Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4.
Compartment
syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang berlebihan di dalam satu
ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat.
5.
Shock,
6.
Fat
embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor resiko
terjadinya emboli lemakada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun,
usia 70 sam pai 80 fraktur tahun.
7.
Tromboembolic
complicastion, trombo vena dalam sering
terjadi pada individu yang imobiil dalm waktu yang lama karena trauma atau
ketidak mampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau
trauma komplikasi paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedil
8.
Infeksi
9.
Avascular
necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau necrosis iskemia.
10.
Refleks
symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf
simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri,
perubahan tropik dan vasomotor instability.
G.
PEMERIKSAAN
FISIK
Periksa dibawah
patah tulang , biasanya akan ditemukan kulit berwarna kebiruan dan pucat,
denyut nadi tak teraba. Selain itu pada bagian yang mengalami fraktur, otot
disekitarnya mengalami spame
1. Inspeksi : Lihat dan
bandingkan dengan sisi yang normal, dan perhatikan hal-hal dibawah ini :
a. Adanya
perubahan asimetris kanan dan kiri
b. Adanya
deformitas seperti agulasi ( membentuk sudut ) atau rotasi dan pemendekan
c. Jejas ( tanda
yang menunjukan bekas trauma )
d. Pembengkaan
e. Terlihat adanya
tulang yang keluar dari jaringan lunak
2.
Palpasi ( meraba dan merasakan ) : Bandingkan
dengan sisi yang sehat sampai dapat dirasakan perbedaanya.
a. Adanya nyeri
tekan pada daerah cedra ( tenderness )
b. Adanya
krepitasi pada perabaan yang sedikit kuat
c. Adanya gerak abnormal
dengan perabaan agak kuat.
d. Jangan lakukan
pemeriksaan yang sengaja untuk mendapat bunyi krepitasi atau gerakan abnormal,
misalnya dengan meraba dengan kuat sekali.
3. Gerakan : Terdapat dua
gerakan yang dapat digunakan untuk menilai tingkat pergerakan akibat patah
tulang, yaitu :
a. Gerakan aktif
Adalah pemeriksaan gerakan dengan meminta pasien untuk
menggerakkan sendiri pada bagian yang cidera
b. Gerakan pasif
Perawat yang mrnggerakan bagian tubuh pasien yang
mengalami patah tulang.
H.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
1.
Laboratorium
:
Pada fraktur test laboratorium yang
perlu diketahui : Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap
darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa
penyembuhan Ca dan P meengikat di dalam darah.
2.
Radiologi
:
X-Ray dapat dilihat gambaran
fraktur, deformitas dan metalikment. Venogram/anterogram menggambarkan arus
vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
I.
PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya penatalaksanaan fraktur meliputi reduksi,
imobilisasi dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1. Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian
fraktur. Prinsipnya adalah mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya,
jenis kekuatan yang berperan dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh
penderita sendiri.
2. Reduksi
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi
tertutup, traksi dan reduksi terbuka, yang masing-masing di pilih bergantung
sifat fraktur
a. Reduksi tertutup dilakukan untuk
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujung saling behubungan)
dengan manipulasi dan traksi manual. Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan
efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot
yang terjadi.
b. Reduksi terbuka , dengan pendekatan
pembedahan, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan
fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen
tulang harus di imobilisasi atau di
pertahankan dalam posisi dan kesejajaranyang benar sampai terjadi penyatuan.
Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau inernal. Fiksasi
eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik
gips atau fiksator eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam
yang berperan sebagai bidai inerna untuk mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur
femur imobilisasi di butuhkan sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24
minggu, intra trohanterik 10-12 minggu, batang 18 minggu dan supra kondiler
12-15 minggu.
Mempertahankan dan
mengembalikan fungsi, segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;
·
Mempertahankan
reduksi dan imobilisasi
·
Meninggikan
untuk meminimalkan pembengkakan
·
Memantau
status neurologi.
·
Mengontrol
kecemasan dan nyeri
·
Latihan
isometrik dan setting otot
·
Berpartisipasi
dalam aktivitas hidup sehari-hari
·
Kembali
keaktivitas secara bertahap.
Faktor
yang mempengaruhi penyembuhan fraktur :
·
Imobilisasi
fragmen tulang.
·
Kontak
frgmen tulang minimal.
·
Asupan
darah yang memadai.
·
Nutrisi
yang baik.
·
Latihan
pembebanan berat badan untuk tulang panjang.
·
Hormon-hormon
pertumbuhan tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.
·
Potensial
listrik pada patahan tulang.
3. Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi
atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi gips, bidai, traksi dan teknik fiksator
eksterna.
4. Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula
dengan cara melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan
kemampuan klien. Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah
5. Proses
Penyembuhan Tulang
a. Stadium Pembentukan Hematoma
Hematoma
terbentuk dari darah yang mengalir dari pembuluh darah yang rusak, hematoma
dibungkus jaringan lunak sekitar (periostcum dan otot) terjadi 1 – 2 x 24 jam.
b. Stadium Proliferasi
Sel-sel
berproliferasi dari lapisan dalam periostcum, disekitar lokasi fraktur sel-sel
ini menjadi precursor osteoblast dan aktif tumbuh kearah fragmen tulang.
Proliferasi juga terjadi dijaringan sumsum tulang, terjadi setelah hari kedua
kecelakaan terjadi.
c.
Stadium Pembentukan Kallus
Osteoblast
membentuk tulang lunak / kallus memberikan regiditas pada fraktur, massa kalus
terlihat pada x-ray yang menunjukkan fraktur telah menyatu. Terjadi setelah 6 –
10 hari setelah kecelakaan terjadi.
d. Stadium Konsolidasi
Kallus
mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah menyatu, secara
bertahap-tahap menjadi tulang matur. Terjadi pada minggu ke 3 – 10 setelah
kecelakaan.
e.
Stadium Remodelling
Lapisan
bulbous mengelilingi tulang khususnya pada kondisi lokasi eks fraktur. Tulang
yang berlebihan dibuang oleh osteoklas. Terjadi pada 6 -8 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Price,
Sylvia. (1995). PATOFISIOLOGI : Konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 4.
Jakarta : EGC.
Apley, A.
Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika,
Jakarta, 1995.
Arif,
Mansoer, et all, (1999), Kapita Selecta Kedokteran, Jakarta , Media
Aesculapius.
Black,
J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach,
4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Brunner and
Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Ed. 8. Vol. 2. Jakarta : EGC.
Cambridge
Comunication Limited. (1999). Anatomi fisiologi system pernapsan dan
kardiovaskuler. Ed.2. Buku 4. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana
Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat
Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.
Doengoes,
Marilyn et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan ed. 3 Jakarta, EGC.
Henderson,
M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta,
1992.
Price,
Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.
Price
Sylvia A, (1995), Patafisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku II ed.
IV, Jakarta, EGC.
http://askep-kesehatan.blogspot.com/2009/01/fraktur-tibia-fibula.html
No comments:
Post a Comment