Juniartha Semara Putra
APA
ITU ASITES?
Asites
adalah satu kondisi dimana terdapat akumulasi cairan berlebih yang mengisi
rongga peritoneal. Diperkirakan sekitar 85 % pasien asitesadalah pasien sirosis
hati atau karena penyakit hati lainnya yang parah. “Hampir 60 % pasien sirosis
hati akan menjadi asitesdalam masa 10 tahun,” jelas Prof. Dr. H.M. Sjaifoellah
Noer SpPD-KGEH dari divisi Hepatologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI, Jakarta
dalam Liver Up Date 2006 di Hotel Borobudur Jakarta, 28-30 Juli lalu.
Namun, sekitar 15 % pasien asitestidak disebabkan oleh gangguan fungsi hati
retensi cairan. Asitesyang terjadi dapat berupa asitestransudatif atau
eksudatif.
Asites
pada sirosis merupakan prognosis yang buruk karena menyebabkan kematian sebesar
50 % dalam waktu tiga tahun jika tanpa transplantasi liver. Dari prevalensi
ascites, 10 % nya adalah asites refraktori yang umumnya diterapi dengan
pemberian diuretika. “Asitesdikategorikan refraktori bila tidak bisa
dimobilisasi atau dicegah dengan terapi medis. Gejala umum pada asites
refraktori adalah asites mengalami kekambuhan sesudah tindakan paracentesis,
meningkatnya risiko sindroma hepatorenal, dan prognosis yang buruk,” tambahnya
lagi.
Dalam
melakukan terapi pada asites refraktori perlu diperhatikan mengenai durasi
pengobatan, respon yang lambat, kekambuhan asitesyang cepat, serta komplikasi
yang dipicu oleh pemberian diuretika. Pilihan terapi untuk asites
refraktoriadalah, terapi paracentesis, TIPS (transjugular intrahepatic
portosystemic shunting), peritoneovenus shunts, dan transplantasi hati.
Terapi
paracentesis merupakan pengobatan lini pertama untuk asites refraktori karena
penerimaannya yang luas di kalangan medis. Prosedur ini merupakan pengulangan
pemberian large volume paracentesis (LVP) ditambah albumin.
Pemberian LVP 5 L/hari dengan infus albumin (6-8 g/l ascites yang dibuang)
lebih efetif mengeliminasi asites dan menghasilkan komplikasi yang minimal jika
dibandingkan dengan terapi diuretika.
Kombinasi
paracentesis dengan infus albumin ini juga menyingkat masa perawatan di rumah
sakit. Tindakan paracentesis dapat dilakukan tiap 2 hingga 4 pekan tanpa
keharusan opname. Namun tindakan ini tidak berarti menghilangkan kebutuhan akan
diuretic (spironolakton atau furosemida), karena kekambuhan asites bisa ditunda
pada pasien yang menerima diuretik pascaparacentesis. Hipovolemia
pascaparacentesis efektif bisa dicegah dengan pemberian albumin dibandingkan
pemberian plasma sintetik ekspander.
Sesudah
paracentesis, pasien harus melakukan diet sodium rendah (70-90 mmol/hari).
Pasien yang menerima diuretika dosis tinggi harus mengecek kadar sodium pada
urine, jika kurang dari 30 mEq/hari maka pemberian diuretika harus dihentikan.
Komplikasi pada asites refraktori yang tidak diintervensi dengan pengobatan
akan berkembang menjadi infeksi SBP (spontaneous bacterial peritonitis),
sindrom hepatorenal, hepatic encephalopathy, dan kerusakan fungsi
sirkulasi.
“Kondisi
hipoalbuminemia kerap dijumpai pada sirosis hati. Hal ini disebabkan oleh
penurunan mekanisme sintesa karena disfungsi liver atau diet protein
rendah, peningkatan katabolisme albumin, serta adanya asites. Albumin sendiri
disintesa secara lengkap pada organ hati,”lanjut Prof. H.M Sjaifoellah.
Indikasi
terapi albumin pada sirosis hati adalah adanya asites, sindrom hepatorenal,
adanya SBP, dan kadar albumin di bawah 2,5 g%. Penggunaan albumin dimaksudkan
untuk memelihara colloid oncotic pressure (COP), mengikat dan
menyalurkan obat, dan sebagai penangkap radikal bebas. Albumin juga memiliki
efek antikoagulan, efek prokoagulatori, efek permeabilitas vaskular, serta
ekspansi volume plasma.
(Ani)
No comments:
Post a Comment